Si Marjinal yang Terus Bergerak
Festival Film Dokumenter 2022 lebih bergeliat setelah pandemi. Pegiatnya ingin agar festival ini makin tumbuh dan turut menghidupkan ruang-ruang alternatif untuk menonton film meskipun masih dianggap sebagai anak yatim.
Festival Film Dokumenter 2022 lebih bergeliat setelah pandemi. Pegiatnya ingin agar festival ini makin tumbuh dan turut menghidupkan ruang-ruang alternatif untuk menonton film. Meskipun masih dianggap sebagai anak yatim atau marjinal, pegiat film dokumenter terus berkonsolidasi dan membangun soliditas.
Hujan mengguyur Yogyakarta, Kamis (18/11/2022). Tubuh puluhan calon penonton membayang sebagian dalam genangan air hutan di halaman gedung bekas bioskop Permata. Sore itu semestinya film diputar pukul 15.00, tetapi karena kendala audio, harus diundur sampai satu jam. Sebagian besar calon penonton bersabar menunggu, beberapa lainnya balik kanan.
Tiga film diputar beruntun, yakni Chronicle of Nowhere, Blinded by The Light, dan Fantasmagoria yang total durasinya 45 menit. Penonton yang hanya memenuhi sepertiga ruangan berkapasitas 80-an orang itu duduk di lantai berundak beralas bantal busa bersarung kulit imitasi yang setiap belasan menit perlu dibalik karena panas. Untung penyejuk udara bekerja dengan baik sehingga menyamankan suasana. Setiap film usai, penonton bertepuk tangan dan kadang disertai sorakan tanda penghargaan.
Malam harinya diputar film Segudang Wajah Para Penantang Masa Depan (The Miriad of Faces of the Future Challengers) karya I Gde Mika, dilanjutkan dengan diskusi tentang proses kreatif hingga gagasan munculnya film esai tentang sejarah dan ideologi yang menyublim dalam film Tanah Air tersebut. Kali ini gedung bioskop penuh sesak, bahkan beberapa penonton harus rela berdiri. Gedung bekas bioskop Permata hidup lagi.
Gedung yang berada di Kalurahan Gunungketur, Kapanewon Pakualaman, Kota Yogyakarta, itu mulai beroperasi sebagai gedung bioskop pada medio 1940-an dan mengalami kejayaan para era 1970-an hingga akhir 1980-an. Lalu pelan-pelan pamornya meredup dan berhenti beroperasi pada tahun 2010. Banyak orang Yogyakarta menyimpan kenangan indah terhadap gedung ini.
”Saya sering dapat cerita dari Bapak tentang bioskop Permata. Senang akhirnya bisa nonton di sini,” kata Abe, mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang hari itu untuk ketiga kali menonton di gedung bekas bioskop Permata.
Direktur Festival Film Dokumenter (FFD) 2022 Kurnia Yudha Fitranto menginformasikan, salah satu tujuan FFD 2022 adalah berupaya memberikan ruang-ruang alternatif tontonan sebagai jalan keluar minimnya infrastruktur pemutaran film dokumenter. Gedung bekas bioskop Permata menarik panitia FFD 2022 karena legendaris, punya kenangan, dan mudah diakses. Ruangannya juga tidak terlampau besar sehingga penonton bisa lebih akrab.
Pemutaran film FFD 2022 di gedung tersebut sekaligus sebagai upaya penjajakan. Tidak tertutup kemungkinan, Yudha dan rekan-rekannya akan menjajaki tempat lain yang memungkinkan. Selama ini film-film dokumenter lebih banyak diputar di Societet Taman Budaya Yogyakarta. Selama FFD 2022, selain gedung bekas bioskop Permata, film-film diputar di gedung bioskop Sonobudoyo, auditorium dan Galeri IFI-LIP Yogyakarta, serta Ruang Auvi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Ruang-ruang alternatif itu, terutama gedung bekas bioskop Permata, dipilih karena lebih tidak berjarak. ”Ini salah satu pendekatan ke publik. Film dokumenter dengan segmen sedikit kalau diputar di bioskop di mal terlalu berjarak dan terlalu mahal,” kata Yudha sembari menegaskan bahwa film dokumenter masih dianggap tidak menjanjikan secara komersial.
Dalam bahasa Direktur Program FFD 2022 Alia Damaihati, film dokumenter itu marjinal. Meskipun digarap dengan serius, tetap saja harus menerima nasib diputar di ruang-ruang terbatas. ”Dokumenter seolah membawa mitos dan beban berat yang menyajikan hal-hal sulit dicerna, penuh tantangan, diproduksi dengan berbagai telusur cara pandang, hingga kerap menimbulkan ketegangan genre pada film sebagai medium itu sendiri,” kata Alia, sebagaimana tertulis dalam pengantar katalog.
Pandangan itu menemukan relevansinya ketika kita melihat film-film dokumenter di negeri ini. Bahkan, film-film dokumenter yang mendapat Piala Citra pun tak mendapat banyak kesempatan untuk masuk ruang komersial dan ditonton banyak orang. Sebutlah film Three Faces in The Land of Sharia (FFI 2021) dan Ibu Bumi (FFI 2020) tak bisa ditonton di jaringan bioskop mayor.
Yang paling baru, film Pesantren karya Shalahuddin Siregar hanya mendapat total tujuh layar di tiga jaringan bioskop komersial dengan jam tayang yang kurang menjanjikan. Tempatnya pun bukan di kota-kota yang strategis. Film Pesantren hanya diputar di Pejaten, Kebun Raya Bogor, Bekasi, Garut, dan Cirebon. Bandingkan dengan film impor Black Panther: Wakanda Forever yang jumlah layarnya sampai ribuan. Dari sini saja terlihat betul ketimpangannya dan menjadi benar penilaian Alia bahwa film dokumenter itu marjinal. Yatim.
Pendanaan
Dalam keyatiman itu, FFD yang sudah berusia 21 tahun sebenarnya layak berbahagia karena mulai mendapat perhatian lebih. Paling tidak dari sisi pendanaan, kali ini FFD tidak yatim-yatim banget. Ketika masih yatim piatu tahun 2001-2017, FFD sama sekali tidak mendapat dana dari luar. Mereka sepenuhnya mendanai sendiri. Tahun 2018 baru ada hibah dari pemerintah Rp 50 juta seiring munculnya Dana Keistimewaan DIY, ditambah dari Pusat Pengembangan Perfilman Rp 25 juta. Padahal, biaya operasional bisa sampai Rp 800 juta.
Lalu sisanya ditutupi pakai duit siapa? ”Mengandalkan jalinan perkawanan. Ada juga keahlian-keahlian yang bisa digunakan. Semua tidak ada yang dibayar. Seperti kerja bakti,” kata Yudha.
Baru tahun ini, FFD mendapat suntikan dana dari pemerintah pusat sekitar 70 persen dari kebutuhan. Lalu Pemerintah DIY menyuntik Rp 100 juta. Dengan demikian, panitia FFD bisa lebih fokus ke program. Bahkan, mereka juga mampu membelikan tiket dan penginapan untuk pegiat film dokumenter dari berbagai daerah, seperti Jambi, Padang Panjang, Aceh, Pontianak, Purbalingga, Bojonegoro, hingga Papua. Termasuk juga mengundang pegiat film dokumenter dari luar negeri, seperti Makiko Wakai (Programmer Yamagata Documentary International Film Festival), Puiyee Leong (Objective Centre Singapore), Chalida Uabumrungjit (Thai Film Archive), Dain Said (SeaShorts International Film Festival/Malaysia), dan Daag Yverson (akademisi film Universitas Nottingham Malaysia).
Meski demikian, Yudha menyadari bahwa dukungan tersebut bisa jadi tidak selamanya ada. Untuk itu dia dan rekan-rekannya harus pintar-pintar mengelola keuangan, termasuk berupaya menabung. Dana ini yang kelak digunakan untuk kegiatan selanjutnya.
Vivian Idris, Ketua Bidang Festival dan Kegiatan PerfilmanBadan Perfilman Indonesia, mengatakan, dari sisi isu, Indonesia sangat kaya. Hanya saja sering kali tidak mendapat dukungan, terutama segi finansial, yang memadai. Saat ini bisa dibilang musim semi karena ada gelombang yang bagus antara pemerintah dan pegiat film dokumenter. Sudah selayaknya FFD sebagai festival film dokumenter tertua di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, mendapat perhatian lebih.
Cerita sejarah
Sore itu, Jumat (18/11/2022), Yogyakarta sejuk sehabis hujan. Di dalam gedung bekas bioskop Permata lebih sejuk lagi. Sekitar 50 penonton duduk penuh konsentrasi menonton film Expedition Content (2020) karya Ernst Karel dan Veronika Kusumaryati. Film berdurasi 78 menit ini berisi rekaman percakapan yang disusun dari 37 rekaman dokumentasi Ekspedisi Peabody Harvard ke Nugini Belanda (saat ini Papua Barat) oleh sineas Robert Gardner pada 1961. Hampir 95 persen layar warna hitam gelap dan penonton hanya bisa menyimak beragam percakapan yang kadang kala aneh disertai penerjemahan.
Beberapa penonton memilih beranjak setelah sepertiga atau dua pertiga film. Namun, sebagian besar bertahan. Mereka yang memilih untuk bertahan beralasan film ini terkait erat dengan sejarah sehingga harus ditonton meskipun ada juga yang merasa terjebak karena berharap akhir yang mengejutkan.
Apa pun impresi yang muncul, mereka inilah penyokong nyata film dokumenter. Mereka yang selalu ingin menonton meskipun kadang tidak sepenuhnya paham film yang mereka tonton. Untuk film dokumenter yang dianggap marjinal dan yatim, mereka siap menjadi teman baik.