Denny Wirawan mengangkat tenun endek, kain gringsing, dan songket berlanggam Bali dengan tampilan elegan. Perayaannya turut menstimulus spontanitas manusiawi perancang mode tersebut yang telah berkiprah selama 25 tahun.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Peragaan busana Denny Wirawan bertajuk Langkah Spring Summer Collection 2023 mengukuhkan eksistensinya selama seperempat abad. Tak semata-mata memajang deretan kreasinya, perayaan tersebut turut menguak sisi emosional sang maestro mode.
Sejam sebelum peragaan busana, Denny sudah sibuk mengawasi persiapannya. Perancang yang kerap mengusung wastra Nusantara tersebut memantau pemotretan koleksi, berkoordinasi dengan stafnya, dan memindahkan susunan pakaian di Grand Ballroom Intercontinental, Jakarta, Rabu (28/9/2022).
Pergelaran itu tak sekadar parade para model, tetapi juga mengekspos kehangatan pribadi Denny. Sejumlah pesohor yang berdatangan, di antaranya Ivan Gunawan, Ruhut Sitompul, dan Titiek Puspa, terlihat akrab bercakap-cakap dengan Denny. Tak sedikit pula sesama perancang busana kondang yang hadir.
Ia menyambut Didi Budiardjo, Era Soekamto, dan Ghea Panggabean dengan semringah. Kemegahan ruang pertemuan utama di hotel mentereng tersebut ikut merepresentasikan rekam jejak Denny yang mengantar undangan menyaksikan ekshibisi tunggalnya.
Peringatan perak itu sebenarnya jatuh pada tahun 2021 dengan label Denny yang berkibar sejak 1996. Tahun 2022 dipilih sebagai momentum spesial seiring dinamika industri mode yang mulai melaju pesat saat pandemi. Ia menyajikan koleksi terbarunya bermediakan kain Bali yang terdiri atas 52 setelan.
Selama lebih kurang 45 menit, tenun endek, kain gringsing, dan songket berlanggam Pulau Dewata diangkat dengan tampilan elegan. Variasi yang dipadukan batik kudus itu terdiri atas tiga sekuens. Pertama, Denny merilis koleksi siap pakai atau ready to wear.
Tenun endek yang diaplikasikan memancarkan keunikan dengan perwanaan alami. Sekuens kedua disemarakkan dengan kain gringsing, warisan peradaban kuno Bali yang biasa dikenakan untuk beragam upacara. Denny tak memotong kain tersebut lantaran pengerjaan yang rumit hingga memakan waktu.
Sekuens terakhir semakin sarat makna lewat songket Bali yang diwarnai secara alami dan diproduksi dari material dengan prinsip mode berkelanjutan. Prinsip itu kentara dengan jalinan lungsin dan pakan tenun. Pakan yang menggunakan sisa-sisa benang limbah lalu dipintal ulang.
Saat ditilik dengan lebih saksama, jelaslah perpaduan warna eksotis yang khusus dibuat perajin di Sidemen, Bali. Denny juga menampilkan songket yang dicelup dengan pewarnaan alam setelah selesai ditenun sehingga bertekstur lebih lembut, berwarna-warni harmonis, dan nyaman dikenakan.
Tak urung, persiapan matang Denny merefleksikan jati dirinya yang tetap ajek mengupayakan pelestarian lingkungan. Semua material diperoleh dari perajin di pelosok-pelosok Bali. Seperti biasa, ia tak segan turun tangan langsung dengan menempuh perjalanan untuk menentukan kain-kainnya.
Denny memilih kain Bali dengan mempertimbangkan jeda yang terbilang lama sejak terakhir mengangkatnya. Produksi gringsing yang lumayan kompleks ia tampilkan dengan sutera sehingga tampak mewah. Peragawati yang berlenggak-lenggok semakin memukau dengan aksen penambahan tussle.
Pergelaran itu menghadirkan trunk show dengan koleksi yang simpel untuk dikenakan sekaligus menyimbolkan perjalanan karier Denny. ”Akan ada ready to weardeluxe yang mewah dan gaun malam dari wastra Bali. Saya mengambil kain yang memiliki cerita dan nilai menarik,” ucapnya.
Disempurnakan dengan komplementernya, ia juga mempersembahkan kalung, anting, dan gelang yang terinspirasi perhiasan autentik Bali diiringi sentuhan modernitas. Denny menggandeng perajin-perajin di Solo, serta Celuk dan Bangli di Bali.
Khusus perhiasan tradisional seperti yang dikenakan penari dan pengantin Bali, pembuatannya hanya memakai material logam dari perajin di Bangli. Jika artisan di Celuk dan Solo lazim mengolah material perak yang bisa disepuh emas, Denny menyajikannya dengan keelokan sehingga kian menyita perhatian.
Material logam asal Bangli dengan efeknya yang lentur dan tipis seperti kertas hanya dapat dicelup memakai emas berkadar 22 karat dan 24 karat. Konsistensi menyajikan koleksinya menyemangati Denny untuk terus mengeksplorasi khazanah budaya Tanah Air dengan hasil yang luar biasa.
Denny juga memandang penghidupan perajin tenun dan pembatik yang layak dengan indikasi kontinuitas permintaan terhadap kain khas Indonesia tersebut. ”Setelah perjalanan untuk mendatangi bengkel kerja perajin, rasanya senang melihat mereka umumnya masih muda, hingga paruh baya,” katanya.
Perajin dan pembatik itu pun hampir seluruhnya perempuan sehingga diharapkan membantu pemulihan perekonomian keluarga yang bisa saja terimbas pandemi. Denny menganggap persembahannya mewakili proses, budaya, gairah atau passion, perjalanan, dan semangat.
Meski persisten mengetengahkan wastra untuk setiap rancangannya, ia mengaku baru memanfaatkan sekelumit dari keberagaman kain Indonesia. ”Lewat Langkah Spring Summer Collection 2023, saya memanjatkan syukur tanpa henti hingga meraih capaian sekarang,” ucapnya.
Spontanitas manusiawi
Agenda kali ini nyatanya juga menstimulus spontanitas manusiawi Denny yang mengenang asam garam berkarya selama 25 tahun. Di sela-sela yubileum perak itu, ia terisak saat menuturkan pertemuan dengan pemilik toko yang mempekerjakannya meski hanya bermodalkan kemampuan membuat sket.
Lain waktu, ia sampai kehabisan kata-kata sewaktu menguraikan kiprahnya yang tak mudah dilewati. Neea Elvira yang memandu konferensi pers Langkah Spring Summer Collection 2023 sampai perlu menenangkan dengan mempersilakan Denny untuk berdiam sejenak.
Denny seraya tersenyum lantas mengungkapkan aliran adrenalin yang kerap mengiringinya ketika menuangkan kreativitas. ”Selalu. Kalau enggak ada, kurang excited (bergairah). Saya masih terus berproses,” dengan raut wajah yang memancarkan semangat.
Denny memilih batik Kudus dengan pertimbangan mudah dipadupadankan, lebih-lebih mengingat pengerjaan baju-bajunya yang terbilang singkat atau dua bulan saja. ”Kekayaan Indonesia luar biasa. Kain-kain Bali saya pilih karena mengandung kearifan lokal,” katanya.
Keharuan belum usai dengan Denny yang memaparkan jatuh bangunnya meniti pergantian zaman, termasuk lepas dari ketergantungan orangtua untuk belajar mode. ”Cari pekerjaan karena saya harus menghidupi diri sendiri. Saya terima jahitan kecil-kecilan. Lumayan buat biaya sekolah,” katanya.
Pagebluk tak urung pula menelikung derap langkah Denny dengan tantangan yang begitu berat. Ia harus mempertahankan karyawan sekuatnya dari pemutusan hubungan kerja. ”Bagaimana caranya koleksi yang enggak sedikit bisa terjual. Enggak jadi barang yang menumpuk di gudang,” ucapnya.