Nasi Goreng, Indonesia Banget!
Nasi goreng adalah solusi. Saat bingung mempersiapkan sarapan dan bekal ke sekolah, saat bingung memilih menu di restoran hingga saat lapar mendera jelang tengah malam dan jauh di negeri orang.
Nasi goreng adalah solusi. Saat bingung mempersiapkan sarapan dan bekal ke sekolah, saat bingung memilih menu di restoran hingga saat lapar mendera jelang tengah malam dan jauh di negeri orang. Praktis, cepat, bikin kenyang. Pokoknya solutif!
Selasa (11/10/2022), waktu baru menunjukkan pukul 06.00. Marleli (42) yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah bersiap di dapur.
Tiga puluh menit lagi, dua anaknya, Syahra (15) dan Dikara (12), harus segera berangkat ke sekolah. Selain sarapan, mereka juga harus membawa bekal karena sejak pandemi, kantin sekolah masih tutup.
Marleli bergerak cekatan. Mengambil nasi dari pemasak nasi, memotong bakso dan sosis sapi, juga daun bawang. Sejak semalam, dia memang sudah berencana memasak nasi goreng. Selain praktis dan cepat, anak-anak juga suka, tak pernah menolak nasi goreng.
Di wajan yang sudah diberi sedikit minyak goreng, Leli menggoreng dua buah telur yang lalu dia kacau menjadi orak-arik. Dia kemudian menambahkan bakso dan sosis, memasukkan nasi, lalu mencampurnya dengan kecap manis, bubuk kaldu sapi, dan bubuk paprika.
Terakhir, Leli menaburkan potongan daun bawang. Nasi goreng bakso sosis pun siap, hanya dalam waktu 15 menit. Wanginya menguar ke udara bersama uap panas dari penggorengan, menggugah selera. Sebagai pelengkap, Leli menambahkan irisan timun.
”Bikin nasi goreng, sih, enggak setiap hari, ya. Cuma kalau pas kepepet aja lagi enggak ada persiapan bekal, ha-ha-ha. Kan, bahannya gampang, semua ada di kulkas biasanya. Masaknya juga cepet, enggak pakai ribet. Anak-anak juga suka. Aman deh,” ujar Leli.
Dulu, jauh sebelum pandemi, nasi goreng hanya menjadi menu akhir pekan. Leli memasaknya untuk sarapan, dengan bumbu yang lebih komplet. ”Kadang pakai bumbu instan juga, sih, ha-ha-ha. Kan, sekarang banyak dan enak-enak. Tambahin telur, sosis, kadang juga daging asap atau sei kalau pas lagi ada. Beres deh. Semua suka,” katanya.
Andika Riza (33), karyawan swasta yang indekos di Jatipadang, Pasar Minggu, sejak dulu adalah penggemar nasi goreng. Lidahnya yang pemilih rupanya cocok dengan olahan nasi goreng dengan isian aneka rupa. Telur ceplok, telur dadar, ayam, sosis, bakso, babat, sampai yang kelas berat seperti nasi goreng iga atau kambing.
”Saya, kan, enggak terlalu doyan menu yang aneh-aneh. Tapi, kalau nasi goreng, lidah saya bisa terima. Makanya kalau lagi diajak makan di tempat baru, paling gampang, ya, pesen nasi goreng, ha-ha-ha. Nasi goreng abang-abang juga sikat aja,” kata Riza.
Masalah datang jika Riza harus pergi ke luar negeri. Riza harus ekstra keras mencari nasi goreng. ”Tapi hebat, lho, nasi goreng ini, di hotel-hotel tuh biasanya kok ada aja, ya, biarpun enggak mirip-mirip amat sama yang di Indonesia. Apalagi kalau lagi di China,” ujarnya.
Pengalaman Susilo (43) tak kalah epik. Saat dia ditugaskan kantornya ke Myanmar beberapa tahun lalu, tanpa sengaja Susilo menemukan menu nasi goreng di antara menu-menu lain. ”Padahal, itu restoran biasa aja. Langsung pesanlah. Lumayan enak juga,” ungkapnya.
Fanatik
Nasi goreng juga tak lekang waktu. Di Nasi Goreng Kebon Sirih, Jakarta, salah satu pengelola generasi kedua kedai nasi goreng yang sudah berdiri sejak tahun 1958 itu, Rahadi (50), mengungkapkan, hingga kini pelanggan nasi goreng kambing di kedainya masih terus mengalir tanpa henti. Meski banyak pelanggan baru, pelanggan fanatiknya tetap ada, bahkan hingga turun-temurun.
”Dulu ada tuh orang Arab yang selalu mesen. Udah Senin, nanti tiga hari pesen lagi. Pas puasa, Lebaran, setelah Lebaran kan libur, selalu nelepon kapan bukanya. Sampai dia sakit, terus meninggal, seperti itu terus,” ujar Rahadi.
Ada juga keluarga yang sejak anak-anaknya kecil hingga kuliah di Amerika Serikat tetap fanatik dengan nasi goreng kambing dari kedainya. ”Dulu sampai bawa ke AS. Ini, nih, mau bawain nasi goreng kambing katanya. Sampai seperti itu. Sampai sekarang udah di Indonesia, masih sehat bapak ibunya. Sama anak-anaknya, cucunya, tetep makan di sini,” imbuh Rahadi.
Dia bersyukur, meski saat ini banyak menu makanan baru bermunculan, minat orang pada nasi goreng kambing tetap besar. Jika tidak datang langsung, banyak juga pembelinya yang memesan menggunakan ojek daring. Tanda profil pembelinya mulai berubah.
Karena itu, kedainya pun terus berinovasi. Dari sisi menu, saat ini juga tak hanya nasi goreng kambing, nasi goreng ayam pun tersedia sebagai alternatif bagi orang yang tak menyukai kambing. Begitu pula menu-menu lain.
Dalam satu hari, Nasi Goreng Kebon Sirih menghabiskan 100 kilogram (kg) daging kambing dan 150 kg beras untuk 10 outlet-nya di Jakarta. Kesibukan paling terlihat di warung tenda Nasi Goreng Kebon Sirih yang asli sejak tahun 1958 di Jalan Kebon Sirih.
Sejak pukul 16.00, warung tenda itu sudah disesaki pelanggan hingga menjelang tutup pukul 00.00. Sebelum pandemi, warung bahkan tutup pukul 03.00 dan tetap ramai.
”Terbukti, nasi goreng adalah menu yang orang Indonesia banget. Makanya, enggak salah bapak saya dulu jualan nasi goreng,” kata Rahadi.
Soal variasi nasi goreng, Kedai milik Suwarto (64) alias Pakdhe di Jalan Legoso Raya, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, mungkin bisa dibilang juaranya. Di kedai yang dikelola pria asal Boyolali, Jawa Tengah, itu, setidaknya ada 23 varian nasi goreng.
Perbedaannya terdapat di pilihan isian ataupun topping. Ada yang hanya terdiri atas satu pilihan topping, seperti telur, daging, bakso, atau sosis, serta pilihan variasi di antara bahan tambahan tadi.
Penamaannya juga menarik. Selain menu Nasi Goreng Gila yang sudah lebih dulu tenar, Pakdhe juga menawarkan menu Nasi Goreng Ambalat atau Tebar Pesona, terinspirasi dari peristiwa sengketa perbatasan Indonesia dan negara tetangga Malaysia. Nama itu juga berasal dari singkatan isian nasi gorengnya, yaitu hati dan ampela ayam, bakso, telur, dan babat.
Suwarto berjualan nasi goreng sejak awal 1990-an, sepulang dari melanglang buana ke mancanegara, terutama Eropa. Pada akhir 1970-an hingga pengujung 1980-an, dia bekerja ikut atase militer Kedutaan Besar Jerman Barat kala itu. Majikan bulenya itu sangat menyukai kuliner Indonesia yang dimasak oleh Suwarto.
Awalnya, dia bekerja saat majikannya tinggal dan bertugas di Jakarta. Saat pindah ke Belanda, Perancis, Belgia, dan kembali ke Jerman Barat, Suwarto selalu diajak. ”Padahal, saya tidak berpendidikan kuliner khusus. Hanya karena dia suka masakan saya. Saya berhenti karena dipulangkan, tidak punya izin tinggal, apalagi bekerja di luar negeri,” ujarnya.
Bagi Suwarto, nasi goreng adalah makanan istimewa yang bahkan bisa disukai orang asing seperti mantan bosnya dulu. Menu nasi gorengnya terbilang menjadi salah satu favorit. Dari situ Suwarto memantapkan diri meneruskan bidang usahanya menjual nasi goreng, bahkan sampai terkumpul 20-an jenis nasi goreng kreasinya.
Satu yang unik, Suwarto selalu menimbang dan menyiapkan lebih dulu bahan-bahan isian atau topping nasi goreng buatannya. ”Disiapkan per porsi supaya adil. Enggak ada porsi nasi goreng yang dagingnya kurang atau kebanyakan. Setiap sore saya iris lalu bungkus dalam plastik dan simpan dalam lemari pendingin. Jadi selalu fresh,” tambahnya.
Sejarah panjang
Pemilik Restoran Riung Rasa, chef Maxie Millian, bercerita, sejak kecil mamanya selalu memasakkan nasi goreng untuk sarapan sebelum berangkat sekolah. Dari situ nasi goreng pun ibarat ”mendarah daging” baginya, dan diyakini juga bagi kebanyakan orang Indonesia. Di Riung Rasa, Bali, ada Nasi Goreng Brisket dan Nasi Goreng Kikil yang selalu dicari pelanggan.
Menurut Maxie, nasi goreng sangat diterima orang luar. Pengalaman itu didapatnya setelah lama bekerja di mancanegara, salah satunya di Dubai, Uni Emirat Arab. Karena itu, dia meyakini nasi goreng bisa dijadikan pintu masuk untuk lebih memperkenalkan aneka kuliner Nusantara kepada masyarakat dunia.
Di bumi Nusantara, nasi goreng memiliki sejarah panjang serta latar belakang filosofis dan kepercayaan yang tinggi. Secara kepercayaan dan filosofi, beras yang diolah menjadi nasi untuk makanan sehari-hari dianggap sebagai berkah (kaweruhan), terutama dalam tradisi masyarakat Sunda di Jawa Barat. Beras juga dipercaya sebagai representasi Dewi Sri.
”Akibatnya, beras atau nasi tidak boleh dibuang-buang. Apalagi di masa lalu proses panen butuh waktu lama. Beras atau nasi menjadi anugerah. Kalau ada sisa, dia akan diolah lagi, paling mudah menjadi nasi goreng. Makanya, ada istilah kaweruh atau berkah nasi goreng,” ujar travelling chef dan sejarawan kuliner Wira Hardiyansyah.
Saat nasi diolah kembali menjadi nasi goreng, orang juga bebas meraciknya bersama bahan isian atau bumbu-bumbu lain yang bisa dengan mudah didapat di sekitarnya. Tak heran jika kemudian varian nasi goreng bisa sangat beragam, disesuaikan dengan kondisi dan selera.
Nasi goreng juga muncul dalam salah satu episode bersejarah bangsa Indonesia lantaran jadi salah satu menu yang disantap para bapak bangsa, Bung Karno dan Bung Hatta. Saat berada di rumah Laksamana Maeda, tempat naskah proklamasi disiapkan dan dibacakan pada 17 Agustus 1945, menu nasi goreng dan telur disiapkan untuk makan sahur karena saat itu bulan Ramadhan.
Di masa lalu, nasi goreng bisa diolah dan dikonsumsi berkali-kali oleh masyarakat, terutama kalangan petani. Konsep seperti itu juga diterapkan oleh masyarakat China kawasan selatan yang mengonsumsi nasi dibandingkan masyarakat wilayah utara yang mengonsumsi gandum. Budaya nasi goreng di masa Dinasti Han sudah dikenal berupa sisa nasi yang digoreng dengan menggunakan lemak babi (chao fan).
Sampai Indonesia, resep nasi goreng bercampur lagi dengan bumbu-bumbu dan bahan baku lokal, juga dengan tradisi kuliner dan rempah asal India. Para pedagang asal India membawa kebiasaan menggunakan bumbu, terutama bawang merah, yang lantas juga menjadi bahan baku membuat nasi goreng ala Indonesia.
Saking dekatnya nasi goreng dengan kultur masyarakat Indonesia, dia ada dan bisa diterima di semua strata masyarakat. Nasi goreng dapat dengan mudah ditemukan mulai dari di pedagang gerobak pinggir jalan hingga hotel dan restoran berbintang lima.
”Orang tidak pernah akan bosan dengan nasi goreng. Sejak masih kecil kita terbiasa sarapan nasi goreng. Saat dewasa kita dikasih nasi goreng masih tetap doyan, kan?” ujar Wira.
Kapan saja, di mana saja, selalu nasi goreng.