Dari mulanya, wastra sudah memiliki kisah dan berisi welingan bagi siapa pun yang kelak mengenakannya. Bergulirnya waktu tak menyurutkan pesan yang ingin diantar melalui kain Nusantara yang bertransformasi dalam busana.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Model membawakan busana koleksi jenama Oemah Etnik persembahan Pintu Incubator dalam Jakarta Fashion and Food Festival 2022 di Summarecon Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (3/9/2022).
Dari mulanya, wastra sudah memiliki kisah dan berisi welingan bagi siapa pun yang kelak mengenakannya. Bergulirnya waktu tak menyurutkan pesan yang ingin diantar melalui selembar kain Nusantara yang bertransformasi dalam wujud aneka busana sesuai era. Petuah yang relevan dengan zaman modern ini.
Musik gending Jawa terdengar sayup dan kian kencang diikuti tata visual yang memperlihatkan siluet candi dalam keremangan pada perhelatan Jakarta Fashion Food Festival (JF3) 2022 di La Piazza, Summarecon Kelapa Gading, Jakarta, Minggu (4/9/2022).
Sesosok perempuan bercaping dengan pakaian serba putih memasuki landas peraga. Bukan berlenggak-lenggok, melainkan menari sendiri mengikuti alunan musik hingga lampu padam dan berganti deretan model memamerkan karya milik Oemah Etnik yang menjadi salah satu dari tujuh jenama lolos kurasi dari program inkubasi Pintu Incubator.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Model membawakan busana koleksi jenama Oemah Etnik persembahan Pintu Incubator dalam Jakarta Fashion and Food Festival 2022 di Summarecon Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (3/9/2022).
Program yang dirancang bagi para kreatif muda Indonesia dan Perancis serta UMKM ini merupakan inisiatif dari Lakon Indonesia dan JF3 dan bekerja sama juga dengan Kedutaan Besar Perancis.
Program ini telah dimulai sejak April 2022. Ada 24 kelas bimbingan dengan 26 pengajar yang total durasinya mencapai 70 jam. Pada tahap awal, ada ratusan jenama dan desainer yang terpilih. Mengerucut pada kurasi kedua menjadi tujuh jenama.
Oemah Etnik termasuk di dalamnya dan berhasil menjadi tiga terbaik untuk melangkah ke tahap selanjutnya. Jenama yang dijalankan Rizki Triana dan Julia Nadya ini setia menggulirkan isu perempuan dalam karyanya.
Seperti yang dilakukannya kali ini melalui koleksi bertajuk Poean. ”Misi kami memang untuk perempuan Indonesia agar merasa nyaman dengan dirinya, begitu pula dengan pakaian yang dikenakannya. Kami juga fokus pada sentuhan etnik yang bisa digunakan sehari-hari,” ujar Rizki.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Model membawakan busana koleksi jenama Oemah Etnik persembahan Pintu Incubator dalam Jakarta Fashion and Food Festival 2022 di Summarecon Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (3/9/2022).
Sejak awal berdiri pada 2013, Oemah Etnik konsisten menggunakan kain Indonesia atau mengambil inspirasi dari motif kain Indonesia yang dikembangkan menjadi lebih modern. Di sisi lain, potongan kain yang disulap menjadi baju pun dibuat lebih kekinian mengikuti tren dan jiwa muda yang bebas.
Sebanyak 12 tampilan yang disuguhkan pada malam itu membuktikannya. Didominasi sentuhan warna hijau lumut berpadu dengan kain hitam bermotif etnik, aneka jenis siluet busana dihadirkan dari atasan blus bertangan gelembung, blus yang mengambil inspirasi dari kebaya kutu baru, gaun dan rok asimetris, celana high waist, hingga kimono yang diberi sentuhan etnik.
Kekhasan Oemah Etnik dengan smock atau detail kerut ini juga tak ketinggalan. Ada yang dijadikan pelengkap yang membalut pinggang. Ada juga yang dijadikan kemben yang menjadi produk andalannya selama beberapa tahun terakhir ini. Selain itu, aksesori yang dikenakan para model malam itu, berupa kalung, bando, topi, dan lain-lain memanfaatkan sisa kain produksi kali ini.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Oemah Etnik
”Ini pesan lain yang ingin kami sampaikan, yaitu meminimalisasi limbah kain dengan menjadikan sisa kain dari koleksi kami untuk dijadikan aksesori,” ucap Rizki.
Semangat yang tak jauh berbeda juga diusung jenama Rizkya Batik milik Dwi Hendrarti atau dikenal dengan Hetty. Koleksinya kali ini bertajuk ”Sekar Wungu” yang menonjolkan perpaduan warna ungu dan kuning dalam 12 tampilan busananya.
Pemilihan Sekar Wungu ini terinspirasi dari bunga anggrek ungu yang hadir di tengah hiruk-piruk perkotaan. Dari fungsinya, bunga anggrek ungu ini ternyata dapat menetralisasi polusi udara secara efektif. ”Pesannya pun jelas, yaitu Stop Polluting and Start Planting, demi bumi dan keberlangsungan generasi selanjutnya,” ujar Hetty.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Rizkya Batik
Motif bunga yang dibordir di atas kemeja atau gaun ini dikombinasikan dengan aneka motif batik, seperti motif parang, rang-rang, kawung, hingga tambal. Untuk batiknya, jenama ini menggunakan batik cap dipadukan dengan batik tulis tangan. Sementara itu, pewarnaannya pun dipilih yang alami, yaitu dengan memanfaatkan buah jolawe yang bisa menghasilkan warna kuning.
Sejalan juga dengan Oemah Etnik, Rizkya Batik juga memberdayakan para perajin kain lokal untuk mewujudkan koleksi kali ini.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Rizkya Batik
Bersama dan peduli
Dua jenama lain yang masuk dalam tujuh besar program Pintu Incubator, yakni Batik Tepa Selira dan Terikat Bersama milik Maria Adiputri, kental mengantarkan pesan kebersamaan meski tetap kental dengan kepedulian terhadap lingkungan.
Batik Tepa Selira di bawah Fahrulia Amanda dan Ali Eunoia, misalnya, mengangkat kisah para petani melati di Pemalang, Jawa Tengah, yang ratusan hektar sawah dan kebunnya terendam banjr rob. Kisah ini diberi judul ”Semerbak” yang juga menjadi tajuk koleksinya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Tepa Selira
Sebanyak 12 tampilan yang dihadirkan dibagi dalam tiga babakan cerita. Tampilan pertama masuk dalam fase kuncup atau permulaan. Identik bermain dengan warna putih coklat muda dalam pakaian batik yang dibesut menjadi kebaya dan kain, juga gaun.
Berlanjut pada fase kedua, yaitu mekar. Di sini, wujudnya lebih terasa modern dengan gaun, kebaya encim yang kasual dipadu kulot. Batik yang digunakan di sini didominasi motif kawung yang melambangkan terjadinya sebuah kehidupan. Mirip dengan yang ingin disampaikan Fahrulia dan Ali dalam fase kedua ini, yakni tentang komitmen untuk bertumbuh yang melahirkan kehidupan baru.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Tepa Selira
Pada fase ketiga, fokusnya beralih pada pengharapan untuk terus menjadi lebih baik. Warna yang dipilih untuk fase akhir ini adalah coklat dan biru keunguan. Pola bertumpuk pada gaun dan kain bawahannya menjadi khas di sini. Kendati demikian, siluet kebaya dan kain tak terlewatkan di sini.
Tiap fase yang disuguhkan selalu memuat busana sarimbit atau berpasangan bagi laki dan perempuan. Memang, sejak awal berdiri pada 2019, Tepa Selira dikenal dengan busana batik berpasangan yang kerap dibidik para pasangan untuk acara pertunangan, bahkan pernikahan.
Ikatan antara pasangan, keluarga, atau orang terdekat ini juga mengilhami desainer Maria Adiputri lewat jenamanya Terikat Bersama dalam melahirkan koleksinya. Lulusan dari La Salle College ini hanya bermain dengan tiga warna putih, biru, dan coklat. Motif batiknya juga dimunculkan pada kain berwarna dasar biru.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Maria Adiputri
Yang menarik siluet yang dihasilkan Maria ini cukup variatif dan menyegarkan. Ada yang formal, seperti kemeja dengan pegged pants atau celana bergelembung yang diadopsi dari celana harem. Ada pula gaun kasual tanpa lengan, boxy top dua warna, hingga perpaduan celana lebar dengan kemben crop yang tumpuk dengan luaran dengan tangan yang melambai, seperti sayap kelelawar.
”Perpaduan ini ingin menggarisbawahi tentang keterikatan bahwa meski beda, tetap bisa terhubung dan indah. Ini juga sesuai dengan visi untuk membuat yang mengenakan merasa semakin terkoneksi dengan orang yang terkasihi. Karena ini nanti juga akan dibuat versi untuk bisa dipakai bersama dengan anggota keluarga lain,” ucap Maria.
Di tangan jenama yang terus memperkaya visi, kain Nusantara pun akan terus punya tempat untuk terikat dan membumi.