Kebiasaan Baik yang Menyehatkan Usus
Selama pandemi Covid-19, sebagian orang disadarkan untuk lebih peduli pada keberadaan mikrobioma baik di dalam usus. Makan bukan sekadar urusan perut, tetapi juga menyelaraskan koneksi pikiran dan seluruh pancaindra.
Pandemi Covid-19 menyadarkan sebagian orang untuk lebih peduli pada keberadaan mikrobioma baik di dalam usus. Mereka memperbanyak konsumsi makanan yang kaya dengan enzim, antioksidan, prebiotik, dan probiotik. Kegiatan makan bukan sekadar urusan perut, melainkan juga menyelaraskan koneksi pikiran dan seluruh pancaindra dalam menyiapkannya.
Saat melihat sepiring makanan cepat saji, tangan mungkin tergoda untuk memasukkannya ke dalam mulut. Hasrat ingin melahap juga muncul saat tersaji berbagai camilan, keripik, dan gorengan, kira-kira begitulah yang dirasakan Yola Ayurveda (23), sebelum mengenal smoothies buah dan sayur mentah.
Dorongan untuk ngemil itu muncul ketika ada makanan tersedia di depan matanya, terlebih saat bekerja di depan layar. Tanpa disadari, sekantong plastik keripik bisa habis amat cepat. Jika sudah begitu, kadang ia merasa tidak perlu makan besar karena merasa sudah kenyang.
Aneka keripik, gorengan, atau roti manis, memang lumrah menjadi teman setia di kala kerja. Yang dialami Yola terdengar cukup akrab, sebab turut dilakukan oleh sejumlah pekerja lainnya. Namun, pada akhir 2021, tubuhnya memberikan sinyal ”berbeda”, yakni gampang lelah, jerawatan, dan peningkatan berat badan.
Ia menyadari betul ada yang tidak beres dalam tubuhnya. Selama ini, dia jarang memasukkan sayuran ke dalam menu harian. Menurutnya, rasa sayur matang yang diolah menjadi masakan tertentu terasa aneh. Perjumpaan dia dengan salah satu teman indekosnya di dapur, yang rutin membuat smoothies sayur dan buah mentah, memberikan inspirasi tersendiri.
Dari obrolan itu, hal baru didapat. Rupanya ada cara lain untuk tetap makan sayur tanpa harus mengolahnya jadi sayuran matang, yakni dibikin smoothies. Budaya membuat smoothies sudah dilakukan oleh kedua orangtuanya di rumah, tetapi hanya buah-buahan.
Menurut Yola, proses memadukan aneka sayuran dan buah ke dalam blender merupakan hal yang menyenangkan. Rasa yang dihasilkan kadang tak terduga, bisa pas atau sebaliknya. Lantas, bagaimana rasanya? “Bikin ketagihan! Perpaduan sawi hijau, bayam, nanas, dan wortel itu enak banget. Kalau sehari enggak bikin, kok terasa ada yang kurang dalam hidup,” ujarnya semringah.
Bahkan segelas smoothies menjadi menu sahur dan berbuka Yola selama bulan puasa lalu. Dia merasa tubuhnya jauh lebih fit dan tidak mudah lapar. Menurut dia, minuman sayur dan buah itu sekaligus menjadi sumber antioksidan, vitamin, dan mineral, yang menunjang kesehatannya selama pandemi.
Smoothies diminum sebelum sarapan pagi dan selepas pulang kerja pada sore hari. Adapun setelah enam bulan rutin mengonsumsi smoothies, perlahan jerawatnya berkurang, badannya tidak mudah lelah, dan wajah lebih cerah. Dia jauh lebih melek terhadap pilihan makanan yang dikonsumsinya.
Setidaknya seminggu sekali, dia berbelanja sayur dan buah di Pasar Palmerah, Jakarta Pusat. Dia amat menikmati momen berinteraksi dengan penjual saat memilih sayuran. ”Ada yang bilang kalau hidup sehat itu mahal dan modalnya besar. Ah, enggak juga! Buktinya masih terjangkau buat anak kos kayak aku nih. Ini sawi hijau, bayam, dan wortel, yang kubeli totalnya gak sampai Rp 20.000 lho,” ucapnya sambil tertawa.
Minuman berisi campuran buah dan sayuran mentah disebut Hiromi Shinya, seorang dokter ahli bedah dan gastroenterologi di Amerika Serikat, sebagai jus enzim mentah. Dalam buku Revolusi Makan (2014), dia menjelaskan, konsumsi buah dan sayur mentah di pagi hari dapat meningkatkan kadar enzim agar tetap terjaga selama beraktivitas seharian.
Manfaat yang didapat dari rutin minum jus enzim mentah adalah pencernaan lebih lancar dan kondisi kulit lebih sehat. Menurut dia, seseorang yang tidak mengonsumsi makanan dengan kandungan enzim tercukupi akan merasa kelelahan meskipun telah beristirahat dan badan menjadi tidak bersemangat.
Sejumlah orang menganggap sembelit atau tumpukan kotoran di dalam usus merupakan hal yang biasa. Padahal, usus yang tidak sehat akan mengganggu suasana hati dan kesehatan tubuh. Adapun sembelit dipicu oleh makanan-makanan yang memperlemah usus.
”Coba tanyakan kepada diri sendiri, sejauh apa saya mengonsumsi makanan yang baik bagi usus?” tulis Hiromi Shinya dalam buku tersebut.
Konsumen pertama
Momen pandemi Covid-19, diakui oleh Imasni Satriani (26), telah mengubah pola makannya. Dia lebih banyak mengonsumsi sayuran dan menyeduh rempah-rempah untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Sayuran itu diperolehnya dari hasil bertanam sendiri di depan kamar indekosnya di Tangerang, Banten.
Sayur yang ditanam cukup beragam, seperti kangkung, bayam, dan pakcoy. Semuanya ditanam secara hidroponik menggunakan set perangkat yang dibeli seharga Rp 180.000 di lokapasar. Tidak mudah untuk bertanam secara hidroponik. Pemberian nutrisi harus diperhatikan betul agar tanaman bisa tumbuh dengan baik. Pengukuran nutrisi dan pH dilakukan sebelum dirinya berangkat kerja.
Bagi dia, pengalaman menanam sayur dari biji kecil hingga berukuran besar merupakan pengalaman yang menyenangkan. Hampir setiap hari dia memetiknya untuk ditumis dengan cabai atau direbus. Lebih dari sekadar rasa, ia juga belajar untuk menghargai suatu proses bahan makanan hingga akhirnya ada di piring.
Ada kegembiraan tersendiri yang dirasakan Imasni setiap menyantap olahan itu. Sayuran yang ditanamnya terasa amat segar dan manis. Hal tersebut tidak akan ditemui jika membeli sayur di luar. ”Sayuran hasil panen sendiri itu fresh banget, enzimnya masih banyak. Setelah rutin konsumsi, badan terasa lebih enteng dan pencernaan lancar,” ucapnya.
Kesadaran hidup sehat dengan mengetahui sumber pangan yang dikonsumsi kian bersemi di masa pandemi Covid-19. Peluang ini ditangkap oleh Keumala Hayati (30) dan M. Syaekhuna Akbar (30) untuk mengembangkan kebun hidroponik Asteraeco.id di Jalan Damai, Kaliurang, Sleman, Yogyakarta, sejak Agustus 2021.
Di kebun itu, para pembeli bisa memilih dan memanen sendiri jenis sayuran yang akan dikonsumsi. Konsep ”open garden” dilakukan untuk memutus rantai panjang perjalanan sayuran dari pengepul atau distributor ke tangan konsumen. Artinya, kualitas sayur yang segar menjadi prioritas agar bisa diterima oleh pembeli secepat mungkin.
Keprihatinan tersebut muncul dari hasil pengamatan mereka di pasar. Tak sedikit sayur yang dijual dalam keadaan layu, daun dan tangkainya tertekuk. Padahal, sejumlah sayur rentan terhadap kerusakan jika penanganannya kurang baik. ”Apakah sayur-sayur yang dijual itu masih layak konsumsi dan mengandung nutrisi yang baik untuk tubuh?” begitulah kegelisahan mereka.
”Untuk menjaga kesegarannya, bagian akar sayur tidak perlu dipotong. Daun dan akarnya juga tidak boleh menyatu (dibengkokkan). Dari testimoni pembeli, sayuran kami bisa bertahan lebih dari dua minggu di kulkas,” ucap Akbar.
Banyak jenis sayuran yang ditanam, antara lain selada keriting hijau, selada merah, kale, naibai, pakcoy hijau, pakcoy ungu, sawi pagoda, sawi samhong, caisim, selada butterhead, selada baby romaine, dan bayam brazil. Mungkin beberapa sayuran terdengar kurang familiar, tetapi bukan berarti jenis tersebut tak laku.
Keumala dan Akbar akan menjelaskan kepada para pembeli yang berkunjung ke kebun secara detail. Katanya, tak kenal, maka tak sayang. Begitupun dengan sayuran, mereka juga harus diperkenalkan kepada para konsumen. Jika sudah mencicipi, biasanya mereka akan datang lagi. Wah, makin jatuh hati!
”Di kebun, kami bisa mendengar testimoni langsung dari mereka, berinteraksi tanya-jawab cara pengolahan sayurnya, dan menjelaskan manfaatnya untuk kesehatan,” kata Keumala.
Memilih makanan bukan hanya mengandalkan mata, tetapi logika berperan besar di sana. Urusan perut memang tak boleh dianggap remeh. Katanya, pusat jiwa dan pikiran manusia ada di bagian perut. Slogan ”you are what you eat” atau diri Anda adalah apa yang Anda makan mungkin terdengar pas untuk menggambarkannya.
Mikrobioma usus
Konsumsi makanan yang mengandung prebiotik dan probiotik dapat meningkatkan mikrobioma baik di dalam usus. Prebiotik terdapat pada buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian.
Menurut International Scientific Association for Probiotics and Prebiotics (ISAPP), prebiotik berperan sebagai makanan bagi mikroorganisme yang hidup di dalam usus, sehingga dapat meningkatkan jumlah populasinya. Hampir semua prebiotik adalah serat makanan, tetapi tidak semua serat makanan termasuk prebiotik.
Adapun probiotik disebut sebagai mikroorganisme baik yang hidup dan bertumbuh di dalam tubuh, bila diberikan dalam jumlah yang cukup akan memberikan efek baik untuk kesehatan. Probiotik terdapat pada pangan terfermentasi, tetapi tidak semua pangan terfermentasi mengandung kultur hidup yang memenuhi definisi probiotik.
Selama pandemi, sejumlah orang bereksperimen membuat makanan fermentasi, seperti kimchi dan fermentasi larutan teh manis atau kombucha. Ada yang semula hanya penasaran bereksperimen hingga pada akhirnya terpikat karena merasakan efek baik bagi pencernaan.
Fermentasi larutan teh manis oleh kultur simbiosis antara bakteri dan khamir (scoby), menghasilkan asam-asam organik, asam amino, dan vitamin. Sejumlah riset terkait manfaat konsumsi kombucha telah dilakukan sejak tahun 1900-an, seperti mengatasi masalah usus (dispepsia dan disentri), menjaga kesehatan pencernaan, hingga bersifat antimikroba terhadap sejumlah bakteri patogen.
Sejak pertengahan Maret 2022, Bagas Dika (28), karyawan swasta yang tinggal di Bogor, rutin membuat kombucha di rumah. Scoby dan larutan biang dibelinya melalui situs lokapasar. Ia mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh penjual. Ditambahkan pula informasi dari jurnal dan artikel daring.
Setiap 10- 14 hari, dia memanen kombucha dari toples-toples kaca. Persediaan kombucha di rumahnya bisa dikatakan selalu aman. Dia membaginya ke dalam beberapa toples, sehingga bisa dipanen pada waktu yang berbeda. Dalam prosesnya, dia belajar untuk lebih sabar dalam mengurus makhluk hidup yang berbentuk biang dan scoby itu.
Menurut dia, pembuatan kombucha cukup merepotkan, tetapi sebanding dengan manfaat yang didapatkan. Sejauh ini, ia berupaya untuk tetap konsisten dalam membuat dan mengonsumsi kombucha agar keluarganya selalu sehat.
”Aku pernah membawa kombucha saat kerja sif malam. Lagi ngantuk-ngantuknya, terus minum itu. Badan jadi segar. Entah sugesti atau memang ada efeknya beneran. Sejauh ini, efek rutin konsumsi kombucha bikin pencernaan jadi lancar,” ucapnya.
Upaya menyediakan pangan terfermentasi turut dilakukan oleh Dipta B Candraruna (28), asal Yogyakarta, sejak September 2021. Berawal dari kegelisahan sang ibu kesulitan buang air besar, dia pun belajar untuk membuat pangan terfermentasi berupa kimchi atau fermentasi sawi asin berbumbu pedas khas Korea. Keuntungan membuat kimchi sendiri adalah bisa menakar bahan-bahan yang dicampurkan ke dalamnya sesuai selera.
Untuk membuat kimchi, Dipta menggunakan sawi putih, garam kasar, bawang putih, jahe, buah pir, tepung maizena, kecap ikan, gula, cabai bubuk, wortel, dan lobak. Selanjutnya, difermentasi di suhu ruang selama dua hari. Selain kimchi, dia juga membuat kombucha untuk keluarganya.
”Setelah rutin konsumsi kimchi dan kombucha, aku dan ibuku merasakan efek pada pencernaan, jadi lebih lancar BAB-nya dan badan terasa lebih enteng,” kata dia.
Langkah kecil untuk mengubah pola makan atas kesadaran hidup lebih sehat patut diapresiasi. Sebab, untuk mendapatkan tubuh yang sehat prosesnya tidak instan. Penting untuk membangun kebiasaan yang berdampak bagi kesehatan tubuh sejak awal dengan memperhatikan isi piring sendiri.
Yuk memperbanyak konsumsi makanan yang menyehatkan usus seperti sayuran dan buah segar, serta makanan terfermentasi. Seperti kata Hiromi Shinya, ”Semakin banyak kita mengonsumsi ‘makanan hidup’, semakin baik pula kesehatan jiwa dan raga kita.”