Letupan Keindahan dari Pandemi
Para seniman melewati pandemi secara kreatif dan produktif. Ada yang bergelut dengan kertas atau kanvas, hingga kayu-kayu di samping rumah untuk dijadikan karya seni. Berkarya tiada henti menjadi obat sekaligus doa.
Pada sisi berbeda, pandemi Covid-19 menawarkan kekhusyukan bagi para seniman. Ketika tubuh didera virus sampai lidah mati rasa, ada ”keheningan” dalam diri. Berkarya tiada henti menjadi obat sekaligus doa, yang bisa jadi melahirkan letupan keindahan.
Perupa Nyoman Erawan (62), asal Bali, melewati pandemi secara kreatif dan produktif. Ia menyuguhkan deretan karya sekaligus doa ke dalam pameran tunggal seni rupa Rekakara Pangurip Gumi di ruang seni Sangkring, Yogyakarta.
”Ketika di awal-awal pandemi, saya dan istri pernah sakit flu sampai lidah tidak bisa merasakan apa-apa. Bukannya tidak percaya sama dokter, saya tidak mau periksa ke dokter, takut di-covid-kan seperti orang-orang yang kemudian meninggal di rumah sakit,” ujar Nyoman Erawan, Kamis (14/7/2022). Ketika dihubungi, dia sudah kembali dari Yogyakarta ke Bali.
Bersama istri, Nyoman Erawan waktu itu mengisolasi diri di rumah sepanjang dua pekan. Setiap pagi ia berolahraga ringan sambil berjemur di bawah sinar matahari yang hangat. Asupan vitamin ditingkatkan, hingga menata keikhlasan hati jika maut merenggutnya.
Dari waktu ke waktu semasa Covid merajalela, Erawan bergelut dengan lembar-lembar kertas atau kanvas, hingga kayu-kayu yang bergeletakan di samping rumah untuk dijadikan karya seni. Kehancuran menerbitkan keindahan, demikian kredo Erawan dalam berkarya seni sejak menempuh studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Ia membakar kayu dan menikmati keindahan arang yang terbentuk. Di situ ada kehancuran, tetapi ada pula keindahan. Ini laku spiritual Erawan yang diilhami kekuatan Trimurti sampai ke alam bawah sadarnya. Di situ ada trinitas kekuatan dewa yang menciptakan, memelihara, dan memusnahkan. Erawan menggenggam erat siklus transendental dan imanen ini.
Keseharian Erawan di sepanjang pandemi juga selalu diisi dengan membuat gambar-gambar sketsa dengan tinta. Untuk hal ini, ia sempat mengirimkan beberapa foto sketsa itu lewat aplikasi di gawainya.
Sketsa berjudul ”Balada Corona 2020” dikirimkan pertama kali. Mengalir kemudian karya-karya sketsa seri ”Rajah Penolak Corona 2020”. Ia seperti ”kesetanan” dalam membuat karya. Perupa kelahiran Gianyar ini menjalani wirid atau litani kepasrahan diri sekaligus menguatkan diri.
Ide yang abadi
Di sepanjang pandemi, kredo di dalam kehancuran tersembunyi keindahan itu terus menggelora. Kayu-kayu yang dibakar mendedahkan kredo itu. Meski kelak, kayu-kayu itu akan benar-benar hancur, beserta keindahannya.
Erawan menangkap dualitas makna yang harus digenggam erat antara ide atau gagasan yang harus tetap abadi dan realitas medium yang menolak keabadian. Ia lantas mengupayakan medium berkarya yang lebih tahan, yakni lembaran-lembaran aluminium.
Aluminium itu dilekuk-lekuk. Penyok di sana-sini. Dibentuk dan dituangi cat demi mengurai suatu kisah. Esensi makna karyanya tidak ke mana-mana, tetap bertolak sebagai rajah (kaligrafi) atau doa. Seri karya medium aluminium ini kemudian dipamerkan di Sangkring, 6 Juli-15 September 2022. Tajuk pameranRekakara Pangurip Gumi bermakna daya kreatif tangan dalam menghidupi Bumi.
Saat pembukaan pamerannya, Erawan mengawali dengan adegan teatrikal. Ia bersama sembilan orang lain memasuki arena seraya mendendangkan ”Kidung Tangise Bumi” (Nyanyian Tangis Bumi). Mereka berselubung kain putih.
Deru mistis menyergap dari alunan suling khas Bali, sampai-sampai ada penonton merinding ketakutan. Sosok Erawan yang tertutup rapat kain putih di sekujur tubuhnya mulai tersingkap, tatkala mulai membacakan puisi. Ia berdiri di tengah lingkaran delapan orang. Satu orang lagi ada di luar lingkaran dan memainkan suling bernada kesedihan itu.
Puisi Erawan memecah suasana gaduh dari tetabuhan baskom aluminium oleh orang-orang yang mengelilinginya. Tidak seberapa lama tetabuhan berhenti. Delapan orang penabuh itu terkapar berkalang tanah. Hanya Erawan yang berdiri.
Kekhusyukan dari horizon
Pameran tunggal seniman Entang Wiharso (56) di Tirtodipuran Link, Yogyakarta, juga menguarkan kekhusyukan dari pandemi. Pameran itu bertajuk Double Horizon atau Horizon Ganda. Itu buah-buah kekhusyukan Entang selama pandemi mengolah dua horizon budaya antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang menjadi dua negara tempat tinggalnya kini.
Kisahnya bermula begini. Menjelang masa pandemi di tahun 2019, Entang yang tinggal di Rhode Island, AS, menempuh perjalanan udara menuju Midland, pusat produksi minyak dan gas alam di Texas, AS. Setelah mendarat, ia menempuh perjalanan darat, kemudian melintasi lanskap Gurun Chihuahua yang spektakuler oleh fenomena alam Marfa Lights. Marfa Lights adalah panorama kerlap-kerlip di malam hari yang tidak pernah tersingkap penyebabnya secara ilmiah sampai sekarang.
”Setelah kunjungan ke Marfa, saya memikirkan pemandangan gurun dan horizon yang sensasional. Ini sekaligus mengingatkan horizon lain tentang Indonesia, tentang teori konspirasi yang sedang mengemuka saat itu, yang mengira Bumi itu datar,” ujar Entang.
Sepanjang pandemi, horizon ganda ini menggelayuti pikiran Entang. Di saat menikmati Marfa Lights, ia menyaksikan istrinya sedang bercakap-cakap dengan orang lain yang berasal dari New York, AS. Entang tanpa sadar sempat menguping perbincangan mereka, di antaranya ternyata memperbincangkan tentang teori konspirasi tadi.
Teori konspirasi itu menyinggung pemahaman tentang horizon, tentang Bumi itu datar. Isu ini juga sedang menggejala di Indonesia. Selama mengisolasi diri saat pandemi, belitan pikiran tentang konspirasi itu mengarahkan Entang untuk secara instingtif menempuh pendalaman yang reflektif.
Kemudian lahirlah karya-karya bertema Horizon Ganda yang kini dipamerkan. Entang menuangkan kemelut dua horizon yang mengendap di pikirannya di sepanjang pandemi. Ia pun membuat lukisan terbaru pada 2022 yang diberi judul ”Double Horizon” untuk dipamerkan. Ada dua garis memanjang dan membentuk horizon menyala berwarna merah dan biru di tengah kanvas lukisan besar itu.
Karya Entang membenamkan kisah satu horizon secara fisik yang ada di Marfa, satu lagi horizon maya tentang keindonesiaan. Bukan hal mudah untuk mempersatukan dua budaya antara Amerika dan Indonesia. ”Budaya mengandung kompleksitas. Budaya tidak dapat dilihat secara hitam dan putih,” ujar Entang.
Pameran Double Horizon berlangsung di Tirtodipuran Link antara 8 Juli hingga 4 September 2022. Kekhusyukan Nyoman Erawan dan Entang Wiharso dari masa pandemi ini hanyalah sepotong cerita dari kisah panjang serupa yang mungkin dijalani ratusan seniman yang sekarang berpameran di Yogyakarta.
Pameran seni rupa saat ini memang mulai marak di Yogyakarta. Perhelatan ini beriringan dengan gelaran Artjog yang berlangsung dari 7 Juli hingga 4 September 2022, yang disebut-sebut pula sebagai Hari Raya Seni Rupa atau Lebaran Seni Rupa. ”Orang luar Artjog yang pertama kali menyematkan istilah Lebaran Seni Rupa itu,” kata Direktur Artjog Heri Pemad.
Tahun ini, Artjog memasang tema ”Expanding Awareness”, yang mencoba memperluas manusia terhadap keberadaan dirinya di tengah alam semesta. Pengamat seni Mike Susanto melihat selama dua tahun terkungkung pandemi, telah memberi kesempatan kepada seniman (manusia) untuk memikirkan ulang tentang banyak hal. ”Antara lain renungan itu diterjemahkan menjadi karya seni,” kata Mike.
Karya berjudul ”Catatan Pinggir Jurang” dari Angki Purbandono dan Alex Abbad, menurut Mike, berhasil menggugah para pengunjung untuk merenungi ulang soal-soal keberadaan diri mereka. Berbagai teks yang diselipkan di antara bantal seolah tampil menjadi peringatan tentang lingkungan hidup manusia yang makin kritis.
Sebagian besar karya, tambah Mike, tidak berhubungan langsung dengan situasi pandemi, tetapi selalu berefleksi tentang peran manusia dalam kemerosotan berbagia hal yang ada di sekitarnya. ”Bisa jadi manusia telah menjadi pemusnah terhadap spesiesnya sendiri,” katanya.