Banyak orang menolak bertemu orang dengan kusta. Namun, sejumlah pemuda Jepang dan Indonesia malah mengobrol, makan dan mandi di rumah mereka. Cinta tanpa syarat itu membuat orang dengan kusta merasa dihargai.
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·6 menit baca
Wajah Sumining (55), warga Lingkungan Pondok Sosial di Dusun Nganget, Kedung Jambe, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, semringah saat Nisrina, Sabila Salsabila, Risa Ogiue, serta Rina Matsushita bertamu ke rumahnya pada pertengahan Agustus lalu. Mereka sebagian dari 12 sukarelawan peserta kemah kerja (work camp) yang diadakan Leprosy Care Community (LCC), organisasi yang berupaya mengurangi diskriminasi pada orang dengan kusta.
Nisrina dan Sabila adalah karyawan dan mahasiswa dari Indonesia, sedangkan dua nama terakhir merupakan mahasiswa dari Nanzan University, Nagoya, Jepang. Anak muda yang semua berusia 20-an tahun itu berada di sana selama 14 hari untuk mengunjungi warga dengan kusta dan kerja bakti memperbaiki jalan.
”Mengapa tak kasih kabar dulu? Tahu gitutakmasakin rawon atau soto ayam,” ujar Sumining sembari minta tamunya masuk ke rumah sederhana, tetapi bersih itu. ”Besok ke sini, ya. Mau dimasakin rawon apa soto?” tanyanya bersemangat.
Sabila (20), mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, mengangguk sambil menjawab, ”Soto ayam saja, Bu.”
”Sekarang, makan jajannya. Mau minum apa? Pilih sendiri sana,” kata ibu satu anak itu menunjuk ke gelas air mineral dan minuman rasa teh manis dagangannya. Tamu menuruti ajakan nyonya rumah, mengambil penganan, memakannya sambil mengobrol dengan Sumining, salah satu orang dengan kusta di Nganget.
Bagi orang dengan kusta dan keluarga di Nganget yang jumlahnya mencapai 280 keluarga, ada orang sehat mau menyapa, mengobrol, bahkan minum makan, tidur, dan mandi di rumahnya adalah sesuatu yang sangat berarti. Rasa percaya diri mereka meningkat. Apalagi, mereka rutin datang ke Nganget dalam 10 tahun terakhir ini. Setidaknya sudah ada 700-an sukarelawan LCC yang datang ke Nganget dalam kurun waktu itu.
”Kalau kamu ndak ke sini, ndak ada orang mau ke sini. Hanya anak saya dan keluarganya yang mau ke sini. Saudara kandung saya sendiri saja tak mau nengok. Sejak saya tinggal di sini, belum pernah dia datang ke sini, ndak mau dia, jijik lihat saya,” kata Sumining kepada tetamunya.
Perempuan asal Mojokerto, Jatim, itu bersama suaminya sudah lebih dari 20 tahun tinggal di rumah yang dibangun pemerintah. Awalnya, setelah dinyatakan sembuh dari kusta, ia tinggal di Panti Rehabilitasi Sosial Bina Laras Kronis di bekas Rumah Sakit Kusta Nganget, lalu pindah ke rumah itu agar bisa mandiri. Sumining dan suami mencari uang dengan menggarap ladang milik Kementerian Sosial dan Perhutani, tak jauh dari pondok sosial.
Berhubung kusta membuat tubuh mati rasa, Sumining tak merasakan ketika kakinya luka kena alat pertanian yang ia pakai atau batu yang ia lewati. Luka tak terawat membuat kaki kirinya diamputasi hingga atas dengkul. Kini, ia memakai kaki palsu untuk membantu pergerakannya.
Penghasilan dari bertani sebenarnya tak cukup untuk makan berdua. Padi yang ditanam hanya menghasilkan uang maksimal Rp 300.000 sekali panen (per empat bulan). Sumining mencari tambahan penghasilan dari toko kecil-kecilan yang dimodali anaknya.
Meski berkekurangan, ia tak pelit. Setiap kali peserta kemah kerja mengunjunginya, ia selalu menyediakan soto ayam atau rawon sebagai rasa terima kasih kepada anak-anak muda yang memperlakukan dirinya dan suami sama seperti orang normal.
Lalu penerimaan
Belitan stigma hingga kini masih dirasakan orang dengan kusta, kelompok warga yang sampai sekarang terkucilkan dari kehidupan masyarakat lainnya. Kecacatan pada tubuh antara lain berupa jemari kiting (setengah melingkar), memendek, bahkan putus akibat virus kusta yang menyerang saraf tepi penderita membuat orang jijik dan takut tertular sehingga menghindari pertemuan dengan mereka.
Pengucilan membuat hidup sebagian besar orang dengan kusta dan keluarganya terpuruk. Mereka tidak mempunyai pekerjaan. Tempat tinggal yang disediakan bagi mereka pun terpencil.
Perlakuan menyakitkan biasa dialami orang dengan kusta yang tinggal di Lingkungan Pondok Sosial di Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Abdul Karim (56), orang dengan kusta yang bekerja sebagai juru parkir, mengatakan, sebagian pemilik kendaraan yang ia jaga tidak mau memberi uang langsung ke tangannya. ”Kalau ngasih, uang parkir ditaruh di jok motor,” ucapnya.
Suatu hari, ketika para mahasiswa Jepang peserta kemah kerja LCC yang diawasi Yayasan Satu Jalan Bersama datang ke Donorojo, Karim mengajak mereka ke pasar. Melihat keakraban para mahasiswa asing itu dengan Karim, orang di pasar terperangah. Tampaknya, mereka tak menyangka orang asing yang tak bisa berbahasa Indonesia apalagi bahasa Jawa mau minum bersama Karim.
Program kemah kerja LCC dicetuskan oleh Yuta Takashima (33), warga Jepang yang tinggal di Indonesia, untuk mengurangi diskriminasi kepada orang dengan kusta.
Sejak 2010, ia mengajak mahasiswa Indonesia dan Jepang menjadi sukarelawan untuk tinggal dan kerja sosial di Nganget, Donorojo, dan Sumber Glagah, Mojokerto. Ia merancang kegiatan selama dua minggu dengan prioritas kunjungan ke rumah warga dengan kusta.
Kehadiran para volunter membawa perubahan besar atas cara berpikir dan bersikap para warga dengan kusta. Sikap volunter yang langsung akrab dan tak peduli melihat bagian tubuh yang tak utuh pada warga dengan kusta membuat rasa percaya diri warga bangkit. Yang awalnya tak mau bertemu mahasiswa, lewat pendekatan bertamu ke rumah mereka, perlahan mereka mulai berani berbicara dan bercanda dengan para mahasiswa.
Terjalin erat
Keakraban di antara mereka makin terjalin erat. ”Mamat mau makan sate bakso sama saya. Orang lain mana mau? Lihat Mamat gitu, akhirnya banyak kawan saya berubah sikap,” kata Suroso (56), penghuni Liposos Donorojo.
Mamat yang ia maksud sebenarnya bernama Matthew Bailey (24), warga Jepang yang baru lulus dari Nanzan University pada tahun 2018. Setahun berikutnya, ia menjadi sukarelawan di Donorojo. Saking akrabnya, warga memanggil Matthew dengan Mamat.
Warga Nganget juga sangat akrab dengan Nadhila Beladina, Palupi Hapsari, Cakra, serta Yuta. Nadhila, biasa dipanggil Adin; Palupi; dan Yuta bahkan sudah seperti anggota keluarga warga dengan kusta di Donorojo dan Nganget.
Rasiman (76), sesepuh warga dengan kusta di Ngaget, menyebut, sejak Yuta dan kawan-kawan sering datang ke dusunnya, jalan-jalan di Nganget menjadi lebih baik. Jalan rata dan bagus sangat penting bagi warga dengan kusta yang rata-rata kakinya cacat dan diamputasi. Keberadaan jalan lingkungan yang bagus memudahkan mereka beraktivitas ke mana pun.
”Kalau Adin datang, kami selalu menyembelih ayam buat dia. Pokoknya senang sekali kalau anak-anak itu datang ke sini. Kalau tak datang, kami menanti-nanti,” kata Rasiman yang bersama anak dan cucunya tinggal di Nganget.
Kedekatan antarmereka juga membuat warga tak segan menanyakan hal pribadi kepada Yuta yang amat populer di mata warga Nganget mulai dari usia anak-anak sampai orangtua. Para perempuan kerap membicarakan soal Yuta yang belum menikah, padahal Yuta sudah cukup usia.
”Sebelum Lebaran, Yuta ke sini. Saya tanya, Le, kapan mau nikah, sudah punya calon belum? Gek ndang tho (buruan dong),” cerita Asbiatun (55).
Keakraban warga dengan kusta dan volunter adalah keakraban yang tulus. Kehadiran volunter membuat warga percaya diri, sementara para volunter merasakan kehangatan sebuah keluarga.
Palupi, alumnus Universitas Indonesia yang lahir, besar, dan hidup di Jakarta, merasa bergaul dengan warga Nganget membuat ia selalu diterima.
”Berbeda dengan saat berada di Jakarta yang dalam kehidupan selalu melihat apa keuntungan bergaul dengan si A, B. Saya merasa orang Nganget lebih menerima saya dengan tulus,” katanya.
Ia merasa tak memberi apa pun kepada warga dengan kusta. Justru ia malah menerima banyak hal, seperti ketulusan hati, kehangatan yang membuat ia selalu ingin datang lagi ke sana. Perasaan seperti itulah yang juga dirasakan Adin, Yuta, Mathew, dan Shunsuke Tsukamura yang ingin terus pulang ke Nganget atau Donorojo, rumah kedua mereka.