Atas Nama Puisi, Jarak Pun Kulipat
Jadilah, atas nama puisi, jarak dan waktu bisa dilipat-lipat; jauh pun terasa dekat. Kesusahan selama dalam perjalanan bisa ditanggung bersama pada akhirnya.
Atas nama puisi, para penyair rela menembus waktu berpuluh-puluh jam. Jarak yang terbentang jauh dilipat-lipat agar terasa dekat. Padahal, berbagai kesulitan senantiasa mengintai selama perjalanan. Mengapa para penghayat kata-kata ini cinta setengah mati kepada puisi?
Hamri Manoppo (67) berangkat dari Kotamobagu pukul 23.00 menuju Manado. Jarak kedua kota di Sulawesi Utara yang lebih dari 180 kilometer itu ia tempuh dengan kendaraan lebih dari 4 jam. Pagi hari Hamri akan terbang dengan pesawat pertama Manado-Jakarta. Semua berjalan lancar dan seolah-olah baik-baik saja.
Ketika tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, setelah terbang sekitar 3 jam 50 menit, ia harus menunggu selama 5 jam agar bisa terbang ke Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, di mana acara Festival Sastra Internasional Gunung Bintan (FSIGB) 2022 berlangsung. Celakanya, pesawat yang ia tumpangi mengalami keterlambatan selama 1 jam. ”Jadi, saya harus menunggu 6 jam, sampai mati gaya,” kata sastrawan yang telah menulis puluhan buku tunggal ini, Sabtu (24/9/2022), di Bandara Soekarno-Hatta.
Beruntung, di Terminal 3 secara tidak sengaja ia bersua dengan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri. Hamri tahu Sutardji juga akan menuju kota yang sama. Penantiannya seolah terobati oleh pertemuannya dengan penyairnya. Tentu saja, Hamri tak melewatkan kesempatan baik itu. Ia minta berfoto bareng dengan Sutardji.
Baca juga: Gerakan Sastra Bawa Angin Segar
Setelah benar-benar tiba di Bandara Raja Haji Fisabillilah Tanjung Pinang, Hamri menempuh jarak sejauh 4.267 kilometer dalam waktu 18 jam dengan berganti-ganti moda transportasi. ”Cukup melelahkan untuk orang setua saya, tapi menyenangkan,” katanya.
Berlelah-lelah tampaknya tidak cukup untuk membayar perjalanan jauh sampai tujuan. Setelah dijamu panitia di kedai kopi bernama Kopi Sekanak, yang dihadiri secara mendadak oleh Gubernur Kepri Ansar Ahmad, Hamri menyadari bahwa kartu tanda penduduknya raib. ”Bagaimana saya bisa pulang ini?” tanyanya bertubi-tubi kepada banyak penyair.
Balada perjalanan jauh atas nama puisi itu masih harus dilanjutkan dengan mengurus KTP yang hilang dengan menembus kerumitan birokrasi di pemerintahan. ”Tetapi, saya tetap bersyukur bisa hadir di sini,” kata Hamri.
Bertekad nekat
Pada perhelatan yang sama tahun 2019, anak muda bernama Budi Yanto yang baru berusia 18 tahun lebih nekat lagi. Santri sebuah pesantren di Sumenep, Madura, ini gembira melonjak-lonjak saat dinyatakan lolos kurasi. Ia memberi tahu orang-orang terdekatnya, termasuk ibundanya. Sejak itu, Budi Yanto bertekad akan hadir langsung ke Tanjung Pinang. Namun, masalahnya tak semudah yang ia perkirakan. Pertama, Budi harus mengumpulkan jutaan rupiah. Kedua, ia belum tentu diizinkan orangtuanya. ”Tapi, saya sudah bertekad untuk nekat,” katanya, Selasa (27/9/2022), dari Madura.
Setelah mendapat izin orangtuanya, masalah Budi tak kelar juga. Sebagian keluarga, termasuk ibundanya, bantingan mengumpulkan uang sebanyak Rp 1.600.000. Dalam hitungannya, uang ini tak akan cukup untuk pergi-pulang meski sudah menempuh jarak sejauh 1.959,5 kilometer dari Sumenep ke Tanjung Pinang.
”Apa boleh buat, pengumuman lolos kurasi bersama para penyair keren Indonesia itu menyihir saya untuk hadir. Jadi, tetap nekatlah,” kata Budi, yang kini telah berusia 22 tahun.
Benarlah adanya, setelah menyeberang Selat Sunda dan menyisir pedalaman Sumatera, ia tiba di Pekanbaru. Sepanjang naik bus, katanya, ia tak henti-hentinya menangis karena lapar. Ibunya bahkan memintanya untuk kembali ke Madura, tidak perlu melakukan perjalanan ke Tanjung Pinang.
Baca juga: Kisah Milik Orang-orang Biasa
Puisi punya cara lain untuk memanggilnya. Budi memberanikan diri untuk menelepon penggagas FSIGB, Datok Rida K Liamsi, seorang budayawan yang amat disegani di Kepri. ”Puisi itu mahabaik, saya dibelikan tiket pesawat oleh Pak Rida, dari Pekanbaru sampai Batam,” tutur Budi. Semua kebutuhan transportasi Budi dari Pekanbaru sampai Batam, kemudian menuju Tanjung Pinang, diurus oleh Ketua Penyair Perempuan Indonesia Kunni Masrohanti.
Para penyair yang datang dari berbagai penjuru pun kemudian tergerak mengumpulkan donasi dengan cara mengedarkan topi untuk membiayai kepulangan Budi nanti. ”Pokoknya topi diedarkan, kita urunan sukarela,” kata penyair Isbedy Stiawan dari Lampung. Seingat Budi, waktu itu terkumpul uang sebanyak Rp 1.800.000, cukup untuk penerbangan Batam-Surabaya.
Menurut Isbedy, puisi tak hanya soal menemukan kata dan menyusunnya ke dalam bait-bait yang indah, tapi soal persaudaraan dan solidaritas. ”Aku punya saudara di mana-mana berkat puisi,” katanya.
Gadis asal Ranai Kota, Kabupaten Natuna, Sari Anjani (21), bersama temannya, Ratika, menempuh perjalanan laut selama dua hari menuju Tanjung Pinang. Semua gara-gara puisinya dinyatakan lolos kurasi oleh para kurator FSIGB 2022. ”Saya bawa bekal makanan dari rumah,” cerita Sari. Selama perjalanan, ia dibekap rasa khawatir kalau-kalau gelombang tinggi. ”Sedangkan saya tidak bisa terus berkabar kepada orangtua karena tak ada sinyal di tengah laut,” ujar Sari.
Perjalanan yang melelahkan itu, akhirnya, terobati saat bertemu dengan para penyair keren dari seluruh Indonesia. Sari tak pernah melewatkan sesi foto bareng, terutama saat bersama penyair Sutardji Calzoum Bachri.
Penyair Ratna Ayu Budiarthi punya cerita berbeda. Meski menetap di Garut, Jawa Barat, Tanjung Pinang selalu memanggilnya setiap tahun. Sejak 2018 sampai 2022, ia selalu hadir walau terpotong masa pandemi Covid-19. Puisi, menurut dia, telah menghidupkan segala cerita masa mudanya bersama seseorang. Kebetulan seseorang itu dulu sering menceritakan lewat surat tentang Tanjung Pinang dan tradisi kemelayuannya. ”Ada imaji tentang dia dan puisi walau tak harus bertemu orangnya,” katanya.
Ratna juga menempuh jarak berliku. Ia harus melaju ke Bandung sebelum terbang dari Jakarta menuju Tanjung Pinang. Jarak sejauh 1.225,1 kilometer terlipat begitu saja oleh imaji yang hidup di hatinya tentang seseorang dan Tanjung Pinang. Ia mengatakannya lewat penggalan puisi berikut ini ://Kelak engkau akan kuajak ke sini/Begitu ucapmu bertahun-tahun lalu/dalam baris-baris kalimat sebuah surat/yang menerbangkan rindu dari tanah Melayu…//
Baca juga: Ekosistem Sastra Semestinya Bisa Lebih Sehat
Jarak Singaraja-Tanjung Pinang sejauh 2.153,4 kilometer dicapai dalam langkah-langkah gontai oleh penyair Agoes Andika (59). Bukan apa-apa, sejak dua tahun terakhir sudah dua kali ia terkena serangan stroke. Selama itu pula, ia sangat bergantung dengan orang lain. ”Aktivitas sehari-hari saya dibantu istri,” katanya.
Sejak tiga bulan lalu, setelah dinyatakan lolos kurasi, Agoes telah mempersiapkan diri. Ia mencoba mencari tahu, siapa penyair Bali yang akan berangkat ke Tanjung Pinang. Tetapi, selama itu pula, istrinya tak henti-hentinya mencemaskan kesehatannya. Akhirnya ditemani sahabatnya, Ngakan Made Kasub Sidan, asal Klungkung, yang juga kebetulan lolos kurasi.
Ketika bergabung dengan ratusan penyair dari Malaysia, Singapura, dan kota-kota di Indonesia, kondisi Agoes belum pulih benar. Ia tampak sangat kesulitan untuk berbicara dan berjalan. Namun, katanya, jika puisi sudah memanggil, sakit pun tak terasa benar. ”Justru karena menulis puisi lagi, saya sehat. Sangat menyesal telah meninggalkan puisi selama puluhan tahun,” katanya terbata-bata.
Saat membaca puisi dengan latar belakang Gedung Rektorat Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Dompak, Kepri, Agoes berteriak lantang seolah-olah membuang segala daya dalam dirinya. //Brahma, Wisnu, Siwa, merah, putih, hitam…// Seluruh puisi menyambutnya dengan gegap-gempita.
”Di situlah keindahan itu, ada persahabatan, persaudaraan, yang menimbulkan kabahagiaan. Semua berkat puisi,” kata Agoes, yang perjalanan puisi ke Batam, sebelum kembali ke Singaraja.
Jadilah, atas nama puisi, jarak dan waktu bisa dilipat-lipat; jauh pun terasa dekat. Kesusahan selama dalam perjalanan bisa ditanggung bersama pada akhirnya. Semuanya bisa terjadi, berkat puisi, penjelmaan dari imaji-imaji tentang kebebasan, yang kemudian merekatkan relasi antarsesama penghayat kata-kata.