Literasi Menjadi Kunci Rekoneksi
Literasi telah menjadi kunci bagi siapa saja untuk berdaya dan mudah terhubung dengan siapa saja.
Tatkala pandemi, banyak orang berlimpah waktu luang lalu belajar sastra. Saat pandemi melandai, kecintaan terhadap sastra terus berkibar. Mereka ramai-ramai menerbitkan buku dan berdaya lewat buku.
Dwita Utami (31) mengirim foto berisi enam buku kumpulan puisi, cerpen, dongeng, dan cerita. Itu buku yang dia tulis bersama teman-temannya yang dia kenal secara daring lewat grup WA. Selama pandemi. Dwita benyak belajar menulis dan bersama-sama menerbitkan buku secara indie. ”Dua buku lagi masih dalam proses,” kata Sekretaris Desa Tayem, Kecamatan Karangpucung, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Jawa Tengah, ini.
Tabiat seperti itu dilakukan juga oleh Mohammad Iskandar (43), pemuda yang tinggal di Demak, Jawa Tengah. Pandemi membuatnya tak bisa lagi merantau dan menjadi kuli di berbagai tempat. Sebelumnya dia ke Sumatera, Kalimantan, Bali, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lombok di Nusa Tenggara Barat. Sebelum pandemi, dia sudah mencintai sastra, tetapi ia baru menemukan waktu yang demikian luang ketika Covid-19 menyerang.
Dia lalu mematangkan manuskrip dan saat pandemi itulah dia menerbitkan kumpulan puisi Lelaki Utara disusul menulis berdua dengan Riami buku berjudul Dua Mata Haiku. Setelah itu, bersama dua teman dia menulis Harmoni Tiga Penjuru.
Selama pandemi, setidaknya dia bergabung dengan 27 grup yang mayoritas tentang literasi. Dia juga menginisiasi Kelas Puisi Alit alias Kepul, sebuah grup WA yang berisi para pembelajar sastra, bukan hanya puisi. Pada hari-hari tertentu, para anggotanya saling berbagi pengetahuan tentang sastra.
Awalnya anggota grup ini berjumlah belasan orang dan terus meningkat selama pandemi. Saat ini, jumlah anggotanya mencapai 260 orang. Seperti biasa, sebagian besar adalah penyimak pasif. Namun, grup ini termasuk yang amat hidup karena hampir tiap hari ada yang mengunggah karya baru untuk direspons anggota lainnya. Tak kurang dari 14 anggotanya bahkan sudah atau akhirnya menulis buku baik secara pribadi atau bersama. Grup ini telah menerbitkan dua buku antologi, yakni Pijar Sebuah Ruang dan Manuskrip Bintoro. ”Saya rasakan anggota Kepul lebih kuat dan kompak sejak pandemi itu. Lebih banyak yang menulis,” kata Mois, begitu Mohamad Iskandar biasa disapa.
Data empirik yang dikemukakan Mois sebangun dengan data Perpustakaan Nasional. Pada awal pandemi masih sedikit buku yang diakses, yakni 249.914 terbitan. Akan tetapi, pada 2021 meningkat menjadi 490.950 terbitan. Adapun tahun ini, hingga Juni, sudah mencapai 209.876 terbitan. Pada tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar 280.000 sampai 398.000 terbitan.
Data Aksaramaya, pelopor buku digital berupa aplikasi Moco, menunjukkan hal serupa. Tahun lalu bertambah 22.669 judul dan tahun ini sudah nambah 10.150 judul. Jumlah pengakses buku Moco lewat Ipusnas pada 2020 dan 2021 rata-rata mencapai 534.000 kali. Tahun ini sudah 211.288 kali.
Peningkatan itu, kata CEO Aksaramaya Sulasmo Sudharno, karena literasi sudah jadi program nasional, perlu diperbanyak bahan bacaan. ”Perpustakaan jadi media paling efektif menyediakan bahan bacaan dan ketika pandemi praktis pengguna perpustakaan digital semakin meningkat,” ujarnya.
Pendiri penerbit indie MS Publishing, Isrina Sumia (35), menguraikan, selama pandemi banyak penulis baru bermunculan. Biasanya mereka mengunggah karyanya di media sosial, lalu menerbitkannya secara indie dengan jalan self-publishing: membiayai penerbitan sekaligus mendistribusikannya secara mandiri. Sejak awal 2020 hingga pertengahan tahun ini, MS Publishing telah menerbitkan 21 buku. Itu naik sekitar 36 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi. Isrina mengatakan, setelah pandemi pun masih banyak yang akan menerbitkan buku di tempatnya.
Agenda baru
Pandemi sudah mereda, apakah semangat menulis juga mereda? ”Pandemi saja kita bisa menulis. Apalagi setelah pandemi, harus lebih semangat lagi,” kata Dwita yang menyimpan banyak mimpi. Dia ingin menulis buku antologi tunggal bertema kearifan lokal, budaya, dan keindahan alam Cilacap. Jika memungkinkan, dia hendak mengunjungi satu per satu dari 269 desa di Cilacap untuk riset dan mencari bahan. Selain itu, dia ingin membangun kelas menulis dan perpustakaan di desa. Literasi di desa dia harus berkembang.
Widjaya Harahap (65) juga punya mimpi yang mirip. Setelah ikut lima kelas menulis dan turut serta menulis tujuh antologi cerpen, dongeng, dan puisi, dia berencana menerbitkan buku sendiri dan sudah merampungkan 12 cerpen untuk dibukukan. Pensiunan yang kini aktif bekerja di industri pertanian ini bilang, ”Pengen punya pencapaian baru. Rupanya masa pandemi membuka banyak kesempatan untuk belajar. Secara psikologis ada hasrat yang kuat untuk bercerita. Menulis fiksi, karena pekerjaan memerangkap saya dalam dunia nonfiksi.”
Dia berharap, dalam enam bulan ini, bukunya sudah terbit. Dia cenderung menerbitkan secara indie karena syaratnya lebih mudah.
Pemberdayaan
Gairah literasi itu tidak hanya di Jawa. Di beberapa pulau, seperti Sumatera, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara Timur, gairah itu terasa kuat. Di Sumatera Utara, Fauza Qodriah (26) lewat Sumut Mengajar mengajak para mahasiswa untuk memancing anak-anak di desa agar rajin membaca. Setidaknya sudah 400 desa yang mereka datangi untuk menyebarkan kesadaran berliterasi.
Di Desa Enonapi, Kecamatan Kei, Timor Tengah Selatan, Ningsi Selan (18) mengajak rekan-rekan sebayanya untuk banyak membaca lalu mentransfer pengetahuan itu kepada orangtua mereka. Tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan pengetahuan tentang tengkes, pola asuh, hingga kesetaraan jender. Para remaja di sana sekarang sudah berani menolak untuk dinikahkan saat masih di bawah 18 tahun.
Adapun Komunitas Lakoat.Kujawas di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, dari perpustakaan, menjadi kewirausahaan sosial dengan orientasi pada pemberdayaan kearifan lokal yang mencakup sastra, literasi, pengarsipan, sekolah budaya, dan food lab.
Pendiri Lakoat.Kujawas, Dicky Senda, mengatakan, sastra merajut kembali ikatan antara masyarakat sekaligus ikatan masyarakat dan tanah kelahiran. Itu tecermin setelah Lakoat.Kujawas menggelar kelas menulis sehingga anak-anak Mollo bisa menceritakan perspektif dan pengetahuan mereka tentang kehidupan di sana.
Anak-anak menulis dongeng, fabel, cerpen, hingga puisi. Komunitas ini sudah menerbitkan enam buku, antara lain Dongeng dari Kap Na'm To Fena (2018) dan Tubuhku Batu, Rumahku Bulan (2019). Beberapa buku lainnya juga terus digarap selama pandemi.
”Sastra melatih anak-anak berpikir kritis dan kepekaan terhadap sekitar, sedangkan orangtua yang masih mewariskan budaya dengan bertutur jadi memiliki pandangan positif tentang sastra,” kata Dicky saat ditemui di Kupang, NTT, Rabu (8/6/2022).
Dalam buku Tubuhku Batu, Rumahku Bulan, umpamanya, anak-anak membahas relasi orang Mollo dengan alam. Mereka menganggap alam menyerupai tubuh manusia, yakni hutan seperti rambut, air ibarat darah, dan batu laksana tulang. Perspektif itu membangun kesadaran mereka tentang pentingnya menjaga sumber mata air dan hutan hingga menolak tambang.
”Sekarang kami sedang ada proyek penerjemahan cerita di buku-buku ke bahasa Inggris dan bahasa Mollo di mana anak-anak menjadi penerjemah dan orangtua menjadi editor bahasa. Ini jadi menghidupkan tradisi dan bahasa,” ujar Dicky.
Di Lakoat.Kujawas, sastra digunakan untuk kerja pengarsipan budaya. Tahun ini, Lakoat.Kujawas baru menyelesaikan manuskrip berjudul Surat-Surat Tanah, berisi resep makanan khas Mollo. Di setiap resep, ada cerita pendek fiksi berbasis narasi lokal.
Sastra juga berperan penting dalam menghubungkan Mollo dengan dunia luar. Kira-kira sudah sekitar 10 sosok dari luar Mollo, terdiri dari sastrawan, seniman, dan desainer gim telah melakukan residensi di Mollo dari 2017 sampai sekarang, seperti Lucina dari Polandia, Royyan Julian dari Madura, dan Iven Manning dari Australia. Orang Mollo jadi tahu apa itu sastrawan dan jenis pekerjaan lainnya.
Sastra pun menopang ekonomi kreatif. Sebelum pandemi, Lakoat.Kujawas menggelar Festival Mnahat Feu, festival musim panen selama tahun 2019-2020. Sekarang, mereka tengah melakukan uji coba paket residensi berbayar yang disertai paket wisata di Mollo.
Pandemi barangkali meninggalkan banyak sisi kelam, tetapi ada juga sisi terangnya. Orang menjadi punya banyak waktu untuk membaca dan menulis. Kini, ketika pandemi melandai, gairah membaca dan berkreasi itu terus menyala, berdaya, dan siap terhubung kembali dengan banyak orang. Literasi telah menjadi kunci.