Kaum Urban Mencari Nenek Moyang
Pragolo Adi tak segan-segan merogoh saku cukup dalam untuk berziarah ke makam Adipati Pragola. Demikian pula Ari Marifat Fabanyo yang menempuh ribuan kilometer. Mereka menelusuri asal-usul leluhurnya demi kepuasan batin.

Pragolo Adi Marsudi (kiri) merawat ayamnya di Tangerang Selatan, Banten.
Keingintahuan terhadap asal-usul leluhur menggelitik orang dan mendorong mereka melakukan banyak hal. Ada yang mengunjungi makam-makam, mengubek-ubek silsilah, hingga menjalani tes DNA. Kantong terkuras tak mengapa asal rasa penasaran soal siapa nenek moyang mereka terobati.
Pragolo Adi (45) mematut-matut ayam jagonya sambil berjongkok. Hewan yang sesekali dia ikutkan kontes tersebut tampak tegap dengan bulu lebat, kokok nyaring, dan tatapan mata tajam. Warga Serpong, Tangerang Selatan, Banten, itu mengelus dan menatap lekat-lekat piaraannya itu dengan bangga.
”Kayak hobi raja, patih, atau adipati zaman dulu, ya, kan? Maklum, begini-begini saya keturunan ningrat juga,” ujarnya seraya terkekeh, Selasa (18/10/2022). Kurungan dengan ayam jago terlihat, berikut sejumlah induk dan anak-anaknya. Pakan, obat, dan suplemen senantiasa disediakan tiga pekerja dengan sigap.
Ia beranjak lalu duduk santai. Sambil menyeruput kopi panas yang pekat, Adi lantas memaparkan silsilah leluhurnya. ”Saya sampai bela-belain untuk mencari tahu ke Jawa Tengah, tahun 2018. Ziarah ke makam Adipati Pragola. Naik kereta ke Semarang, dilanjut carter mobil,” ujarnya.
Orangtua Adi menamakannya Pragolo setelah memimpikan tokoh yang berkuasa pada abad ke-17 itu. Ia pun pernah bermimpi yang membuatnya sangat gelisah. ”Nyaris sebulan, mimpi terus. Pesannya, saya disuruh ziarah. Jangan lupa sama leluhur,” ujarnya sambil tersenyum.
Pragola sebenarnya merujuk kepada dua tokoh, yakni Pragola I yang dikebumikan di Semarang dan Pragola II di Pati. Ia mendatangi makam keduanya. ”Biasanya, saya enggak mikirin kayak begitu-begitu, tapi mimpi terus hampir tiap hari, jadi berangkat juga,” ucapnya.
Baca juga: Dari DNA Ketahuan Deh, Siapa Saya
Ia rela merogoh saku untuk bepergian bersama istrinya dengan biaya sekitar 1,5 juta per hari. Saat berziarah, ia diberi tahu tentang silsilah yang semakin meyakininya berkerabat dengan dinasti Pragola. Meski tak merujuk secara langsung, Adi merasakan kedekatan secara geografis karena kakeknya dimakamkan di Bergota, Semarang.
Ia mengaku tak punya legalitas hitam di atas putih untuk membuktikan keabsahannya sebagai keturunan Pragola. Namun, paling tidak, ia sudah merasa puas secara rohani setelah menuntaskan upaya untuk menelusuri asal-usul leluhurnya. ”Kalau mau cari kesahihan, siapa pun yang mengaku keturunan raja, misalnya, sering susah dibuktikan. Kertas, perkamen, atau cap tentu hancur setelah ratusan tahun,” ucapnya.
Penderitaan ayah
Pencarian jejak leluhur juga dilakukan Ari Marifat Fabanyo (50). Ia dulu menyaksikan penderitaan sang ayah, Abdulsalam Fabanyo, lantaran terpisah jarak yang sangat jauh dari tempatnya dilahirkan. Pada awal 1960-an, Abdulsalam yang kerap disapa Tam merantau dari Soa Sio, Ternate, ke Bandung, Jawa Barat, demi melanjutkan studi di ITB.
Dia kemudian menikah dengan seorang gadis di tanah rantau pada 1965. Namun, sejak menikah mereka tidak bisa pulang ke Ternate. Saat itu, biaya untuk pulang kampung mahal sekali karena moda transportasi masih sangat terbatas. Bahkan, ketika ibunya di Ternate meninggal, Abdulsalam tetap tidak bisa pulang. Dia hanya bisa menangis di telepon saat mendengar kabar duka itu.

Ari Marifat Fabanyo berhasil menelusuri dan berkumpul dengan keluarga dari sisi ayahnya, Abdullah Fabanyo, yang sempat terputus hubungan sejak enam dekade lalu merantau dari Soa Sio, Tidore, Maluku Utara, ke Bandung, Jawa Barat, untuk melanjutkan studi ke ITB.
Setelah lebih dari tiga dekade merantau, barulah Abdulsalam pulang bersama istrinya yang saat itu sebenarnya sakit-sakitan pada 1995. Mereka pergi berdua, layaknya pasangan yang baru menikah.
”Mereka senang sekali bisa pulang ke Ternate. Tapi, dua tahun setelah itu nyokap meninggal dan enam bulan kemudian bokap menyusul,” kenang Ari.
Kenangan pahit sang ayah yang tidak bisa pulang kampung masih membayangi Ari. Dia berpikir, jejak keluarga itu sangat penting bagi setiap orang. Hal ini sekaligus mendorong Ari menelusuri sendiri silsilah keluarga pada 2019. Ia melakukan perjalanan fisik sekaligus pencarian spiritualnya, tahun 2019.
“Tadinya mau umrah, tapi masih ada tanggung jawab besar, terutama untuk memahami nama Fabanyo,” ujarnya. Tanpa tahu memulai dari mana, ia berangkat ke Pulau Doom, Sorong, Papua, menemui satu-satunya adik perempuan sang ayah. Dari sang tante, Mujna Fabanyo atau Tante Neti, Ari baru tahu bahwa ayahnya punya empat kakak.
Mereka meninggal dalam waktu berbeda akibat wabah atau penyebab lain. Sebelumnya, Ari mengira ayahnya sulung dari tiga bersaudara dengan Tante Neti sebagai bungsu. Walau tak banyak cerita didapat dari sang tante yang sudah berusia lanjut dan banyak lupa, Ari merasa punya banyak gambaran ayahnya. Ia melanjutkan perjalanan ke Raja Ampat untuk menemui sepupunya, yang mengantar dia menemui keluarga keturunan mereka di Tidore.
Setelah menghabiskan waktu sekitar seminggu di Papua, Ari dan sepupunya, Gaya, menumpang kapal laut ke Ternate, lalu ke Tidore. Ari berhasil menemukan rumah tempat ayahnya dilahirkan. Ia juga menemui saudara-saudara sepupu dan menyambung tali silaturahmi.
Baca juga: Studi Genetika Perkuat Keberagaman Bangsa Indonesia
Ari juga berziarah ke makam kakek, buyut, dan leluhurnya. Belakangan, ia menyadari masih tersambung dengan garis keturunan kesultanan setempat. Kini, Ari lega karena upaya kerasnya membuahkan kebahagiaan. Ia juga mendokumentasikan dan mencatat silsilah keluarga walau diakui belum sempurna, tetapi mampu menjawab penasarannya selama ini.
Komunitas Alawi
Cerita demi cerita yang disampaikan keluarga membuat penulis Ben Sohib mengetahui silsilahnya secara terang. Komunitas Alawi, begitu ia menyebutnya, tersebar di sejumlah negara dan masih satu garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW.
Hal ini pun diterimanya sebagai realitas keluarga, meski Ben menegaskan dirinya adalah Indonesia karena terlahir di sini. Bahkan, neneknya juga berdarah Jawa. ”Menjadi orang Indonesia itu bukan pilihan, tapi memang saya Indonesia karena terlahir di Indonesia. Kalau kemudian ada pertalian dengan komunitas dari garis leluhur, itu realitas keluarga,” ujar Ben.
Ben menuturkan, Alawi berhijrah ke banyak negara. Ada yang ke Hadramauth di Yaman, Irak, Iran, Kazakhstan, China, hingga Indonesia. ”Jadi, enggak ada kaitannya dengan etnisitas. Karena migrasi itu membuat semua menyebar dan jadi bagian dari bangsa di mana ia berada,” ucap Ben.
Penjelasan ini tentu tidak serta-merta diterima. Awam biasanya hanya melihat dari bungkus luar atau tampilan fisik yang mencirikan kekhasan dari suku atau golongan tertentu. Padahal, tak ada orang yang murni asli dari suku atau golongan tertentu karena migrasi moyangnya.
Ben berpendapat, perlu peneguhan identitas ini untuk melawan pandangan rasialisme. Sekaligus, bisa meluruskan jika muncul pendapat yang ngawur terkait identitas tertentu.
Dalam hal ini, Ben kerap menuangkannya dalam karyanya berupa buku dan tulisan. ”Tak pernah spesifik untuk tujuan itu (menegakkan identitas). Tapi, secara langsung ataupun tidak, apa yang saya ketahui, baca, dan kebiasaan berkaitan dengan leluhur itu masuk saja ke dalam karya. Misal, bagaimana komunitas terbentuk, kode-kode yang digunakan itu mengalir begitu saja,” ungkapnya.
Hal ini akan menjadi penting ketika mereka menyadari tak ada yang murni berasal dari suku atau daerah tertentu sehingga identitas tak dimainkan sebagai senjata yang berpotensi merusak perdamaian.
Tes DNA
Beberapa tahun terakhir, banyak kaum urban yang mencoba melacak jejak leluhur lewat jalur medis, yakni tes DNA. Bagaimanapun, ilmu pengetahuan telah menemukan bahwa kode genetika dalam tubuh seseorang bisa menceritakan banyak hal, termasuk jejak asal-usul nenek moyang.

Petugas laboratorium melakukan uji sampel DNA (deoxyribonucleic acid) di laboratorium Asaren, salah satu perusahaan rintisan bioteknologi di Jakarta, Kamis (20/10/2022). Selain untuk mengetahui informasi kesehatan, tes DNA dapat dimanfaatkan untuk banyak hal, terutama terkait informasi genetik. Tes DNA ini juga menjadi salah satu cara yang dipakai kaum urban untuk mengetahui asal-usulnya.
Jalan ini, antara lain, ditempuh Ika Ardina yang berprofesi sebagai penulis. Keinginan untuk menjalani tes DNA awalnya karena ia penasaran dengan asal-usulnya. Konon, nenek buyutnya masih keturunan Eropa. Namun, hal itu belum ia yakini benar.
Setelah menjalani tes DNA dengan biaya Rp 4 juta, Ika menemukan fakta dirinya 78 persen Asia Tenggara dan sebagian besar Vietnam. Ika juga memiliki komponen keturunan China Barat sebesar 17 persen.
”Makna yang saya petik dari pemeriksaan ini adalah kita bukan pure blood (berdarah murni) Indonesia yang tahu-tahu ada. Prosesnya (kita ada) bisa macam-macam, lewat perkawinan silang,” ucap Ika.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tantan Hermansah, melihat, fenomena banyaknya kaum urban bersusah payang melacak identitas sebagai hal yang wajar. Pada hakikatnya, lanjut Tantan, manusia akan selalu punya keinginan untuk berkhidmat pada leluhurnya. Sebab, ketika mereka terkoneksi dengan leluhur dan asal-usulnya, orang merasa nyaman dan tenteram.
Sebagian orang mencoba terkoneksi dengan leluhur lewat tradisi ziarah yang sudah lama dipraktikkan, terutama oleh mereka yang kerap mencari ketenangan spiritual. Jika tren ini menguat, ”Mungkin ke depan kita akan lebih sering melihat orang berswafoto di makam-makam, yang sebelumnya identik dengan hal-hal menyeramkan,” ujar Tantan.