Desainer Biyan kembali ke landas peraga dengan karya bertajuk Renjana.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Setelah bertahan dengan pegelaran busana virtual nyaris sepanjang dua tahun, desainer Biyan kembali ke landas peraga dengan karyanya. Masih berpegang pada kekhasannya, Biyan sekaligus mengombinasikannya dengan ragam budaya Indonesia, berupa corak wastra Nusantara yang kaya.
Sekitar tiga jam sebelum pertunjukan digelar, para model yang akan tampil berlalu lalang silih berganti keluar masuk ruang rias. Deretan cermin dengan lampu bulat di sekeliling bingkai cermin dan kotak piranti rias tersusun. Beberapa model sudah duduk bersiap dirias. Sebagian lagi sedang ditata rambutnya. Sisanya keluar menuju ruang lain. Sibuk.
Namun, siapa yang tak rindu dengan hiruk-pikuk belakang panggung hingga berbuah penampilan memukau. Koleksi musim semi/musim panas 2023 bertajuk Renjana milik Biyan yang ditampilkan di Ballroom Hotel Intercontinental, Jakarta, Senin (11/7/2022) ini, makin mengukuhkan rindu.
”Renjana dimulai dari suatu kerinduan dan cinta kasih. Judul ini datang dari tim saya,” ungkap Biyan saat jumpa pers sebelum pertunjukan.
Meski pada koleksi kali ini, Biyan sekaligus mengejawantahkan kangennya pada budaya Nusantara yang akrab dijajakinya. Hingga tercetuslah menumpahkan gagasan corak wastra Nusantara dalam 100 tampilan koleksinya dari beragam material bahan. Dari organza, tafeta, satin, tule, katun, hingga linen dipenuhi corak yang dicetak atau dibentuk dengan tangan melalui hiasan-hiasan.
Corak wastra yang dipilihnya adalah ikat sumba dan tampan lampung. Sementara itu, motif lain yang dikembangkan lalu dipadukan lagi dengan corak wastra, ada yang berupa polkadot, floral, hingga garis-garis. ”Saya mau juga ada corak lain yang universal, seperti garis dengan berbagai macam ukuran. Ini memberikan semangat dan dimensi baru,” ujar Biyan.
Sesuai dengan edisinya, latar panggung pun seakan disesuaikan dengan situasi musim panas. Pemilihan warna oranye dengan detail panggung bersih hanya ada deretan balok kecil di sisi kanan dan kiri panggung seolah menggambarkan musim panas yang cerah dan cocok untuk bersantai.
”Saya sengaja memilih konsep ini dan menginginkan suatu tempat yang punya high ceiling dan tidak punya banyak ornamen sehingga kami bisa menerjemahkan semuanya dengan bebas,” ucap pemilik Studio 133 Biyan.
Begitu pula dengan aneka busana yang dihadirkannya. Meski didominasi potongan longgar, berbagai pakaian dalam koleksi ini dapat dipadupadankan untuk banyak suasana. Mau menikmati bermandi Matahari atau berjalan menyusuri sudut kota, ada crop top dipadu dengan celana longgar atau rok sarung. Bisa juga kombinasi bralette dan celana longgar dipadukan dengan luaran mirip ponco atau berlengan kelelawar.
Tak ketinggalan boxy top dengan celana longgar. Ada yang dibiarkannya hanya dengan motif cetak polkadot atau garis. Ada yang diberi detail bordir jahitan tangan atau manik-manik yang disusun secara teliti dengan tangan dan membentuk motif etnik.
Akan tetapi, musim semi atau musim panas juga identik dengan pesta meriah. Terbayang kastil tua di pinggir pantai dengan deretan lentera temaram menyambut ke pintu masuk. Suara deburan ombak berpadu musik di dalam kastil, maka para tamu yang hadir pun datang dengan gaun-gaun yang indah dipenuhi manik-manik, tatahan hiasan kristal dan sequin yang disusun membentuk corak bunga atau daun.
Potongannya tentu bukan ballgown seperti Cinderella. Cukup gaun maxi longgar menjuntai hingga ke lantai dengan siluet halterneck, tanpa lengan, atau bagian punggung dibiarkan terekspos. Namun bagi yang lebih nyaman sedikit tertutup untuk menonjolkan keanggunan, pilihan gaun berlengan yang menerawang atau dipadu dengan luaran bisa diambil.
Tidak ketinggalan, ada juga perpaduan blazer dengan hiasan bordir berbenang emas atau kristal yang gemerlap dengan celana lebar dan blus. Cuaca musim semi awal tahun pun kadang masih agak sedikit berangin sehingga butuh jaket yang trendi dan kali ini memasukkan motif ikat sumba atau tampan lampung disatukan dengan motif garis sehingga lebih cantik.
Berbeda dengan koleksi musim semi/musim panas tahun sebelumnya, koleksi Biyan saat ini bermain warna lebih variatif. Dari warna seperti putih, nude, hitam, dan navy. Biyan beralih ke terakota, hijau emerald, hijau limau, fuchsia, kuning terang, oranye, hingga emas.
”Sebetulnya pemilihan warna itu sebuah optimisme baru di mana setiap warna dapat berjalan bersama-sama. Semua warna itu mewakili tiap individu,” jelas Biyan.
Energi baru
Meski ciri khasnya dengan embroidery tetap menonjol, Biyan kali ini seakan lebih santai dan kasual dalam karyanya. Hal ini juga berkaca dari pengalaman sepanjang pandemi ini. ”Selama dua tahun ini mulai terbiasa live a simple life. Memang selalu ada sisi baik dan tidaknya. Salah satunya malah bisa mendapatkan inspirasai dari kesempatan lagi menilik dan membaca lagi koleksi buku yang dimiliki,” tutur Biyan.
Bahkan, Biyan menyempatkan diri mencari buku Indonesia kuno yang sudah tidak diterbitkan lagi sebagai referensinya. Ketika kondisi perlahan memungkinkan, ia pergi ke satu tempat dan menyempatkan diri ke perpustakaan. Biyan mempelajari kembali sejarah mengenai peradaban, kostum, dan tradisi. ”Saya juga mulai melihat kain saya dam berjalan begitu saja,” ungkapnya.
Seiring waktu, semua itu melahirkan energi baru yang berujung pada kembalinya lagi dirinya ke landas peraga dengan karya. Banyak hal yang mestinya dilaluinya. Namun, pilihan ada pada diri sendiri. Biyan memilih untuk maju mengingat profesinya di dunia kreatif ini perlu inovasi di tengah keterbatasan.
Biyan melalui dua tahun tersebut dengan tetap menepati jadwal rilis koleksinya. Ia pun bersyukur bisa menggelar pertunjukan lagi. ”Tantangannya banyak banget. Seperti memulai dari awal lagi. A lot of complication. Harus berpikir juga how to be safe, how to be secure,” jelasnya.