Pelaju yang Terkuras di Jalan
Memulai hari sejak subuh hingga malam menjadi rutinitas mayoritas pelaju dari luar kota Jakarta. Apakah mereka bahagia?
Ibu Kota lebih kejam daripada ibu tiri tampaknya benar adanya. Memulai hari sejak subuh hingga malam menjadi rutinitas mayoritas pelaju dari luar kota Jakarta. Apakah mereka bahagia?
Pada usia muda, para pelaju kerap tak sadar bahaya besar dari kegiatan fisik yang mereka lakukan untuk mencari nafkah. Kelelahan, mengonsumsi makanan dan minuman secara sembarangan, serta tak berolahraga mengakibatkan kejadian fatal, seperti stroke, gagal ginjal, sampai menjadi asosial. Inilah kisah mereka.
Hampir setengah usia Wibawa (50) dihabiskan di atas jok sepeda motor. Sejak bekerja pada awal 2000-an hingga tahun 2019, setiap hari ia menjalani rutinitas dari rumah ke kantor dan sebaliknya dengan bersepeda motor. Jarak yang ditempuhnya setiap hari masuk kategori lumayan jauh sampai jauh sekali.
Awalnya, sarjana teknik sipil itu berkantor di daerah Slipi, berjarak sekitar 30 kilometer dari rumahnya di Taman Alamanda, Jalan Karangsatria, Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Beberapa tahun kemudian, ia dipindahkan ke bengkel kerja di daerah Muncul, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Kini, jarak kantor ke rumahnya menjadi kurang lebih 60 kilometer.
Wibawa tetap memilih naik motor pergi pulang dengan total jarak tempuh sekitar 120 kilometer. Selepas subuh, sekitar pukul 04.30, ia berangkat dan tiba di Muncul sekitar pukul 07.00 atau 08.00, bergantung kemacetan lalu lintas. Sorenya, dia pulang dari kantor pukul 16.00 dan sampai di rumah sekitar pukul 21.00. Shalat Maghrib ia jalani di masjid di pinggir jalan.
Wibawa tetap memilih sepeda motor karena lebih praktis. ”Kalau pakai bus, mau sampai jam berapa? Ganti berapa kali? Ongkos totalnya berapa?”
Ia juga tidak pernah berpikir mengontrak rumah atau tinggal di mes kantor di kawasan Muncul. ”Saya lebih senang pulang pergi meski jauh. Biar setiap hari bertemu anak-istri. Kalau dihitung-hitung, di rumah sebenarnya cuma dari jam sembilan malam sampai setengah lima pagi. Kalau capek sekali, kadang tidur di kantor juga. Biasanya Jumat,” katanya.
Suatu ketika, perusahaan tempat dia bekerja tutup. Dia lantas pindah ke sebuah perusahaan properti besar dan ditempatkan di lokasi proyek di Kalimalang. Lokasi proyek hanya 17 kilometer dari rumahnya di Tambun Utara.
Setelah proyek selesai, ia membuat perusahaan sendiri bersama kakaknya. Proyeknya tersebar mulai Duren Sawit, Pulomas di Jakarta Timur dan yang paling jauh di Alam Sutra, Kota Tengerang, Banten. Ketika mengerjakan proyek di Alam Sutra, ia tetap melakoninya dengan sepeda motor dari rumah. Jaraknya sekali jalan 50-60 kilometer.
”Waktu kerja di proyek sendiri pressure-nya sangat tinggi. Mesti ngurus gaji karyawan, ngecek proyek yang lokasinya jauh, dikomplain klien, dan macam-macam. Badan jadi gampang capek. Yang namanya orang proyek, kalau capek, minum minuman penambah energi dan kopi. Makan sering lupa, naik motor setiap hari berkilo-kilometer,” ceritanya.
Seusai mengerjakan proyek terakhirnya, pada awal 2019, ia tumbang. Tensi darahnya menembus angka 200. Ia masuk rumah sakit. Tekanan darah tingginya membuat ginjalnya rusak. Sejak saat itu, seminggu dua kali ia mesti menjalani cuci darah. Kadang mesti transfusi darah juga.
”Mungkin fisik saya selama bertahun-tahun terkuras di jalan. Gaya hidup di proyek juga enggak baik. Makan sembarangan. Kalau pekerjaan sih biasa saja, kecuali waktu pegang proyek sendiri,” katanya.
Sejak dinyatakan gagal ginjal dan menjalani cuci darah, Wibawa tidak lagi bekerja. Kini, istrinya yang mencari nafkah dengan membuka usaha jahitan.
Terserang ”stroke”
Kondisi kesehatan yang memburuk juga dialami Taufan Arianto (61). Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu tiba-tiba terserang stroke saat tengah menyetir mobil di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, tahun 2019. Istrinya, Rini Soekarno (54), amat terkejut sebab selama ini sang suami tak pernah mengeluh sakit.
”Saya sempat protes ke Tuhan. Mengapa di usia segini malah harus mengalami keadaan seperti ini,” tutur Rini, lulusan Universitas Gadjah Mada, Selasa (15/11/2022) di Jakarta. Ia kemudian merunut ke belakang soal kegiatan yang ia dan suaminya jalani nyaris setiap hari dari rumah di Bojonggede, Kabupaten Bogor, sekitar 50 kilometer ke tempat kerja mereka di Jakarta.
Pasangan yang sama-sama bekerja di perusahaan media itu memilih naik sepeda motor atau mobil untuk berangkat dan pulang kerja. Jalur yang mereka lewati dari Bojonggede ke Parung, Pamulang, Ciputat lalu Lebakbulus.
Di sepanjang jalan tersebut, setiap pagi, sore, sampai malam, kemacetan parah rutin terjadi, membuat perjalanan berangkat dan pulang mencapai 2-2,5 jam, bahkan kadang-kadang 3 jam. Setidaknya setiap hari Rini dan Taufan berada di jalan selama 4 hingga 5 jam. Belum lagi jika ada tugas keluar kantor.
Ketika sedang bekerja di tempat terpisah, Rini mengakui tak bisa mengontrol apa saja yang dikonsumsi suaminya. ”Kolesterol suamiku tinggi, tapi dia menderita tekanan darah rendah,” ujar Rini.
Sampai rumah karena kelelahan, Taufan nyaris tak pernah berolahraga untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darahnya. Tak disangka kondisi selama sekitar 20 tahun itu berdampak fatal, tiba-tiba Taufan terkena serangan stroke. Kini, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur.
Sejak Taufan stroke, pembiayaan kehidupan keluarga tersebut berada di tangan Rini yang sempat mengalami pemotongan gaji hampir 50 persen selama pandemi. Beruntung anak sulung mereka lulus tepat waktu dari Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran lalu langsung mendapat pekerjaan.
”Setidaknya ia bisa membantu biaya bayar listrik, Wi-Fi dan beli popok (pampers) buat ayahnya,” kata Rini yang ibu dua anak tersebut.
Kini, ia mau tak mau harus naik kereta komuter dan bus Transjakarta atau MRT untuk bekerja karena lebih cepat, praktis, dan irit walau tetap melelahkan fisik. ”Saya jalani saja. Sekarang sudah tak protes lagi kepada-Nya,” ucap Rini.
Pejuang subuh
Perjuangan melelahkan juga harus ditempuh Mamat Syamsudin (43). Ia melaju dari rumahnya di Caringin, Bogor, mendekati perbatasan Sukabumi, Jawa Barat, ke Senayan, Jakarta. Jarak yang ditempuh sekali jalan sekitar 85 kilometer.
Aparatur sipil negara Sekretariat Komisi IV DPR RI itu juga harus mengorbankan waktu tidurnya. Ia sudah terjaga sekitar pukul 03.00. ”Paling telat, jam 03.30. Saya naik motor yang dititipkan di Ciawi (Bogor), pukul 05.00. Lalu, menumpang bus sampai Senayan,” katanya.
Di perjalanan, ia biasanya tidur. Mamat yang bekerja sejak pukul 08.00 terbangun menjelang tiba di tujuan. ”Kalau enggak keburu, naik omprengan. Turun di UKI (Jakarta) lanjut busway ke Senayan. Pukul 05.30 saja di Sentul (Bogor) sudah padat,” ujarnya.
Perjalanan pulang ke rumah lebih repot karena harus jalan ke Pasar Palmerah untuk naik mikrolet sampai Slipi lalu naik bus Transjakarta ke Universitas UKI di Cawang. ”Pulang pukul 16.00 kalau tepat waktu. Sampai rumah, pukul 19.30. Bisa saja dari kantor pukul 19.00, sampai rumah pukul 22.00,” kata Mamat.
Ia sering menyiapkan keperluan untuk esoknya sehingga baru tidur tengah malam. ”Saya bisa tidur pukul 01.30. Memang, tidur saya enggak cukup,” katanya di Bogor, Rabu (16/11/2022). Oleh karena kerap pulang malam hari, ia mencemaskan kerawanan di UKI, tetapi masih lebih khawatir terlambat sampai kantor karena bakal terkena potongan gaji.
”Macetnya setiap tahun semakin parah. Namun, sebagai pejuang subuh, saya jalani demi dia dan si buah hati,” katanya sambil tertawa.
Mamat menetap di rumah seluas 72 meter di Caringin sejak ditugaskan oleh kantornya di Wisma DPR, Cisarua, Bogor, sekitar 15 tahun lalu. Harga rumah yang ia tinggali waktu itu sekitar Rp 150 juta yang masih ia angsur sampai sekarang.
Mamat yang menjadi pegawai di DPR sejak 20 tahun lalu itu harus mengatur gaji sebesar Rp 3,5 juta atau total Rp 6 juta per bulan jika ditambah tunjangan. Ia menyiasati pendapatannya agar cukup dengan cara, misalnya, makan siang di kantin yang sederhana.
”Sering enggak sarapan. Kalau sempat, bawa makanan dari rumah. Saya juga ngurangin makan bareng teman-teman. Sedih juga,” ujarnya. (BSW)