Nasi Goreng, Solusi Perut Urban
Nasi goreng keliling adalah penyelamat untuk mereka yang kelaparan tengah malam.

Penjual nasi goreng tek-tek keliling, Kober, memasak di salah satu wilayah perumahan di Kemanggisan, Jakarta Barat, Jumat (14/10/2022)
Di tengah hutan beton Jakarta berseliweran para penjual nasi goreng di gang-gang kecil permukiman hingga tengah malam. Inilah cerita suka duka penjual nasi goreng keliling yang telah menjadi elemen penyokong kehidupan masyarakat urban.
”Tek-tek!” Bunyi nyaring sodet beradu dengan wajan mengisi kekosongan di kawasan Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat, Jumat (14/10/2022) malam. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, Pak Kober (58) baru keluar untuk mendorong gerobak nasi gorengnya yang sudah usang. Lampu petromaks menuntun perjalanannya.
Kober sudah menjadi penjual nasi goreng keliling sejak 1986 di kawasan Jakarta Barat. Pernah menjadi penjual mi pikul, ia lalu beralih ke gerobak yang menjual nasi, mi, dan kwetiau pada 1990-an. Laki-laki asal Klaten, Jawa Tengah, ini sudah mencari rezeki di Ibu Kota selama 35 tahun lebih.
”Dulu di daerah sini ada enam penjual nasi goreng dari Klaten, Pemalang, dan Gunungkidul, tapi terus berkurang. Ada yang pindah dan pensiun karena sudah tua. Sekarang tinggal saya dan teman dari Klaten, Slamet,” kata Kober yang belajar meracik nasi goreng dari orang Pemalang.
Menurut Kober, penjual nasi goreng gerobak tek-tek keliling melimpah selama tahun 1980-1990-an di Jakarta. Malahan di kawasan tempat dia berjualan pernah ada juragan dengan 15 gerobak, termasuk gerobak yang dipakai Kober.
Seiring waktu, jumlahnya berkurang drastis. ”Generasi baru udah enggak ada yang mau jadi penjual keliling. Mungkin enakan kerja di pabrik atau, kalaupun jualan, milih mangkal,” ujar Kober yang berjualan dari pukul 19.30 sampai 02.00.
Kober menyebut, sejak aplikasi penjualan secara daring banyak dipakai orang, tukang nasi goreng keliling terkena pengaruhnya. Istilah kerennya terdisrupsi teknologi digital. Sama seperti yang dialami perusahaan besar.

Penjual nasi goreng dok-dok keliling, Muhammad Ali, memasak di salah satu wilayah perumahan di Kemanggisan, Jakarta Barat, Rabu (12/10/2022)
Karena disrupsi penjualan daring, hasil dari jualan keliling jadi makin tidak pasti. Dulu, Kober bisa setiap hari memasak empat liter beras menjadi nasi bahan nasi goreng. Sekarang, jumlah yang dia bawa hanya setengahnya.
Selain disrupsi teknologi digital, ada disrupsi lain yang ditakuti tukang nasi goreng keliling sejak lama, yakni hujan deras.
Meski begitu, Kober enggan mangkal di satu tempat lantaran sering pulang kampung menengok istri, anak, dan cucu. Namun, ia bersyukur setidaknya bisa menjual rata-rata 30 porsi nasi dan mi dengan harga Rp 13.000 per porsi sehari. Untung bersihnya sekitar Rp 100.000 setiap hari.
Berjualan pada malam hari juga mengundang banyak risiko. Selain harus mencari pelanggan, Kober sudah kenyang pengalaman ditipu ”pembeli”. ”Dukanya, banyak yang ngutang. Ada yang habis makan kabur atau ada yang pesan terus pinjam duit beli rokok, eh malah dia enggak balik-balik. Belum lagi piringnya dipecahin. Rugi saya,” tutur Kober.
Penjual nasi goreng tek-tek memang mulai tertinggal zaman. Namun, Kober masih akan menekuni pekerjaannya selama beberapa tahun lagi sebelum berkumpul kembali dengan keluarga di kampung. ”Masih ada, kok, yang tanya kenapa kami jarang lewat,” katanya.
Tantangan bagi para penjual nasi goreng keliling semakin bertambah pada masa pandemi. Seperti yang dirasakan penjual nasi goreng dok-dok, Muhammad Ali (52). Laki-laki asal Madura, Jawa Timur, ini baru menjadi penjual nasi goreng gerobak keliling sejak 2019 setelah lama bekerja sebagai penjual sate di tempat usaha orang lain. Gerobaknya masih mulus, kentungan bambunya digantung di salah satu sisi gerobak.

Taufik, pedagang nasi goreng keliling saat mempersiapkan nasi goreng pesanan pelanggan di pinggir jalan H Adam Malik, Kota Tangerang, Banten, Rabu (12/10/2022) malam. Pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah ini mengakui telah 25 tahun berjualan nasi goreng keliling. Serial Urban Koming
”Awal berjualan nasi goreng saya kaku karena, ya, sudah terbiasa pegang kipas sate. Sodet nyangkut di wajan, terus bawang putih waktu digeprek loncat. Belajar masak nasi goreng juga di jalanan karena ngikutin permintaan pembeli,” tutur Ali yang berjualan dari pukul 19.00 hingga pukul 00.30.
Setelah tiga tahun berjualan, Ali rupanya sudah cukup mengecap tantangan sebagai pedagang keliling. Sebelum pandemi, dia bisa menjual di atas 30 porsi sehari dengan harga rata-rata Rp 15.000, sedangkan sekarang bisa sekitar 20 porsi saja.
Pelanggannya kebanyakan mahasiswa dan karyawan yang indekos di Kemanggisan. ”Sekarang habis Covid itu mahasiswa masuk, tapi belum kayak dulu lagi. Mungkin karena belajar online, ya,” kata Ali yang tinggal di sebuah rumah kontrakan bersama istri dan anaknya di Kampung Rawa.
Walaupun tinggal sedikit, beberapa warga Ibu Kota masih menjadi pelanggan setia penjual nasi goreng keliling, seperti Eka Nur Hastuti (21) dan ayahnya, Giyanto (51), di Kemanggisan, Jakarta Barat. Eka mengikuti jejak ayahnya yang sudah berlangganan nasi goreng keliling sejak akhir 1990-an.
”Dulu, pas rajin-rajinnya, kami bisa pesan seminggu dua kali. Bapak sampai tungguin mereka lewat di pinggir jalan pas jam 10 atau 11 malam,” ujar Eka yang bekerja sebagai karyawan swasta di Cengkareng.
Nasi goreng keliling, bagi Eka, adalah penyelamat untuk mereka yang kelaparan tengah malam, tetapi malas memasak sendiri atau membeli di warung yang belum tentu masih buka pada jam segitu. ”Apalagi, kan, mereka masak langsung di depan kita, ya, enak. Jadi masih panas-panas. Enggak perlu pesan online karena mereka masih harus nganter lagi, kan,” ujarnya.

Karyawan nasi goreng Bang Her mempersiapkan nasi goreng pesanan pelanggan di lapaknya di jalan Ciledug Raya, Petukangan, Jakarta Selatan, Kota Tangerang, Banten, Rabu (12/10/2022) malam. Pemilik usaha mengakui telah berjualan sejak tahun 1993 dan menjadi salah satu nasi goreng legendaris yang digemari oleh banyak pelanggan. Serial Urban Koming
Sementara itu, Pak Irin, begitu dia akrab disapa, sudah hampir 14 tahun berjualan nasi goreng setelah menarik bajaj pada tahun 1997. Semula, pria asal Randudongkal, Pemalang, Jawa Tengah, ini berdagang keliling di sekitar Slipi dan Kemanggisan.
Selama bertahun-tahun, ia ngider sebagai pedagang nasi goreng tek-tek. Namun, sudah tujuh tahun belakangan ini, ia memilih untuk mangkal saja di pertigaan Jalan Anggrek Garuda, Jakarta, yang tidak jauh dari Pasar Slipi.
Usianya yang menginjak kepala lima membuatnya merasa lebih efektif untuk berjualan menetap di satu tempat. Pilihan tempatnya pun sengaja yang dekat dengan tempatnya menyewa kamar di samping Pasar Slipi. Saat ini, Irin tinggal bersama istri dan anak bungsunya yang masih duduk di bangku kelas V SD. Anak sulungnya telah lulus SMA dan kembali ke kampung.
Rupanya keputusannya berjualan menetap ini tidak hanya menghemat tenaganya, tetapi juga memberi dia lebih banyak keuntungan. ”Malah banyakan yang beli kalau mangkal gini. Kalau keliling itu tergantung tempatnya. Kadang ada yang beli, kadang enggak,” jelas Irin.
Setelah mangkal, tiap hari ia bisa menghabiskan 5 kilogram beras untuk berjualan atau setara dengan 40 porsi nasi goreng dengan harga Rp 15.000 per porsi. Ia mulai buka pukul 17.30 hingga 23.30. Sementara, saat berkeliling dulu, ia bisa hingga dini hari baru kembali ke kontrakannya. ”Sudah cukup sampai setengah dua belas saja jualannya, ha-ha-ha.... Habis enggak habis pulang. Tapi, ya, lima kilogram itu hampir selalu habis tiap hari,” ujarnya.
Devi Nastiti (32) adalah salah satu pelanggan nasi goreng Pak Irin. Rute jalan pulangnya dari kantor selalu melewati gerobak Pak Irin. ”Yang cepat, gampang, dan enggak terlalu mahal. Porsinya banyak juga. Jadi, sering beli sambil jalan pulang. Enggak pake ongkir lagi, kan, ha-ha-ha...,” ucap Devi sambil tertawa.
Bahkan, pas pandemi, saat Devi terjebak tak bisa pulang ke Surabaya, nasi goreng Pak Irin menyelamatkannya. ”Pak Irin tetap jualan walau kadang tempatnya suka pindah di dekat Pasar Slipi karena, kan, selalu ada Satpol PP yang keliling, ya, pas lagi ketat-ketatnya itu. Untung ada Pak Irin. Kalau pake ojol (ojek online) terus, jadi boros juga,” ungkapnya.
Perut urban
Dosen Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran, Bandung, Fadly Rahman, mengatakan, kehadiran penjual nasi goreng keliling tidak lepas dari migrasi warga Pulau Jawa untuk mencari peruntungan di Ibu Kota pascatahun 1965. Sama seperti penjual makanan lainnya, seperti warteg, kehadiran mereka dibutuhkan untuk mengisi perut masyarakat urban.

Suwarto dan istri memasak nasi goreng di kawasan Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Jumat (14/10/2022).
”Ketika masyarakat kelas pekerja yang pulang malam dan enggak sempat makan, mereka yang menyelamatkan perut masyarakat urban. Kehadiran mereka ini berhubungan juga dengan bagaimana mereka melihat peluang konsumen di kota besar dengan segala kesibukan sehingga enggak sempat masak,” kata Fadly.
Ditambah lagi, meskipun menunya sederhana, nyatanya keberadaan mereka bisa bertahan selama berpuluh-puluh tahun di berbagai sudut kota. Nasi goreng adalah menu praktis yang pembuatannya tidak membutuhkan kursus atau sekolah khusus.
”Memang menu nasi goreng itu praktis, ya. Nasi bisa dicampur dengan bahan lain, terus dicemplungkan ke wajan. Masaknya tidak perlu dipisah. Apalagi dari tradisinya, orang Indonesia memandang nasi itu lebih mengenyangkan,” katanya.
Fadly melanjutkan, sejarah nasi goreng konon berasal dari China. Pada prinsipnya, masyarakat zaman itu tidak ingin membuang nasi kemarin karena masih layak dikonsumsi. Nasi kemudian digoreng dan ditambahi bumbu sehingga lebih nikmat. Orang dari China selatan kemudian membawa menu ini ke Nusantara pada abad X-XV Masehi yang kemudian ditiru orang Jawa.
Seiring berjalannya waktu, nasi goreng juga diterima di kalangan menengah dan elite di masa kolonial. Nasi goreng kemudian berkembang menjadi ikon kuliner Indonesia.
”Ini memang makanan merakyat. Nasi goreng juga mengalami proses modifikasi menggunakan tambahan daging, telur, dan sayuran sehingga kesan nasi sisa itu jadi hilang,” ujar Fadly.
Memang, penjual nasi goreng adalah solusi bagi para manusia urban yang kelaparan, terutama saat tengah malam.