Pada presentasi koleksi musim semi-musim panas 2023 Studio 133, desainer Biyan Wanaatmadja mengejawantahkan mesin waktu melalui lebih dari 100 tampilan baju yang disuguhkan.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Dunia mode layaknya pintu ke mana saja yang efektif untuk berpindah masa. Aneka gaya dari beberapa dekade silam tetap bisa relevan dengan masa kini, sekaligus berkekuatan membangkitkan memori-memori baik yang terekam dari perjalanan hidup tiap individu.
Pada presentasi koleksi musim semi-musim panas 2023 Studio 133, desainer Biyan Wanaatmadja mengejawantahkan mesin waktu melalui lebih dari 100 tampilan baju yang disuguhkan. Ballroom Intercontinental Hotel, Jakarta, pada Senin (21/11/2022) malam pun disulap seolah para tamu yang hadir berada di dalam bekas pabrik bongkar muat bernuansa industrial. Layaknya latar tempat West Side Story ketika The Jets bertarung dengan The Sharks.
Film musikal yang populer pada akhir 1950-an yang sekaligus mengandung pesan pembebasan. Sejalan dengan ide Biyan yang ingin menjelajah kembali ke masa pasca 1950-an lewat karya bertajuk Nostalgia Retrogade.
”Tahun 50-an itu, kan, serba terstruktur. Baru pada tahun 60-an dan 70-an itu penuh semangat kebebasan. Ada kesamaan dengan sekarang dan mewakili juga generasi sekarang yang punya banyak kehidupan sosial sama dengan periodisasi itu,” tutur Biyan ketika jumpa pers sebelum pergelaran.
Meski semangat dan landasan desain awalnya adalah busana pada era 1060-an dan 1970-an, Biyan tetap memadumadankan dengan elemen masa kini. ”Jadi, tampilannya setelah mix and match itu multisiluet. Bahkan terlepas dari yang ditampilkan, siapa pun dapat menggunakan sesuai karakternya. Tidak harus sama persis dengan yang ditampilkan model, tidak harus serasi semuanya,” ujar Biyan.
Melalui jenama Studio 133 ini, Biyan selalu menampilkan sisi ceria dan ringan. Kali ini, ia bermain dengan material, corak, dan garmen yang dilebur dalam semangat muda, serta warna yang kontras dengan ornamen floral atau bermotif geometris. Ada ornamen bunga daisy yang tengah populer, geometris seperti garis yang dibuat bersilangan atau tetap disusun rapi mirip lurik.
Aneka ornamen dan motif tersebut dicetak atau dijahit bordir dengan tangan di atas berbagai material. Dari satin silk atau bahan katun ringan, organze, denim, jaquard, hingga nilon digunakan pada koleksi ini. Menariknya, Biyan menjajal juga perpaduan lace atau renda dan satin print dengan denim.
”Denim bukan sesuatu yang baru untuk Studio 133. Yang berbeda kali ini paduannya. Kadang kan dulu berpikir bisa enggak ya memadukan dua bahan yang sangat ekstrem. Saya coba belajar juga dengan mantra why not. Kalau enggak dicoba kan enggak tahu. And market will tell. Itulah serunya fashion enggak semua yang kita buat harus terjual habis atau harus diminati terus. Sometimes we need to introduce something very challenging yang menggoda mata dan selera,” jelas Biyan.
Itu pula yang membuatnya mampu mengejutkan khalayak dengan koleksi kali ini yang banyak menawarkan warna-warna, seperti pink, kuning, jingga, biru, hitam, navy, hingga hijau army,tapi dibalut nuansa retro yang khas.
Untuk siluetnya, Biyan bermain dengan perpaduan masa lampau dan masa kini sehingga menghasilkan beberapa padu padan, seperti bralette dengan celana lebar dan luaran panjang melambai berwarna-warni ditambah sepatu model pumps. Motif dan ornamen retro, tapi gayanya masa kini.
Siluet lainnya berupa atasan halter, tunik, set piyama, atasan boxy dengan tangan lebar, gaun maxi, kemeja gombrang, hingga kaus gombrang dan celana pendek. Semua itu dikombinasikan dengan hiasan berupa gabungan dari kain perca atau hiasan pada busana dengan manik-manik atau teknik yang pernah digunakannya, yakni broiderie l’anglais.
Pemilihan aksesori pun menjadi pertimbangan pada koleksi ini. Anting, kalung, hingga aneka sepatu seperti jenis Mary Jane atau Oxford cukup mendominasi. Semuanya hadir begitu saja serba terbuka dan ringan melayang, tapi tetap kekhasan Biyan yang teratur dan simetris tidak luntur.
Tenang dan senang
Konsep dalam koleksi kali ini terlahir dari pemikiran Biyan yang menginginkan ketenangan dalam pikiran dan hati yang berbuah rasa senang. ”Setelah sekian lama terkungkung dalam pandemi ini, ingin ya menyenangkan pikiran dan hati ini. Wujudnya ternyata dari apa yang saya bayangkan ketika menjalani perjalanan waktu di mana semua serba terbatas. Ada rindu, kangen, dan instropeksi,” kata Biyan.
Pengalamannya selama ini pun berhadapan dengan segala kondisi, termasuk ketika krisis ekonomi pada 1998 membuatnya mudah beradaptasi dan berinovasi. Meski, ia tetap mengaku memiliki tantangan tersendiri dalam mewujudkan tiap koleksinya. Terlebih lagi untuk Studio 133, ia harus menyiapkan dalam jumlah cukup banyak.
”Konsepnya, kan, ready to wear ya Studio 133. Bikinnya bukan hanya untuk satu dua orang. Satu baju itu bisa 30-40 lembar. Bukan satu tampilan, tapi satu baju lho ya. Belum lagi dikalikan yang dimasukkan ke toko-toko yang ada kan,” jelas Biyan.
Studio 133 pun bertransformasi sesuai dengan targetnya. Sebelumnya, Biyan membuat jenama ini dengan spirit modern membaur tradisional sehingga ia pun mengadaptasi siluet baju nasional. Seperti membuat pola baju kurung atau kebaya yang tidak harus ketat, tapi cukup layak digunakan anak muda yang ingin ke acara formal.
Hal itu mampu bertahan bertahun-tahun hingga saat ini generasi muda yang ada berubah juga kebiasaan dan keinginannya. ”Behaviour-nya juga berubah. Kita harus membuat koleksi yang relevan dengan masyarakat juga seperti apa. Apalagi saat ini anak usia 13-14 tahun yang menjadi customer ini sudah bisa menentukan gayanya dan enggak mau diatur-atur. Jadi, kita coba mewakili apa yang mereka pikirkan,” ungkap Biyan.
Jadi, tak perlu bingung. Cari tahu gayamu untuk bisa mengendarai mesin waktu.