Candi Borobudur adalah simbol keagungan karya bangsa Indonesia. Ketika si mahakarya bertemu dengan keindahan kain tenun ikat dari Sumba Timur, terciptalah suasana magis, romantis namun indah berkat pertemuan kreasi dan k
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·5 menit baca
Candi Borobudur adalah simbol keagungan karya bangsa Indonesia. Ketika si mahakarya bertemu dengan keindahan kain tenun ikat dari Sumba Timur, terciptalah suasana magis, romantis namun indah berkat pertemuan kreasi dan kepiawaian dalam mencipta sebuah karya.
Sekelompok perempuan dari Sumba Timur meneriakkan bebunyian ow ow ow dari bibirnya sambil berjalan bergandengan dengan desainer Edward Hutabarat di landas peraga gelaran busana terbaru karya Edo, panggilan akrab Edward di pelataran candi Bobobudur. Suara mereka mengalahkan guyuran hujan yang terus turun di kawasan tersebut sejak siang hari. Itulah salam kabakil, ajakan bagi semua orang untuk berkunjung ke tanah Sumba.
Tanah Sumba Timur, seperti umumnya wilayah di Nusa Tenggara Timur terkenal dengan tenun ikatnya, tetapi cara merepresentasikan kain menjadi busana secara apik telah berhasil menampakkan keindahan kain tenun itu menjadi produk unggul yang pantas ditampilkan di era modern ini. Hal itulah yang Edo lakukan pada pergelaran busana karyanya kali ini. Ia memamerkan 76 busana bagi perempuan dan lelaki. Tak hanya busana dari kain ikat, lebih unik lagi Edo mengangkat kabakil, sebuah hasil dari teknik menenun untuk menyudahi sehelai kain tenun ikat.
Bagi mereka yang memahami kain tenun, pasti tahu keindahan sehelai kain tenun dilihat dari kehalusan dan keindahan dari kabakilnya. Begitu pula cara pandang Edo. Berangkat dari pemikiran itu, ia menampilkan era baru kali ini dalam tenun Sumba yakni mengangkat kabakil dalam peragaan busana yang dilengkapi pameran rumah Sumba dengan segala isinya. Sengaja ia menampilkan kabakil motif garis kesukaannya.
Kekinian
Beberapa busana motif garis-garis seperti motif lurik di Jawa, sebenarnya adalah kabakil yang ia tampilkan secara kekinian atau modern. Ada setelan celana panjang garis-garis warna oranye dikombinasikan garis atau potongan kain Sumba Timur warna hitam, dan terusan warna biru pekat dengan strip kabakil di bagian lengan dari ujung hingga tangan. Sebagai pelengkap, Edo menambahkan tas besar warna oranye, lagi-lagi dengan aksen kabakil motif garis. Menambah manis tampilan sang model.
Desainer asal Tarutung, Sumatera Utara itu juga membuat celana panjang pipa longgar warna biru tua, dipadu dalaman warna kombinasi oranye, putih, biru dan ditutup luaran garis lebar sebagai penghangat badan. Kabakil yang Edo tampilkan secara modern sehingga cocok untuk dipakai di era kini juga dipakai model lelaki berbusana serba hitam,namun berbalut kabakil motif garis warna kombinasi oranye, putih, hijau tua. Sungguh sesuai digunakan pada musim gugur atau dingin di negara dengan empat musim.
Busana lain, berupa setelan celana longgar warna oranye tua dan muda bermotif garis lebar dengan kombinasi blus putih polos beraksen pita di bagian leher. Sebagai pelengkap, ada tas warna gelap bermotif strip warna kehijauan. Pemakai tampak maskulin namun menawan orang yang memandangnya.
“Kabakil tak harus tampil penuh, tetapi juga bisa hanya berupa strip di lengan. Atau di bagian tas, bisa juga dikombinasikan dengan kain bermotif khas Sumba. Ada banyak cara menampilkannya,” jelas Edo pada Rabu (7/12/2022).
Semua mode busana pada koleksi Edo untuk perempuan dan lelaki seperti biasa dibuat simple, sederhana. Begitu pula pada koleksi untuk musim gugur dan dingin dari kain Sumba Timur itu. Akan tetapi dalam kesederhanaan, kreatifitasnya dalam membuat pola-pola baju membuat pesona kain menjadi lebih menonjol.
“Yang namanya modern itu harus ada identitas, kualitas, kreatifitas dan simplisitas. Ojo rame, sing rame wagu. Lihat deh baju satu dengan yang lain tak ada yang sama,” ujar Edo yang mengenal kain sumba sejak sekitar 20 tahun lalu.
Setiap busana yang ia tampilkan bukanlah karya yang baru dibuat. Edo sudah sejak lama menyiapkan koleksinya. Ia menyebut persiapannya sudah lama sekali, dicicil satu per satu. Ada yang dibuat setahun lalu, namun ia bersabar untuk menampilkannya. Edo menyebut proses penciptaan karyanya seperti orang membuat skripsi. Ia bahkan butuh waktu 20 tahun untuk menyelesaikan skrispi khas Edo yang dibuat dalam tiga dimensi karena lengkap dari segala sisi budaya dan kehidupan daerah yang ingin ditampilkan.
Kerja ekstra
Tak banyak orang tahu, bahwa kabakil biasanya dibuat dengan lebar maksimal enam sentimeter, tetapi Edo mengubahnya menjadi hingga 80 sentimeter, sementara panjangnya bisa mencapai 20 meter. Artisan perajin yang membuat pesanan Edo sebenarnya secara teknik tak kesulitan membuatnya tetapi “keanehan” karena tidak biasa membuat mereka harus bekerja ekstra keras.
Karyawati Liwar, pemilik Art Shop Hinggi Sumba menyatakan penenun harus menyesuaikan diri dengan pembuatan kabakil yang tak biasa itu. “PR” lebih berat adalah membuat warna kain menjadi pekat dan indah. Itu menjadi tantangan bagi artisan yang memakai bahan dari akar dan dedaunan pohon sebagai pewarna semua kain pesanan Edo. Untuk warna merah, perajin membuatnya dari akar mengkudu, misalnya. Masalahnya mencari akar mengkudu tidak mudah sebab jumlah pohon mengkudu tak banyak, jika menunggu pohon baru, perlu waktu 2-3 tahun.
Belum lagi soal musim hujan yang tak menguntungkan bagi proses pencelupan warna. “Butuh 40 tahap dalam mewarnai benang yang akan ditenun. Itulah yang membuat kain tenun Sumba menjadi mahal,” kata Karyawati.
Sementara Fidelis Tasman Amat, ahli tenun ikat dan pewarnaan kain dengan pewarna alam dari Sumba Timur menyebut bagi orang Sumba tak mudah membuatkan pesanan kain tenun atau kabakil dengan panjang lebih dari biasanya. Edo memesan kain dengan panjang, 10 meter bahkan kadang 20 meter, sementara panjang beranda rumah Sumba tempat artisan penenun bekerja maksimal hanya 8 atau 9 meter.
“Ya kami pakai cara bagaimana bisa membuatkan kain sepanjang itu. Biasa kami pakai rumah bagian bawah (kolong) menjadi tempat untuk membuat kain pesanan itu hehe,” ujar Fidelis sambil tertawa.
Hasil kerja keras para penenun tak sia-sia karena membuahkan busana yang indah dan memesona yang bagi Edo menjadi bekal untuk menampilkan keindahan kain wastra ke manca negara. Usai pergelaran busana dan pameran rumah Sumba yang diinisiasi Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Riset Teknologi, banyak pihak menyatakan kepada Edo, Langkah berikutnya bukan lagi menampilkan tenun Sumba di dalam negeri tetapi ke luar negeri, Milan, Paris, New York.
Selebrasi pameran busana dari kain wastra yang membahana di bawah keagungan candi Borobudur sudah terlaksana. Terbukti acara tersebut sukses oleh kesetiaan lebih dari 400 pecinta mode yang bergeming berpayung mungil di bawah hujan dan 50 model berjalan di landas peraga tanpa mau berpayung. Cukuplah sudah menjadi senjata ampuh bagi Edo untuk menggebrak pecinta mode di luar negeri serta membuka mata Unesco agar segera menjadikan kain tenun sebagai warisan dunia dari Indonesia.