Berawal dari niatan untuk memitigasi potensi masalah kesehatan di masa depan, Sari Akhmad memutuskan untuk melakukan tes DNA. Ternyata ada gen Vietnam di tubuhnya.
Oleh
RIANA A IBRAHIM, WISNU DEWABRATA, DWI BAYU RADIUS
·6 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas laboratorium melakukan uji sampel DNA (deoxyribonucleic acid) di laboratorium Asaren, salah satu perusahaan rintisan bioteknologi di Jakarta, Kamis (20/10/2022). Selain untuk mengetahui informasi kesehatan, tes DNA dapat dimanfaatkan untuk banyak hal, terutama terkait informasi genetik. Tes DNA juga menjadi salah satu cara yang dipakai kaum urban untuk mengetahui asal-usulnya.
Identitas menjadi suatu yang niscaya. Siapa saja bisa mengklaim asal muasalnya untuk mengukuhkan identitasnya. Namun, kode genetika di dalam tubuh tak bisa disangkal. Itulah yang mendorong banyak kaum urban mulai memeriksakan DNA untuk melacak asal-usul mereka.
Berawal dari niatan untuk memitigasi potensi masalah kesehatan di masa depan, Sari Akhmad memutuskan untuk melakukan tes DNA. Ia sempat menjajal 23andme.com, perusahaan rintisan California, untuk membeli kit secara daring, tapi batal karena perusahaan itu tak melayani pengiriman ke Indonesia.
Seiring waktu, pada masa pandemi 2021, ada perusahaan serupa di Hong Kong dengan ragam laporan yang lengkap sampai 500 laporan hasil. Ia pun memutuskan untuk membeli paket premium itu ketika sedang promosi dengan harga sekitar 600 dollar AS.
Salivanya pun diambil, lantas dikirim ke Hong Kong lewat jasa pengiriman. Kurang dari satu bulan, ia menerima laporan hasil pemeriksaan yang sangat lengkap, termasuk asal-usul nenek moyangnya. ”Cukup mengejutkan. Rupanya, 32 persen jejak nenek moyang saya dari Vietnam. Saya jadi ingat, nenek saya dulu sering bercerita, leluhur saya menikahi putri dari Champa. Eyang yang orang Jawa menyebutnya ’cempo’. Tadinya saya enggak terlalu percaya karena enggak ada bukti juga,” ujarnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Produk kit tes DNA yang disediakan perusahan rintisan bioteknologi Asaren.
Namun, hasil tes DNA itu mengungkap apa yang disampaikan sang nenek ternyata bisa jadi benar. Ini merujuk bahwa negeri Champa dulu memang menjadi bagian dari Vietnam di masa kini. Setelah itu, Sari mulai menelusuri silsilah keluarganya. Bahkan, Oktober 2021, ia mengajak kedua orangtuanya untuk ziarah leluhur ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
”Bertiga kami bermobil dari Jakarta menelusuri makam nenek moyang hingga generasi ke-6 di atas saya. Ganjil, tapi menyenangkan. Saya seperti baru mengenal diri saya sendiri,” ujar Sari yang tidak sengaja jadi mengetahui dirinya berkerabat dengan salah seorang temannya.
Tak cukup hanya penelusuran asal-usul dan kesehatan, tes DNA juga bisa mengetahui bakat dan karakter bawaan. Ia pun melakukannya kepada anak-anaknya sehingga bisa menjadi panduan dalam membimbing dan mengasuh anaknya untuk menemukan kemampuan dan pendidikan yang tepat dengan mengedepankan minat dan bakatnya.
Begitu pula Ika Ardina. Ia mulai dapat mengatur kesehatannya setelah mengetahui kemungkinan penyakit yang dideritanya dari tes DNA yang dilakukannya. Ia berisiko menderita tiga jenis kanker.
”Salah satunya, kanker usus. Saya harus menghindari makanan yang mengandung karsinogen. Tidur maksimal pukul 23.00, padahal saya baru bisa mikir tengah malam,” ucap Ika.
Ika yang berprofesi sebagai penulis lepas ini juga mulai menghindari minuman beralkohol dan mengatur pola makan. ”Saya disarankan mengurangi daging merah. Malah kekurangan nutrisi. Jadinya, infeksi virus. Lumayan parah,” ucapnya.
DEONISIA ARLINTA
Sejumlah pengunjung mengamati papan informasi yang disajikan dalam Pameran Asal Usul Orang Indonesia (Asoi) di Museum Nasional pada 15 Oktober 2019. Pameran ini diinisiasi Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama majalah sejarah daring Historia.id.
Keinginan melakukan tes DNA awalnya muncul karena Ika ingin tahu siapa leluhurnya lewat DNA karena menyimak iklan yang berseliweran di media sosial. ”Katanya, nenek buyutku ada keturunan Eropa. Lagi pula, beberapa kerabat mukanya kayak bule. Jangan-jangan benar, iseng juga, sih,” katanya sambil tertawa.
Dengan biaya Rp 4 juta dan melakukan tes yang dikirim dari Hong Kong, Ika menemukan fakta dirinya justru 78 persen Asia Tenggara dan sebagian besar Vietnam. Ika juga memiliki komponen keturunan China Barat sebesar 17 persen. Penasaran, ia mengambil lagi paket premium seharga Rp 5,5 juta.
”Makna yang saya petik dari pemeriksaan ini adalah kita bukan pure blood (berdarah murni) Indonesia yang tahu-tahu ada. Prosesnya (kita ada) bisa macam-macam, lewat perkawinan silang,” kata Ika.
Kini, laboratorium independen yang menyediakan jasa tes DNA ada di Jakarta. Umumnya jenis tes yang disediakan terkait pelacakan potensi penyakit seseorang di masa depan. Iklan-iklan terkait jasa itu juga mulai berseliweran di lokapasar.
Salah satu laboratorium yang menyediakan jasa tes DNA di Jakarta adalah Asaren. Antony Subagia, Chief Operating Officer Asaren, optimistis dengan prospek Asaren di Indonesia dan pesatnya perkembangan teknologi. ”Teknologi baru memungkinkan produksi massal dari proses kami. Biaya pun bisa turun. Tentu akan lebih banyak masyarakat menggunakan teknologi (DNA) ini karena tarifnya terjangkau,” ujarnya.
Terkait pemeriksaan DNA untuk mengetahui jejak leluhur, Antony menyebutkan, secara teknologi hal itu bisa dilakukan dengan sampel yang memadai, tetapi biayanya masih mahal.
Peneliti Utama Mochtar Riady Institute for Nanotechnology, Herawati Sudoyo, menjelaskan, tes DNA yang dilakukan individu ini umumnya berawal dari keingintahuan. Dulu, hanya ada tes DNA paternitas. Namun, berkembangnya penelitian membuat orang dapat menelusuri leluhurnya. Pandemi pun menyebabkan orang lekat dengan bentuk tes semacam ini.
Perempuan yang pernah menjabat Kepala Laboratorium DNA Forensik dan Peneliti Utama di Laboratorium Keanekaragaman Genom dan Penyakit di Eijkman Institute ini mengungkapkan, tes DNA ancestry sangat penting untuk skala populasi.
Namun, bisa jadi tes itu penting juga untuk skala individu. Sebab, banyak informasi yang bisa diambil. Tidak sekadar leluhur, tapi juga kesehatan hingga berkaitan dengan nutrisi yang dikemas dalam nutrigenomik, yaitu konsumsi makanan sesuai gennya. Pengobatan juga bisa lebih personal orang per orang lewat farmakogenomik.
”Skala populasi sudah jelas pentingnya untuk memetakan suatu wilayah sehingga bisa mengambil tindakan yang tepat atau mengetahui kecenderungan yang bisa terjadi di situ. Untuk skala individu, orang bisa mengetahui tidak ada yang berdarah murni, semua kita ini campuran. Baru data lainnya berkaitan dengan kesehatan dan lainnya,” tutur Herawati.
Sejalan dengan migrasi dan pembauran yang membuat gen bisa berubah susunannya atau bermutasi, ini bisa juga ditampilkan secara kasatmata lewat fisik, kebiasaan, hingga bahasa.
Hasil ini jelas menarik mengingat politik identitas acapkali digunakan untuk menyerang. Isu rasialisme di sejumlah negara juga tak kunjung surut, padahal rantai genom dalam diri masing-masing membuktikan adanya percampuran yang nyata karena nenek moyang bermigrasi dari satu tempat ke tempat lainnya.
Bukan keren-kerenan
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Tantan Hermansah, menganggap tren masyarakat urban mengikuti tes DNA belakangan ini adalah sekadar bentuk gimik. Apalagi ketika informasi yang diperoleh dari hasil uji DNA itu ujung-ujungnya sebatas dipamerkan melalui akun media sosial masing-masing.
KOMPAS/AHMAD ARIF
Masyarakat Kampung Tradisional Takpala, Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menyambut kedatangan tamu pada 12 Mei 2017. Secara genetis, orang Takpala memiliki struktur genetika 90 persen Papua dan sisanya Austronesia. Jejak genetika ini juga dikisahkan dalam mitologi tentang asal-usul mereka.
Menurut dia, kaum urban banyak yang teralienasi oleh kehidupan modern. Mereka cenderung membutuhkan adanya pengakuan dan perhatian, terutama dari lingkungan sekitar. Salah satu cara untuk mendapat perhatian adalah dengan menunjukkan diri memiliki kelebihan atau keunikan. Hal itu lantas mendorong mereka mencari hal-hal paling otentik dan jarang bisa dilakukan semua orang untuk lalu dikemukakan ke publik.
”Jadi, ada baiknya untuk melakukan tes DNA ini dengan bijak. Salah satunya tadi untuk membangun kesadaran bahwa pada akhirnya kita semua adalah penduduk dunia, citizen of the world. Tak peduli apa ras, suku, atau asal daerah moyangnya,” ujar Tantan.
Pasalnya, lanjut Tantan, ciri fisik yang dominan pada seseorang nyatanya juga tidak serta-merta mengungkap jati diri yang sesungguhnya. Bahkan, Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia menyatakan, keberadaan negara dan bangsa ini rekaan kelompok manusia untuk meneguhkan identitas kelompok, sedangkan setiap individu dalam kelompok itu jelas beragam.
Rantai genom yang dimiliki setiap manusia ini seperti dokumen informasi rahasia dari Tuhan yang selama ini sudah ada dalam diri masing-masing. Kalau mau mengintipnya lewat serangkaian tes DNA, ya, boleh saja.
Soalnya, dari tes DNA itu bisa ketahuan siapa Anda.