Romantika Motor Antik dalam Sepeda Listrik
Estetika sepeda motor antik pun secara total diterapkan di sepeda listrik Vintage Electric. Baterai sepeda listrik yang biasanya ”disembunyikan” justru dijadikan fitur paling menonjol di Vintage Electric.
Membelah tanpa suara di tengah ramainya area car-free day di Jalan Sudirman–Thamrin Jakarta, Minggu (9/10/2022), barisan belasan sepeda bermerk Vintage Electric tampaknya mencuri perhatian dari sesama para penggowes hingga mereka yang hanya berjalan kaki maupun berjoging.
Selain mendapat apresiasi dalam bentuk teriakan, ”mantap bang”, barisan sepeda asal Amerika Serikat ini juga menjadi obyek foto ketika sejenak berhenti di kawasan silang Monas.
”Jadi, memang, dia ini distinct (berbeda, unik). Sangat spesial. Vintage dan kelihatan macho. Emang look-nya beda,” kata Pande Susanta (44), seorang eksekutif perusahaan energi multinasional.
Baca juga: Lebih Hemat dengan Sepeda Motor Listrik
Pande menjadi salah satu dari enam anggota komunitas pemilik sepeda Vintage Electric yang turut menemani pendiri perusahaan produsen sepeda listrik tersebut Andrew Davidge, bersepeda berkeliling Jakarta pagi itu. Kompas bersama wartawan dari dua media lain turut menjajal sepeda listrik premium itu.
Rute perjalanan sepanjang 20 km itu bermula dari pusat kawasan niaga Sudirman (Sudirman Central Business District/SCBD), Simpang Susun Semanggi, Bundaran Hotel Indonesia, Monas, Tugu Tani, Menteng, Kuningan, Gatot Subroto, dan kembali lagi ke SCBD.
Romantika
Daya tarik utama Vintage Electric memang dari tampilan khasnya. Sejak didirikan pada 2013, Vintage Electric konsisten memilih estetika yang terinspirasi gaya sepeda motor klasik. Panjang setang relatif lebar dan posisi duduk tubuh lebih rileks ke belakang. Geometri desain ini membuat pengalaman berkendara yang lebih santai ketimbang road bike modern.
Estetika sepeda motor antik pun secara total diterapkan di sepeda listrik ini. Baterai sepeda listrik, yang biasanya ”disembunyikan”, justru dijadikan pièce de résistance atau fitur paling menonjol di Vintage Electric.
Baterai dibuat berbentuk segitiga terbalik di tengah-tengah kerangka sepeda, menyaru selayaknya sebuah mesin sepeda motor. Sementara itu, dinamo motor yang menjadi penggeraknya diletakkan di tengah as roda belakang.
Sekilas, memang lebih mirip sepeda motor antik ketimbang sepeda listrik. ”Saya suka desainnya. Saya suka look-nya (yang antik) dan saya suka teknologi modernnya,” ujar Erik (33) yang merupakan perwakilan Throttle Bike Indonesia, distributor Vintage Electric di Indonesia.
Ada dua kategori sepeda yang diproduksi oleh Vintage Electric. Pertama, disebut throttlebike. Sepeda dalam kategori ini memiliki tombol throttle atau gas di setang sebelah kanan. Lokasi tombol gas ini mirip tombol starter sepeda motor biasa.
Pengguna tidak perlu mengayuh untuk menggerakkan motor listrik yang berada di hub roda belakang; cukup menekan tombol gas ini. Tracker Classic milik Pande adalah salah satu contoh throttle bike.
Baterai dibuat berbentuk segitiga terbalik di tengah-tengah kerangka sepeda, menyaru selayaknya sebuah mesin sepeda motor. Sementara itu, dinamo motor yang menjadi penggeraknya diletakkan di tengah as roda belakang.
Lalu ada kategori pedal-assist. Sepeda kategori ini tidak memiliki tombol gas. Motor listrik baru diaktifkan ketika pengguna mengayuh sepedanya. Seri Cafe yang dikendarai Kompas masuk dalam kategori ini.
Meski ada perbedaan ini, kedua tipe ini sama-sama memiliki lima tingkat daya motor, dari tingkat 1, bantuan motor listrik paling rendah, hingga tingkat 5, di mana motor bekerja paling keras.
Mode kecepatan ini bisa diatur melalui tombol di sebelah kiri setang, di bawah layar LCD sederhana yang menunjukkan mode kekuatan motor listrik, kapasitas baterai, hingga indikator kecepatan dalam satuan mil per jam.
Tampilan memang menjadi daya tarik utama bagi Pande untuk membeli sepeda Vintage Electric seri Tracker, di awal-awal masa pandemi.
Namun kini, alasan praktikalitas dan kesehatan menjadi alasan utama ia betah mengendarai sepeda listriknya dari kediamannya di Kemang, ke kantor tempat ia bekerja di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.
Dulu, untuk menempuh jarak sekitar 5 km dari rumah ke kantornya tersebut ia memilih bermobil. Namun kini, Tracker Classic-nya menjadi pilihan utama, kecuali di saat hujan.
”Jadi, investasilah ini. Investasi untuk kesehatan, untuk hobi juga. Kalau naik sepeda ini saya pilih jalan yang rindang, yang agak sepi dari mobil. Jadinya lebih enjoy, lebih menikmati ride-nya ketimbang mobil,” kata Pande.
Tercepat
Namun, daya tarik Vintage Electric tidak hanya tampilan. Dari segi kapabilitas, sepeda listrik ini juga tidak main-main. Bahkan Davidge mengklaim, Vintage Electric menjadi salah satu sepeda listrik tercepat di dunia.
Seri Cafe dan Tracker Classic dengan baterai 48 volt (V) dapat melaju dengan kecepatan mencapai 45 km per jam. Versi Performance yang memiliki baterai 72V dapat mencapai kecepatan hingga 65 km per jam.
Daya jelajahnya pun tergolong memadai. Seri Tracker memiliki baterai berkapasitas 1,12 kWh yang memungkinkan jarak tempuh sejauh 120 km dengan baterai terisi penuh.
Sementara itu, seri Cafe memiliki kapasitas baterai lebih kecil, yakni 0,5 kWh. Kapasitas baterai ini memungkinkan perjalanan hingga sejauh 90 km. Namun, ini tergantung level tenaga yang digunakan; baterai akan semakin boros jika menggunakan level tenaga tinggi.
Dengan keberadaan motor listrik dan baterai, sepeda Vintage Electric memang tergolong berat. Seri Tracker Classic bobotnya hampir mencapai 40 kg. Sementara seri Cafe sekitar 24 kg. Bobot ini tidak begitu terasa ketika berkendara, termasuk saat menggunakan tenaga level 1.
Tanjakan di berbagai jembatan layang di Jakarta dengan mudah dilahap oleh Vintage Electric seri Cafe yang dikendarai Kompas. Posisi berkendara yang ergonomis pun membuat perjalanan tidak terasa meletihkan sama sekali.
Sistem rem juga terasa memadai untuk mengimbangi laju yang dapat dihasilkan oleh dinamo motor sepeda listrik ini.
Menurut dia, sepeda hasil desainnya tersebut ditargetkan untuk mereka yang menginginkan menjadi seorang pengendara sepeda motor. ”Jadi mereka bisa dapat motorcycle experience dengan naik sepeda ini,” kata Davidge.
Buka fasilitas di Indonesia
Vintage Electric memang premium, dengan harga relatif tinggi. Seri paling rendah berbanderol sekitar Rp 79 juta dan dapat mencapai Rp 160 juta untuk varian terbatas seperti tipe Shelby. Sejak dibawa oleh Throttle Bike Indonesia, pada awal 2020, kini sudah terjual lebih dari 30 unit.
”Ya, ini untuk para penghobi. Kalau enggak hobi pasti enggak main ke arah sini. Terus mungkin cocok untuk yang sudah berumur, yang kalau bersepeda itu untuk fun,” kata Erik.
Davidge mengakui, ia perlu menyesuaikan harga dengan pasar Indonesia. Menurut dia, penyesuaian ini lebih memungkinkan setelah berakhirnya krisis semikonduktor dan rantai pasok global akibat pandemi.
Saat ini, Vintage Electric memproduksi sepedanya di Taiwan. Namun, ada ide untuk membuka fasilitas perakitan di Indonesia yang pada ujungnya dapat menekan harga. ”Ada pembicaraan soal assembly di Indonesia. Tentu kami juga ingin membuka lapangan kerja di sini,” kata Davidge.
Kultur bersepeda motor di Indonesia tampaknya sangat menarik bagi Davidge. Baginya, sepeda motor listrik buatannya tersebut cocok melenggang di jalanan Ibu Kota, sepadan melawan deruman sepeda motor.
”Kami pengin bisa bawa balik kultur bersepeda motor di Indonesia ke Amerika. Supaya kita bisa ninggalin mobil-mobil kita yang gede itu,” ujar Davidge terkekeh.