Meski nilai mata uang kripto tak menentu, NFT dirasakan memberi banyak manfaat bagi sejumlah seniman. Hal yang paling berdampak adalah minimnya campur tangan pihak lain. Relasi kreator dengan apresiatornya organik.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI, NAWA TUNGGAL
·6 menit baca
Karya seni digital dalam medium NFT atau non-fungible token sedang digandrungi pelaku seni berbasis gambar juga musik. Ia punya aturan main sendiri yang dianggap membebaskan dari campur tangan pihak yang “tidak perlu”; mendekatkan kreator dengan apresiatornya, yang berdampak pada perolehan profit. Meski nilai mata uang kripto tak menentu, kehadiran medium NFT masih patut dirayakan.
Galam Zulkifli (51) menceritakan pengalaman manis yang ia rasakan pada Maret 2022. Salah satu karya seni NFT berbasis lukisan yang ia unggah di “jagat” Etherium laku senilai 5 ETH, mata uang di salah satu semesta maya itu. Nilai satu koin uang kripto ETH pada waktu itu kira-kira setara dengan Rp 45 juta di jagat nyata. Jadi, satu lukisannya dibeli orang seharga Rp 225 juta. Di dalam kesepakatan transaksi NFT, Galam menyertakan lukisan fisik turut dikirim ke pembeli jika karya digitalnya terbeli.
“Sekarang nilai uang kripto turun drastis. Nilai 1 ETH dari sekitar Rp 45 juta pada tiga bulan lalu, sekarang turun menjadi sekitar Rp 16 juta,” ujar Galam, Rabu (15/6/2022) di Yogyakarta. Diduga, salah satu penyebab anjloknya itu adalah pernyataan Bill Gates yang tidak percaya pada mata uang kripto dan euforia NFT.
Sudahlah, tak penting membandingkan Bill Gates sang filantropis dengan Galam Zulkifli sang pelukis kelahiran Sumbawa, NTB yang kini berdomisili di Yogyakarta ini. Bagi Galam, NFT memberinya manfaat penting. “Pertama, karya NFT memiliki setifikat yang tidak mungkin dipalsukan. Kedua, NFT menjadi jembatan untuuk mengenalkan karya-karya terbaru saya ke publik,” ujarnya.
Sejak akhir 2020, Galam telah 10 kali bertransaksi atas 50 karya digital berbasis lukisan kanvas yang dia lempar ke pasar NFT. Dalam waktu dekat, Galam akan menggelar pameran tunggal perdananya di Sumbawa.
Seirama dengan Galam, musisi Indra Lesmana (56) berhasil meraup sejumlah uang kripto dengan mata uang Matic lewat lelang album In The Moment di lokapasar karya NFT bernama Netra pada akhir April 2022. Indra juga merasakan, medium baru NFT itu patut dirayakan.
“Alasan bagi saya, NFT berpihak kepada seniman, termasuk musisi seperti saya. Ketika karyanya terjual di NFT, uang yang diperoleh itu langsung diterima kreator tanpa potongan-potongan lainnya,” ujar Indra, yang kini menetap dan berkarya di Sanur, Bali.
Dari hasil lelang album In The Moment, Indra memperoleh 1.850 Matic. Uang kripto sebesar itu setara dengan Rp 40 juta. Di tengah disrupsi digital, Indra merasa nilai tersebut cukuplah besar bagi dirinya sebagai seniman musik.
Berbagi hak
Selain nilai yang besar itu, yang belum tentu ia dapat seketika jika “hanya” memajang lagu di layanan musik streaming (digital streaming provider/DSP), Indra mendapati sejumlah hal menarik mengenai NFT. Baginya, NFT memberi kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mengunggah karyanya, tanpa terlalu banyak pihak yang campur tangan. Profit yang ia peroleh tidak disunat sana-sini.
Empat lagu di album In The Moment itu juga dipajang di gerai DSP seperti Spotify, Deezer, Joox, dan Apple Music. Nah, pembeli NFT-nya berhak atas royalti pemutaran lagu, karena pada dasarnya, pembeli NFT juga pemilik album tersebut—selain penciptanya. Itu tercantum dalam kontrak yang dibuat Indra, sesuai keinginannya. Kontrak produk NFT, kata Indra memang sangat lentur.
Di lokapasar Netra, album In The Moment hanya dijual satu edisi dengan mekanisme lelang. Hingga Kamis (16/6/2022), dia masih belum tahu siapa gerangan yang rela merogoh kocek hingga Rp 40 juta untuk albumnya. “Saya ingin sekali mengetahui siapa yang beli,” katanya setengah terkekeh.
Saat ini, belum terlalu banyak musisi dalam negeri yang memanfaatkan medium NFT ini. Indra menduga, kendalanya bisa jadi pada pemahaman teknisnya. Padahal, menurut dia, keuntungan bergabung di komunitas NFT bagi musisi amat besar, khususnya terkait dengan pembagian royalti yang transparan.
“Masih terlalu dini untuk memberi prediksi terhadap perkembangan NFT ke depan. Tapi, saya berani mengatakan, NFT itu menguntungkan bagi seniman, termasuk pemusik,” kata Indra yang telah menghasilkan puluhan album sejak 1978 ini.
Musisi independen Endah n Rhesa (EaR) juga telah bergabung di komunitas NFT sejak April 2022. Mereka memajang karya di lokapasar Objkt, salah satunya adalah serangkaian ilustrasi sampul album yang diberi titel The Artworks. Tiap sampul album diimbuhi musik yang menggambarkan nuansa album tersebut.
Pengoleksinya memang belum banyak, dan belum menghasilkan profit besar. Tapi bagi duo asal Pamulang, Tangerang Selatan ini, menceburkan diri di jagat kripto adalah cara lain menyebarkan karya mereka. Karya mereka digaungkan di jagat Tezos dengan mata uang Tez.
“Royaltinya bisa otomatis terbagi ke semua pihak yang terlibat dalam karya; seperti aku dan Endah, ilustrator, atau fotografer yang terlibat. Tergantung kita mau membagi ke siapa, itu kita sendiri yang menentukan. Masing-masing penerima royalti juga bisa tahu proporsinya, pokoknya transparan,” kata Rhesa Aditya, pemain bas di duo suami-istri ini.
Mewadahi wacana mengenai seni rupa digital dan teknologi blockchain yang berkembang belakangan ini, Jakarta Gardens berkolaborasi dengan Solana menampilkan pameran NFT sebagai bagian dari Art Jakarta Gardens 2022.
Seni kripto
Akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sudjud Dartanto, saat ini tengah menyelesaikan program studi doktoralnya. Ia menempuh riset terhadap karya seni digital yang diunggah ke metaverse, terutama NFT. “Saya lebih suka membaca karya seni digital itu sebagai seni kripto, bukan karya seni NFT,” ujar Sudjud.
Menurutnya, karya seni NFT semata-mata sebagai karya seni digital teregistrasi atau tercatat di dalam teknologi rantai blok atau blockchain internet. Sedangkan karya seni kripto, lanjutnya, lebih meluas lagi.
Karya seni kripto tidak sekadar tercatat di rantai blok internet, tetapi memiliki peluang pengembangan oleh tiga disiplin; meliputi seniman kripto, disainer, dan ilmuwan pengembang kripto. Di situ tetap ada penggalian masalah finansial secara mandiri.
Sudjud mencontohkan beberapa pengembangan seni kripto sebagai gerakan kepedulian sosial. Karya seni digital di NFT menjadi salah satu fase atau bagian tertentu demi tujuan kemanusiaan berikutnya.
“Di Indonesia masih ada kelompok masyarakat yang ikut-ikutan di NFT. Ini membentuk bubble (gelembung) NFT dengan karya-karya yang sepertinya tidak terkurasi dengan baik,” ujar Sudjud.
Setiap karya seni, entah di jagat nyata maupun maya, sering diperdebatkan tentang kegunaan atau manfaatnya kapan pun juga. Bagi Sudjud, karya seni yang baik selalu memiliki kegunaan atau manfaat yang sudah melekat dengan sendirinya, termasuk ketika diunggah sebagai NFT.
Di saat terjadinya penurunan nilai mata uang kripto seperti sekarang, transaksi NFT mungkin saja surut. Euforia NFT mungkin saja mereda. Karya-karya seni yang diunggah menurun jumlahnya. Akan tetapi, Sudjud melihat rute rencana atau road map NFT justru akan terus berkembang.
Ada tiga hal yang membuat NFT memiliki rute rencana terus berkembang. Pertama, ditunjang teknologi blockchain yang membuat seluruh aktivitas maupun individu di NFT transparan.
Kedua, di dalam teknologi blockchain ada kemudahan untuk melihat jejak karya. Ketiga, NFT menguntungkan bagi seniman atau kreator dengan adanya kesepakatan terkait pendapatan royalti.
“Produk yang bagus akan tetap bertahan di ranah kripto. NFT menjadi momentum penting bagi seniman, bagi kreator, karena di situ terjadi desentralisasi dan divalidasi secara kolektif disertai konsensus yang membuat NFT dipercaya,” ujar Sudjud.
Meski sekarang terjadi kelesuan mata uang kripto, NFT justru berpeluang berkembang. NFT menjadi produk peradaban terkini, dan patut kita rayakan.