Membangun Surga Sendiri
Kusta tetap jadi momok sehingga masyarakat menjauhi orang dengan kusta. Diskriminasi tak henti membuat mereka memilih tinggal di panti atau dusun tempat mereka ditempatkan. Di sanalah mereka bebas bergerak dan bergaul.
Stigma terhadap orang dengan kusta membuat mereka memilih tinggal di panti atau dusun tempat mereka ”ditempatkan”. Di sanalah mereka bebas bergerak, bergaul, dan menemukan surga dengan sesamanya.
Masih lekat di ingatan Suroso (53), orang dengan kusta yang tinggal di Lingkungan Pondok Sosial Donorojo Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Beberapa tahun lalu, anak perempuannya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang dokter tiba-tiba diminta pulang oleh majikannya. Alasan pemulangan karena di punggung si ART ada bercak putih. Majikan khawatir itu pertanda kusta.
Suroso yang biasa dipanggil Roso terkejut. Saat menjemput sang anak, ia menanyakan alasan pemulangan. ”Sebagai dokter, Bapak tahu ciri orang kena kusta seperti apa? Mengapa tak bisa membedakan bercak putih itu kusta atau bukan? Mengapa tak diperiksa dulu?” kata Roso menirukan pertanyaannya kepada dokter tersebut, tetapi tak ada jawaban apa pun. Nyatanya, anak perempuannya tak sakit kusta. Hingga kini, ia tetap sehat dan bekerja di sebuah toko di pasar dekat rumahnya.
Perlakuan berselubung prasangka seperti itu kerap menghantui warga dengan kusta (istilah bagi mereka yang pernah sakit kusta). Takut tertular, rasa jijik, malu jika punya saudara atau kawan kena kusta sering menjadi alasan orang, termasuk keluarga sendiri, menjauhi mereka yang terkena kusta.
Sumining (55), orang dengan kusta yang tinggal di Lingkungan Pondok Sosial di Nganget, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, kerap mengalami penolakan dan penghinaan dari saudara kandungnya sendiri. Perempuan asal Mojokerto itu saat ditemui Sabtu (13/8/2022) di rumahnya berkisah, ketika ketahuan ia sakit kusta 20 tahun lalu, ia hendak dibuang ke hutan.
Hingga sekarang, saudaranya tetap tak mengizinkan Sumining tidur di rumah orangtuanya. ”Kalau saya pulang nengok orangtua, saya ndak boleh tidur di rumah orangtua. Katanya saya bisa nulari orang lain,” katanya. Ia sakit hati, tetapi hanya bisa menerima keadaan.
Selain itu, banyak warga dengan kusta minder karena tubuhnya cacat. Penyakit kusta yang disebabkan Mycobacterium leprae, menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Departemen Kesehatan Imran Pambudi, menyerang kulit, saraf tepi, dan bagian tubuh lain kecuali otak. Acapkali, orang yang sembuh bisa mengalami cacat berupa jemari kiting (melingkar), terlepas, atau permukaan wajah menjadi bergelombang tak rata.
Penderita sebenarnya bisa sembuh tanpa cacat jika berobat sejak dini dan menjalani pengobatan secara tuntas. Masalahnya, 20-an tahun lalu, pengobatan untuk kusta tak semua gratis sehingga banyak yang sempat putus berobat. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kini di Indonesia ada 11.173 kasus baru kusta sehingga menempatkan diri di peringkat ketiga negara dengan kasus kusta tertinggi, di bawah India dan Brasil.
Bisa sembuh
Imran mengatakan, sebenarnya kusta tak mudah menular dan biasanya penularan terjadi dari pasien kusta yang tidak diobati ke orang lain dengan kontak lama melalui pernapasan. Ia menambahkan, hanya orang yang mempunyai daya tahan tubuh yang rendah terhadap kusta yang bisa tertular.
Penolakan, berupa perilaku dan omongan tak mengenakkan, pada akhirnya memunculkan rasa minder, ketakutan, dan merasa tak layak berelasi dengan orang lain pada diri orang dengan kena kusta.
Dingin (45), warga Liposos Nganget asal Madiun, Jawa Timur, amat minder karena tangan dan kakinya cacat. Dua kakinya harus diamputasi karena tanpa ia sadari terluka ketika bekerja di usaha furniturdi dusunnya. Orang dengan kusta memang mengalami mati rasa, sering tak sadar jika terluka. Mengobati luka pun tak mudah ketika datang ke puskesmas yang jaraknya cukup jauh, sekitar 7 kilometer, si sakit hanya mendapat obat tanpa petunjuk cara merawat luka. Akibatnya luka makin parah yang berujung amputasi, terutama pada kaki yang amat membatasi gerakan mereka.
Sekalipun keluarga intinya menerima keadaan dirinya, tetapi tetangga kerap melihat dengan cara yang tak mengenakkan. ”Kalau pulang nengok orangtua, harus sampai sana subuh. Selama di sana hanya berada di rumah, tak berani ke mana-mana, biar tetangga tak lihat. Pulangnya malam hari ketika mereka sudah tidur,” kata Dingin menceritakan tips agar perasaannya tak terluka oleh perilaku tetangga. Setidaknya ia merasa nyaman dengan cara itu.
Fauzah (36) juga memilih tak berlama-lama jika pulang ke Madura. Ia tak tahan melihat tatapan mata orang yang melihat ke tangannya yang kaku. ”Mau tersinggung ya gimana, pokoknya hanya bisa sabar,” katanya pada Jumat (9/9/2022) lewat sambungan telepon. Perasaan sama dialami oleh Rozi (24) dan Dodi (23) yang merasa minder walau secara medis dokter sudah menyatakan keduanya sembuh dari kusta.
Jika Dingin memilih tinggal di Liposos Nganget, Fauzah dan suaminya, Sampurno, serta Rozi dan Dodi memilih tinggal di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Laras Kronis Tuban di Nganget yang berada di depan Liposos. Pilihan tinggal di panti atau Liposos membuat hati mereka nyaman tak terusik oleh gangguan pandangan mata atau kata-kata tak enak didengar. ”Di sini lebih senang dan kerasan karena banyak teman yang sama dengan saya. Bergaulnya juga enak,” ujar Rozi.
Walau kebutuhan makan, tempat tinggal dijamin Kemensos, sejujurnya Rozi, Dodi, Fauzah, dan orang lain yang menghuni panti membutuhkan pekerjaan yang membuat mereka bisa menghasilkan uang sendiri. Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial pada UPT Rehabilitasi Sosial Bina Laras Kronis Tuban Umar Faruf, Agustus lalu, di Nganget, menyatakan, 100 orang dengan kusta penghuni Bina Laras sebenarnya terampil membuat sapu, conblock, furnitur, serta bercocok tanam. Dulu, hasil kerja mereka bisa dijual. Namun, pandemi Covid-19 membuat upaya pemasaran meja, kursi, dan lainnya mandek.
Mandiri
Bila yang hidup di dalam panti amat bergantung kepada pemerintah, orang dengan kusta di Liposos Nganget dan Donorojo harus bekerja keras agar hidup layak bersama keluarga. Di Liposos Nganget terdapat 280 kepala keluarga (KK) orang dengan kusta, sementara di Liposos Donorojo ada 140 KK. Mereka mendapat rumah sekitar 12 meter persegi dan lahan garapan secara bergantian yang tak seberapa besar.
Kesamaan keduanya pada wilayah ”penempatan” yang berada di tempat terpencil. Nganget berada di lembah berjarak 35-an kilometer dari kota Bojonegoro atau 50-an kilometer dari kota Tuban, sementara Liposos Donorojo di bukit berjarak 42 kilometer dari kota Jepara, jalan menuju Liposos rusak dan tak ada kendaraan umum.
Warga tinggal di dua tempat itu sejak 30-an tahun lalu seusai perawatan di RS Kusta Nganget, Sumber Glagah Mojokerto, atau RS Kusta Kelet Donorojo. Saat ini, RS Nganget sudah ditutup, berganti menjadi Panti Bina Laras, sedangkan RS Sumber Glagah dan RS Kelet sudah menjadi rumah sakit umum.
Warga dengan kusta di Nganget sama-sama mendapat lahan garapan, tetapi hasil dari bertanam padi, atau singkong, jagung tak cukup untuk hidup karena rata-rata lahannya kering. Bisa ditebak, walau bekerja sangat keras di ladang, penghasilan mereka jauh dari cukup. Beruntung warga di Donorojo mendapat jatah beras untuk makan meski tak teratur datangnya. Akan tetapi, menurut Purnomo dari Nganget, yang aktif membantu warga, bantuan sembako sempat turun, hanya untuk 30 KK. Isi bantuan berupa gula pasir 1 kg, beras 15 kg, minyak 1 liter, dan teh kotak 2. ”Jatah itu tetap kami bagi buat 180 KK. Gula, umpamanya, tiap KK kebagian 3 sendok gula pasir,” kata Purnomo.
Di Nganget sebenarnya ada sumber air panas, warga dibantu Leprosy Care Community yang dibentuk Yuta Takashima, warga Jepang yang berupaya memberdayakan orang dengan kusta pernah membenahi tempat itu untuk tempat rekreasi dan pengobatan. Baru saja tempat itu dibuka, dinas sosial mengambil alih. Kini, instansi tersebut mengelolanya menjadi tempat rekreasi, tetapi warga dengan kusta yang menjadi penghuni asli wilayah itu malah tak dilibatkan.
Purnomo dan warga lain hanya bisa mengelus dada. Bagaimanapun, anak-anak warga dengan kusta seperti Purnomo butuh pekerjaan yang tak membuat mereka meninggalkan Nganget karena harus merawat orangtuanya.
Sekalipun banyak masalah di Nganget dan Donorojo, warga dengan kusta tetap merasa dusun mereka adalah tempat terenak, ternyaman, dan terdamai. Di sana, mereka bisa bebas mengadakan doa bersama, ke masjid, nongkrong di warung tanpa risih oleh pandangan hina bernada jijik dari orang yang tak mau melihat mereka. Di sana, mereka membangun surga.