Issey Miyake Meninggalkan Jejak Kuat di Dunia Mode
Dunia mode kembali berduka. Perancang busana asal Jepang, Issey Miyake, mengembuskan napas terakhirnya di usia 84 tahun pada Jumat (5/8/2022) akibat kanker hati.
Dunia mode kembali berduka. Perancang busana asal Jepang, Issey Miyake, mengembuskan napas terakhirnya pada usia 84 tahun pada Jumat (5/8/2022) akibat kanker hati. Sepanjang karier globalnya selama lebih dari setengah abad, Miyake memelopori pakaian berteknologi tinggi dan nyaman, mengesampingkan keagungan haute couture.
Pemakaman untuk Miyake telah dilangsungkan pada Selasa (9/8/2022), dihadiri ”hanya” oleh orang-orang yang memang diinginkan oleh Miyake sebelum dia mengembuskan napas terakhirnya. Kantor Miyake mengatakan, tidak ada rencana pemakaman untuk publik.
Federasi mode Perancis, melalui Presiden Federation de la Haute Couture et de la Mode Bruno Pavlovsky, memberikan penghormatan kepada Miyake. Miyake adalah desainer asing pertama yang tampil di Paris Fashion Week pada April 1974. ”Miyake berkontribusi dengan komitmennya yang tak tergoyahkan pada Paris Fashion Week sejak awal,” kata Pavlovsky.
Seperti dituturkan Pavlovsky, Miyake adalah bagian dari gelombang desainer muda Jepang yang membuat jejak mereka di Paris sejak pertengahan 1970-an, mengikuti jejak tokoh mode Kenzo Takada dan Hanae Mori. Miyake, mengguncang gaya Paris dengan desain avant-garde yang bisa dikenakan, mengatakan bahwa dia terdorong menciptakan pakaian yang membawa keindahan dan kegembiraan setelah menyaksikan kengerian Hiroshima.
Di antara penemuannya adalah garis ”Pleats Please”, gaya lipit permanen yang tidak mudah kusut yang menyegarkan konsep kuno, untuk memancarkan fluiditas dan kenyamanan. Selain itu, juga segitiga futuristik yang banyak ditiru dari tas ”Bao Bao” geometris Miyake serta ”turtleneck” hitam untuk salah satu pendiri Apple, Steve Jobs.
Miyake juga selalu memukau penonton runway dengan konsep ”A-POC (A Piece of Cloth)”, menggunakan pemrograman komputer untuk memotong seluruh pakaian tanpa jahitan. ”Saat saya lelah dengan tujuan saya, saya akan kembali ke tema ’A Piece of Cloth’. Dari zaman dahulu, di Yunani atau Afrika, setiap budaya sudah memulai (membuat pakaian) dari selembar kain, atau kulit,” kata Miyake pada 2006 setelah memenangkan Penghargaan Kyoto yang bergengsi.
Elemen universal
Lahir di Hiroshima pada tahun 1938, Miyake baru berusia tujuh tahun ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota itu pada Agustus 1945. Miyake selamat dari ledakan yang menewaskan sekitar 140.000 orang dan menyebabkan berakhirnya Perang Dunia II setelah pengeboman Nagasaki.
Meski pengeboman itu membuatnya pincang seumur hidup, dia jarang berbicara tentang traumanya. Ia baru memecah kesunyiannya di artikel New York Times 2009 yang menyerukan perlucutan senjata nuklir.
”Ketika saya menutup mata, saya masih melihat hal-hal yang tidak boleh dialami siapa pun: lampu merah terang, awan hitam segera setelahnya, orang-orang berlarian ke segala arah berusaha mati-matian untuk melarikan diri. Saya ingat semuanya. Dalam tiga tahun, ibu saya meninggal karena paparan radiasi,” tulisnya.
Dalam artikel tersebut, ia mendesak Barack Obama untuk mengunjungi Hiroshima, keinginan yang terwujud pada tahun 2016 ketika presiden AS saat itu melakukan perjalanan ke Hiroshima. ”Saya tidak pernah memilih untuk membagikan kenangan atau pemikiran saya pada hari itu. Saya sudah mencoba, meski tidak berhasil, untuk melupakannya, lebih memilih untuk memikirkan hal-hal yang dapat diciptakan, tidak dihancurkan, dan yang membawa keindahan dan kegembiraan,” tulis Miyake.
Setelah lulus dari Tama Art University di Tokyo, Miyake pindah ke Paris pada tahun 1965, di mana ia belajar di Ecole de la Chambre Syndicale de la Couture Parisienne yang elite. Sebagai seorang desainer pemula, ia bekerja di bawah Guy Laroche dan Givenchy, tetapi pandangannya juga dipengaruhi oleh pemberontakan besar yang dipimpin oleh mahasiswa pada Mei 1968.
Melihat protes yang melanda ibu kota Perancis membuatnya menyadari dunia bergerak melampaui kebutuhan haute couture untuk segelintir orang dan menuju elemen yang lebih universal seperti jins dan T-shirt. Dia mendirikan Miyake Design Studio di Tokyo pada tahun 1970 dan segera setelah itu membuka butik pertamanya di Paris. Tahun 1980-an, kariernya makin cemerlang saat ia bereksperimen dengan bahan-bahan dari plastik hingga kawat logam bahkan kertas artisanal Jepang.
Bagi Miyake yang lebih senang berkutat di laboratorium penelitian dan pengembangan yang penuh dengan ilmuwan dan insinyur tekstil daripada lampu terang di landas peraga, kerja tim sangat penting. ”Anda selalu melihat sesuatu dengan cara yang berbeda ketika Anda membiarkan orang lain menjadi bagian dari proses kreatif,” katanya kepada New York Times.
Dia menarik diri dari proses merancang koleksi Paris-nya pada pergantian abad, dan sejak itu memberi kesempatan pada serangkaian desainer muda berbakat untuk berkreasi, tentu tetap di bawah pengawasannya. Obsesinya terhadap teknologi pun tetap bertahan, dengan segala sesuatu mulai dari kain hingga jahitan dijelaskan secara mendetail dalam catatan setiap pertunjukan di landas peraga. Setelah dua tahun memamerkan koleksi secara daring atau hanya dengan instalasi akibat pandemi Covid-19, merek tersebut membuat ”comeback” langsung di Paris Fashion Week pada bulan Juni 2022 dengan peragaan busana yang menampilkan model, penari, dan akrobat.
Mantan Menteri Kebudayaan Perancis Jack Lang, yang masih mengenakan pakaian Miyake yang dibelinya bertahun-tahun lalu, menggambarkan Miyake sebagai pria dengan kemanusiaan yang dalam, terbuka untuk segalanya. ”Issey Miyake adalah seorang peneliti, penemu nyata yang menyusun dan menggunakan bahan dan tekstur baru yang belum pernah dilihat dunia,” katanya kepada AFP.
Namun bagi Miyake, dia selalu berusaha untuk tak pernah menjadi tinggi hati dan lebih menyukai tampilan sederhana dengan kaus dan jins. Merancang, seperti ditulis Miyake dalam buku-bukunya, seperti organisme hidup yang mengejar apa yang penting untuk kesejahteraan dan keberlangsungannya. Selamat jalan Miyake. (AP/AFP)