”Ora Hard, Ora Mangkat”
Trek yang panjangnya hanya 1 kilometer itu sangat berat. Namun, Jarvis menyelesaikan trek ekstrem itu dengan mudah, bahkan setelah finis dia mengulang dua kali lagi.
Dia memiliki banyak julukan, ada yang menyebut dirinya Silent Assassin, G-Force Jarvis, dan Raja Hard Enduro. Ya, dia adalah Graham Jarvis, pebalap hard enduro asal Inggris yang membuat jutaan orang di bumi terjangkit virus trabas.
Muhammad Zaky, pegiat trabas asal Wonogiri, Jawa Tengah, geleng-geleng kepala karena sudah dua kali di-overlap oleh Graham Jarvis di trek sungai berbatu yang menjadi pemanasan ajang hard enduro Hiu Selatan di Cilacap, Jawa Tengah, akhir Mei lalu. Trek yang panjangnya hanya 1 kilometer itu sangat berat. Namun, Jarvis menyelesaikan trek ekstrem itu dengan mudah, bahkan setelah finis, dia mengulang dua kali lagi. Di setiap putaran, dia melewati banyak pegiat trabas Tanah Air yang kelelahan atau tidak bisa lagi melewati rintangan batu.
”Jarvis memang kelasnya bumi dan langit dengan kita. Di trek sungai itu, saya dilewati dua kali oleh dia, gila,” ujar Zaky yang juga pemilik bisnis jual beli trail Juragan Trail.
Jarvis, sebelum menggeluti olahraga enduro pada 2006, kemudian hard enduro pada 2009, sudah matang di trial. Dia meraih lima gelar juara Kejuaraan Trial Inggris, empat kali memenangi Scott Six Days Trial, dan sembilan kali memenangi ajang Scott Trial. Pebalap asal Kent, Canterbury, Inggris itu, baru pindah ke enduro saat usianya 31 tahun, dan sepenuhnya di hard enduro pada usia 34 tahun.
”Saya masuk ke enduro sudah sedikit lebih tua dibandingkan dengan beberapa pebalap lainnya, saya mengawali dari trial saat masih anak-anak kemudian mengawali enduro pada usia 31 tahun. Olahraga ini berkembang pesat di seluruh dunia. Saya suka dengan olahraga ini karena pebalap amatir bisa balapan bersama pebalap profesional, bisa mengunjungi banyak negara, tempat-tempat berbeda, tantangan berbeda, dengan tempat yang berbeda juga ada teknik baru yang dipelajari, jadi ini olahraga yang sangat bagus,” kata Jarvis.
Namun, usia bukanlah halangan untuk berprestasi di ajang enduro karena lebih mengedepankan teknik dibandingkan dengan kecepatan. Jika teknik pengendalian motor bagus, tenaga bisa dihemat sangat banyak. ”Jika Anda berkendara dengan efisien, akan lebih sedikit tenaga yang dikeluarkan,” ujar Jarvis di Cilacap.
”Saya juga terkejut masih bisa bersaing dengan para pebalap yang jauh lebih muda, saya hanya terus berkerja keras, menikmati berkendara, dan itu yang terpenting, terus lanjut, tidak pernah berhenti. Sayangnya, tidak ada resep rahasia, hanya terus bekerja keras, berlatih keras, tidak pernah menyerah,” ucap Jarvis.
Kerja keras itu ditunjukan oleh Jarvis saat menyusuri trek hard enduro Hiu Selatan dengan berjalan kaki menempuh beberapa kilometer melewati sungai dan hutan, mendaki tanjakan. Etos itu membuat Dzakir, yang ikut survei jalur untuk mempertahankan gelar Raja Tanjakan Indonesia, terpesona.
”Ini bukan kejuaran dunia bagi dia, hanya main-main saja, tetapi dia tetap serius survei jalur, berjalan kaki berkilo-kilo. Saya saja yang mau mempertahankan gelar Raja Tanjakan tidak seperti itu. Dia yang di sini hanya main-main, tetap serius seperti itu. Bahkan, di beberapa titik, dia bisa dua tiga kali bolak-balik mengamati jalur yang akan dilalui. Ini pembelajaran untuk kita, apa pun ajangnya kita harus tetap serius,” ucap Dzakir yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur.
Etos kerja Jarvis itulah yang membuat dia bersinar di hard enduro meskipun usianya tidak muda lagi. Dia lima kali memenangi balap hard enduro terberat di dunia Erzberg Rodeo, enam kali memenangi Red Bull Romaniac yang medannya membuat nyali ciut, lima kali memenangi ajang Hells Gate, lima kali finis tercepat di ajang bergengsi Red Bull Sea to Sky, serta tiga kali memenangi ajang Roof of Africa.
Saat balapan di Hiu Selatan, di mana Jarvis diundang oleh Law Agwan sebagai penyelenggara, dia melesat sendirian di trek sungai berbatu besar. Dia tidak ngotot, bahkan motor Husqvarna dua tak 300 cc yang dia pakai jarang teriak. Dia jeli memilih jalur di medan yang tidak ada jalurnya itu karena yang ada hanya tumpukan batu-batu besar. Cara dia membuka gas, kontrol kopling, serta posisi tubuh sangat natural, membuat jalur ekstrem itu seolah mudah dilalui.
Kenyataannya, jalur itu nyaris mustahil dilalui. Para pebalap hardenduro Indonesia dibuat kewalahan di trek sungai itu terkuras tenaganya, banyak yang terjatuh, atau motornya salto karena terlalu sadis membuka gas hingga tak terkendalikan.
”Cara Jarvis berkendara tidak bisa ditiru, timing dia itu bisa sangat pas saat membuka gas, melepas kopling, dan memosisikan tubuh. Kalau pebalap lain, seperti Billy Bolt, Johnny Walker, masih bisa ditiru,” ujar pebalap hard enduro Indonesia, Herjuno, yang dijuluki Jarvis-nya Indonesia karena gaya berkendaranya yang lembut saat melewati rintangan bebatuan, mirip Jarvis style.
Gaya berkendara smooth style Herjuno bisa dilihat di akun Youtube-nya Herjuno 22. Herjuno hanyalah satu dari jutaan pegiat enduro yang terinspirasi oleh Jarvis yang membuat rintangan sulit terlihat mudah. Gaya Jarvis yang anggun di medan yang keras itu bak virus yang menjangkiti penduduk bumi untuk bermain enduro di jalur keras. Bahkan, kini di kalangan pegiat trabas Indonesia muncul slogan baru, ”Ora Hard, Ora Mangkat”, kalau jalurnya enggak keras lebih baik enggak usah berangkat trabasan.
Herjuno yang tinggal di Magelang, Jawa Tengah, sudah dua kali bertemu Jarvis saat ikut ajang Uncle Hard Enduro 2019 di Kiram, Kalimantan Selatan, serta di ajang Hiu Selatan, Cilacap. Saat di Uncle, Jarvis menunjukan keseriusan berkompetisi dan Herjuno belajar banyak dari sang maestro.
”Dia itu seperti tidak bisa marah, emosinya terkontrol parah. Jika kesulitan melewati rintangan yang sudah dicoba beberapa kali, dia berhenti, mengamati medan, memilih jalur, baru gas lagi. Kalau kita, kan, jika sudah lelah, pasti emosi. Padahal, itu yang bikin tambah lelah dan tidak fokus,” ujar Herjuno yang menggeluti enduro sejak masih di bangku SMP pada 2013.
Karakter Jarvis yang sangat tenang merupakan bawaan lahir. Bahkan, pada usia empat tahun saat mendapat sepeda pertama, dia tidak euforia seperti anak-anak kecil lainnya. Demikian juga saat dia dibelikan sepeda BMX dan motor pertamanya Yamaha TY80 yang menandai awal karier Jarvis di olahraga trial. Itu satu-satunya sepeda motor yang dibelikan oleh ayahnya, setelah itu semua dia beli sendiri serta dari sponsor karena kariernya di trial melejit parah.
Namun, ketenangan bawaan lahir itu sempat tidak cukup untuk menghadapi tekanan kejuaraan level dunia. Saat masih di trial dalam usia 20-an tahun, Jarvis menemui masa-masa tidak konsisten. Dia tahu penyebabnya, yaitu ketakutan melakukan kesalahan, tetapi tidak menemukan solusi. Saat dia melakukan kesalahan, semuanya menjadi lebih buruk, seperti dia akui dalam otobiografi Graham Jarvis Conquering the Iron Giant: The Life and Extreme Times of an Off-road Motorcyclist (2019).
Jarvis sempat menemui psikolog olahraga dan dia disarankan untuk tidak terjebak dalam emosi. Saat emosi muncul, dia perlu melawan dengan hanya fokus pada apa yang bisa dia kendalikan. Itu proses berat yang akhirnya bisa dilalui oleh Jarvis. Itulah mengapa dia bisa terlihat sangat tenang saat mengalami kesulitan di jalur dan mampu menemukan jalan keluar.
Salah satu contoh ekstrem tekanan psikis yang dihadapi Jarvis adalah saat ajang Erzberg Rodeo 2022, 19 Juni lalu. Di ajang yang telah dia menangi lima kali itu,
Jarvis kembali membuat kepala geleng-geleng. Dia memang tidak finis terdepan, tetapi dia melewati 490 pebalap untuk finis di posisi ke-10. Fenomena ini terjadi karena Jarvis mengalami kendala pada motornya setelah start, masalah yang sangat sepele, tetapi tidak terduga, yaitu selang bensin tidak terpasang sempurna sehingga motor mati.
Dia menghabiskan satu jam untuk menemukan masalah itu dan berada di posisi terakhir dari 500 peserta. Dia terus fokus pada dirinya sendiri, membalap seperti biasa, tidak terburu-buru. Jarvis finis di posisi ke-10, tetapi sudah melebihi cut off time empat jam, serta didiskualifikasi karena mendapat bantuan saat memperbaiki motornya. Namun, bagaimana dia finis ke-10 dari posisi ke-500 menunjukan kekuatan mentalnya. Jika tidak ada kerusakan motor, mungkin Jarvis meraih kemenangan keenam di Erzberg Rodeo, Austria.
Performa Jarvis di usia 47 tahun itu semakin membuat para penggemarnya jatuh cinta, termasuk Dyan Isnomo, pegiat enduro dan juga trial. Profesional di dunia hidrologi yang tinggal di Tangerang Selatan, Banten, ini baru bisa bertemu idolanya saat ajang Hiu Selatan di Cilacap, akhir Mei lalu. Dia melewatkan tiga kunjungan Jarvis sebelumnya pada 2015, 2018, dan 2019, semuanya karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggal.
Dia datang ke Cilacap lebih awal pada Kamis, tetapi kehadiran Jarvis ternyata membuat semua kamar hotel penuh oleh para pegiat enduro. Dia akhirnya dapat kamar di salah satu hotel, dan ternyata itu hotelnya Jarvis.
”Saat saya sedang membayar kamar, Jarvis lewat dan saya sangat terkejut, hanya bisa terpana, tidak bisa bergerak untuk mencegat dia dan minta foto bersama,” kenang Dyan.
Dia kemudian menunggu di lobi hotel dan pucuk dicinta ulam tiba, dia bertemu Law Aguan, penyelenggara ajang Hiu Selatan yang mengundang Jarvis dan Mario Roman. Dyan diajak oleh Aguan santap bersama dengan Jarvis dan menyaksikan aksi wheelie sang Raja Hard Enduro daat sesi video promosi.
”Saya bisa ngobrol banyak dengan dia, tetapi saking gembiranya saat ketemu Jarvis, sampai lupa foto bersama. tetapi gak apa-apa, sudah lega bisa ketemu dan ngobrol langsung setelah penantian sejak 2015," ujar Dyan disusul tawa.
Para pemburu Jarvis ini sangat banyak, sekitar 4.000 peserta Hiu Selatan dari sejumlah daerah di Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan. Antusiasme itu membuat Jarvis tidak pernah lepas dari kerumunan setiap kali dia ada di jalur, ada yang meminta foto bersama, membuat vlog, dan meminta tanda tangan. Semuanya dilayani oleh Jarvis dengan senyum khasnya. Ini sisi lain Jarvis yang sekilas terkesan dingin karena sangat pendiam, tetapi ternyata sangat ramah. Kesunyian Jarvis yang membuat dia dijuluki Silent Assassin itu ternyata sangat humanis.
Jarvis selalu menikmati berada di Indonesia karena keramahan masyarakatnya, antusiasme pegiat enduro, dan medan enduro yang menantang. Indonesia pun dia nilai sebagai tempat terbaik untuk mengasah keterampilan untuk menjadi pebalap hard enduro kelas dunia.
”Menurut saya, Anda memilki medan terbaik di dunia, menantang, memiliki berbagai macam tipe batuan, sungai, lumpur. Jadi, Anda memiliki semuanya. Dan, hal yang bagus adalah Anda memiliki kebebasan untuk berkendara ke mana saja, sedangkan di Eropa sangat terbatas dan ketat, ini tempat fantastik untuk berkendara, belajar, dan menjadi lebih baik,” ucap Jarvis.
”Saat pelatihan kemarin, menyenangkan bisa melihat banyak talenta yang bagus. Banyak para pebalap muda muncul dengan motivasi latihan tinggi, keterampilan yang bagus. Saya melihat kemajuan besar dibandingkan beberapa tahun lalu. kemampuan terus meningkat, tetapi level kejuaraan di dunia juga terus meningkat. Jadi, hanya ada satu solusi, yaitu bekerja keras, berlatih keras. Anda tidak perlu uang untuk berlatih keras. Anda bisa melakukan itu, dan kami di sini untuk membantu, mari buat itu jadi kenyataan,” kata Jarvis terkait dengan peluang pebalap hard enduro Indonesia menjadi pebalap kelas dunia.
Pekerjaan besar untuk menaikan level para pebalap hard enduro Indonesia hingga level dunia adalah memperbanyak kejuaraan dan mempertahankan yang ada terus bergulir setiap tahun. Saat ini, ada sejumlah kejuaraan yang rutin bergulir, seperti Black Parade, Mostly Two Stroke, Indonesia Enduro Rally Championship, dan Uncle Hard Enduro. Ajang-ajang itu kini menjadi target bagi para pebalap hard enduro Indonesia untuk meraih prestasi.