Kisah Warga Urban, "Ujug-ujug" Jadi Ketua RT/RW
Tugas pengurus RT/RW memang bukan hanya urusan administrasi kependudukan warga, tapi juga mengurusi soal lain yang tak bisa diduga. Dion menceritakan, ia pernah didatangi penagih utang yang ingin menagih utang ke warga.
Menjadi pengurus RT/RW itu berat. Mereka mesti siap membagi waktu untuk urusan administrasi kependudukan warga, mengurus bantuan sosial, pontang-panting mengatasi penyebaran Covid-19, hingga berhadapan dengan penagih utang. Ketika semua tugas sudah dijalankan, belum tentu semua warga mengingat jasa mereka. Inilah suka duka jadi para pengurus RT/RW.
Musim pemilihan RT telah tiba. Sejak awal Agustus lalu, warga RT 06/ RW 14, Perum Griya Satwika, Ciputat, Tangerang Selatan telah ramai berdiskusi lewat aplikasi percakapan maupun pertemuan fisik untuk memilih pengurus RT yang baru. Tetapi, tidak ada seorang pun warga yang bersedia dicalonkan.
Untuk memecahkan kebuntuan, mayoritas warga melihat kembali konsensus warga RT 06 yang sudah lama dibuat. Bunyinya: pengurus RT baru dipilih dari warga yang belum pernah menjadi pengurus RT.
Berbekal konsensus itu, pada 25 Agustus, panitia pemilihan menyebarkan surat pemilihan ke setiap rumah yang berisi 11 nama warga yang belum pernah menjadi pengurus. Tiga hari kemudian, Minggu (28/8/2022), warga berkumpul di taman untuk penghitungan suara. Terpilihlah tiga nama yakni Surya, Bagus, dan Taryana.
Pagi itu, Surya yang mendapat suara terbanyak, tidak hadir dalam pertemuan. Akhirnya, panitia pemilihan dan sejumlah warga beramai-ramai mendatangi rumah Surya. “Assalamualaikum….,” teriak warga sambil mengetuk pagar rumah Surya.
Begitu Surya keluar, panitia pemilihan langsung “mengukuhkan” Surya sebagai ketua RT yang baru di depan pagar rumahnya. “Nanti plang RT-nya segera kita pasang di pagar,” ujar seorang warga.
Surya tampak kebingungan. Kok, tiba-tiba ia diangkat menjadi ketua RT. Tetapi ia tidak bisa menolak karena suara warga sudah bulat. Beberapa menit kemudian, ia mengikuti warga untuk hadir di tengah-tengah warga yang masih berkumpul di taman. Sesampai di sana ia disambut tepuk tangan. Di depan warga, ia mengangguk setuju, bahkan langsung mengajukan program penataan parkir di wilayah RT 06.
Begitulah, pemilihan ketua RT di banyak tempat kadang mesti dengan sedikit paksaan. Jika tidak, mungkin tak akan ada warga yang bersedia menjadi pengurus RT. Fenomena ini umumnya di perumahan di mana penghuninya sibuk dengan urusan masing-masing.
Oleh karena itu, warga kompleks biasanya membuat beberapa mekanisme untuk mengangkat ketua RT. Di RT 06/RW 14 Pisangan, kepengurusan RT dipilih bergiliran agar semua warga merasakan jadi pengurus RT.
Biasanya, warga yang baru pindah atau kurang aktif akan dipilih sebagai pengurus RT karena hampir pasti mereka belum pernah jadi pengurus. "Itu saya alami sendiri. Baru tiga bulan pindah ke sini, langsung dipilih jadi pengurus RT. Agak syok, tapi akhirnya jalan juga,” ujar Purwanto, tersenyum.
Hal serupa dialami Dion Arnaldo (36), Ketua RT 01/RW 08, Perumahan Bumi Pesanggrahan Mas, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan. Suatu hari pada 2019, ia didatangi warga yang memintanya menjadi ketua RT. Dion berusaha mengelak karena tidak sempat bergaul dengan tetangga. Setelah didesak, ia bersedia juga.
Ternyata warga suka dengan kinerja Dion. Maka, ia dipilih lagi secara aklamasi sebagai ketua RT untuk periode kedua. Sekali lagi, dia tak bisa mengelak.
Situasinya berbeda dengan pemilihan di level ketua RW 08 di perumahan yang sama. Ada empat kandidat yang mendaftar secara sukarela dan bertarung memperebutkan kursi ketua RW 08, yakni Setiawan Arianto (incumbent), Abubakar Farouk, Eddy Hariadi, dan Achmad Busoro. Suasana pemilihan ketua RW 08 meriah, mirip pilpres. Ada pemaparan pengumuman secara masif dari panitia pemilihan, pemasangan baliho, kampanye, propaganda.
Sabtu (27/8) malam, keempat kandidat memaparkan visi-misinya di hadapan warga. Lantas, digelar acara ramah tamah dengan hiburan band yang menyanyikan lagu Beatles. Sepekan kemudian, Sabtu (3/9), sebanyak 390 warga mencoblos di tempat pemungutan suara yang cukup mewah.
Meski tak seperti di Petukangan Selatan, pemilihan RT/RW di beberapa perkampungan di Jakarta dimudahkan dengan munculnya segelintir orang yang menawarkan diri menjadi ketua RT/RW. Salah satunya Marmo, yang kini Ketua RT 04/RW 10, Palmerah, Jakarta Barat. Setelah pensiun sebagai petugas pemadam kebakaran DKI Jakarta pada 2008, ia ikut pemilihan RT 04. Ternyata ia menang. Sejak saat itulah, ia selama bertahun-tahun menjadi Ketua RT.
Pada pemilihan ketua RT tahun 2021 lalu, ia menyisihkan dua kandidat lain dan meneruskan masa jabatannya untuk periode ketiga. “Kalau yang lain sampai kampanye segala, kasak-kusuk minta dipilih. Saya, mah, enggak perlu kampanye,” ujar Marmo bangga.
Seperti Marmo, Nurul Firda (38) juga punya hasrat untuk menjadi ketua RT 10/01, Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur. Motivasinya, mencari pengalaman berorganisasi di lingkungan. Ia pun mengikuti ajang pemilihan RT pada 2017 dan berhasil mengalahkan satu kandidat lain. Ia menggantikan Ketua RT 10 yang lama, Agus, pamannya.
“Sebelum Encing (paman) Agus, bapak saya yang menjabat ketua RT selama tujuh tahun. Makanya warga menyebut kami dinasti encang-encing ha ha ha,” tutur ibu rumah tangga itu. Dalam bahasa Betawi, encang dan encing artinya uwak dan paman.
Kini, Nurul telah selesai menjabat dan mengabdikan diri sebagai anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan atau semacam parlemen tingkat kelurahan. Karena tidak ada warga lain yang bersedia menjadi ketua RT 10/RW 01, jabatan itu akhirnya dipegang lagi oleh ayahnya, Firdaus.
Mengapa warga enggan mencalonkan diri sebagai ketua RT/RW? Sosiolog Nia Elvina melihat, relasi sosial di lingkungan RT karakternya lebih guyub. Hampir setiap orang memahami kapabilitas pada dirinya dan orang lain. “Akibatnya muncul sifat sungkan kalau menyatakan secara terbuka mencalonkan diri sebagai pemimpin di lingkungan mereka,” tambah Nia.
Di luar itu, tentu saja ada alasan-alasan yang personal. Kastori, warga Ciputat, misalnya, beberapa kali didatangi warga yang melobinya untuk jadi ketua RT. Tapi ia menolak karena repot dengan urusan pekerjaan. “Boro-boro jadi ketua RT, ngurus pekerjaan sehari-hari aja keteteran,” katanya.
Berat, Bung
Tugas pengurus RT/RW memang bukan hanya urusan administrasi kependudukan warga, tetapi juga mengurusi soal lain yang tak bisa diduga. Dion menceritakan, ia pernah didatangi penagih utang yang ingin menagih utang ke seorang warganya.
“Mereka datang dua-tiga orang sekitar jam 11 malam. Saya harus dampingi karena tak mau mereka langsung ke rumah warga, bisa mengganggu penghuni lain,” kata Dion.
Kejadian buruk lainnya, ia bersama beberapa pengurus RT lainnya hampir dikeroyok warga dari luar perumahan gara-gara memasang portal di jalan yang berbatasan dengan perkampungan. Mereka juga berniat menggarap lahan kosong milik kompleks yang dikuasai warga luar kompleks. Apa yang terjadi? Puluhan warga kampung nyaris mengeroyok Dion dan kawan-kawan. Beruntung petugas kepolisian dan koramil setempat segera datang dan melerai.
“Kalau soal warga cerewet, suka protes dan lainnya, saya tak pernah memasukkan ke hati. Sudah biasa,” kata Dion.
Peran sebagai RT juga membuat Marmo harus siaga 24 jam mengurus lingkungan. Beberapa tahun lalu, Marmo mendapat panggilan darurat untuk menyaksikan evakuasi warga apartemen yang meninggal. Kebetulan di wilayah RT-nya berdiri apartemen yang banyak dihuni pendatang.
Waktu Marmo sehari-hari nyaris habis untuk mengurusi warga. Ia mesti rajin keliling kampung mengabarkan program pemerintah, seperti fogging atau imunisasi. Malamnya, ia sering ikut ronda menjaga kampung.
Nyaris setiap hari, ada saja warga yang mengurus soal administrasi kependudukan atau menanyakan kapan bantuan dari pemerintah akan cair. “Tapi kalau udah dapat (bantuan), boro-boro ingat saya,” ujar Marmo.
Marmo mengaku sudah lelah dan berniat berhenti jadi ketua RT. Tapi “atasannya”, lurah Palmerah tidak mengizinkannya. Mau tidak mau ia mesti bertahan meski dana operasional RT yang diberikan pemerintah DKI hanya Rp 2 juta per bulan. Dana itu bukan untuk dirinya, tapi untuk membiayai program RT dan mengupah jajarannya yang terdiri dari dua anggota hansip, sekretaris dan bendahara RT, dan orang-orang yang membantu kegiatan posyandu. “(Ketua) RT, mah, enggak kebagian,” katanya.
Lelah juga dirasakan oleh Setiawan Arianto alias Darma ketua RW di Perumahan Bumi Pesanggrahan Mas. Kelelahan itu memuncak selama pandemi Covid-19 melanda. Dia dan pengurus RT/RW lainnya mesti siaga 24 jam membantu warga yang terpapar virus korona, berkoordinasi dengan puskesmas dan kelurahan agar warganya yang terinfeksi segera mendapat perawatan dan tempat isolasi mandiri.
Saking sibuknya mengurus warga, Darma kerap mengalahkan urusan keluarga. “Saya sampai harus minta maaf kepada istri saya, Wiwik dan anak-anak saya. Selama ini saya lebih mementingkan urusan warga yang butuh bantuan,” kata Darma yang kini ikut lagi pemilihan Ketua RW.
Begitulah kisah para pengurus RT/RW yang berjasa menjaga relasi sosial berjalan baik di lingkungannya. Jadi sepatutnya kita dan pemerintah mengucapkan, "Terima kasih bapak/ibu RT/RW sekalian."