Berangkat dari kebutuhan perempuan Batak akan kain yang tipis, ringan, tak panas di badan, Torang Sitorus mereplikasi ulos menjadi kain yang ringan dan nyaman walau dipakai berjam-jam. Terpenting, kain itu tetap marlinan
Oleh
SOELASTRI SOEKIRNO
·5 menit baca
Berangkat dari kebutuhan perempuan Batak akan kain yang tipis, ringan, tak panas di badan, Torang Sitorus mereplikasi ulos menjadi kain yang ringan dan nyaman walau dipakai berjam-jam. Terpenting, kain itu tetap "marhillong", berkilau-kilau sesuai kesukaan perempuan Batak.
Sudah menjadi pengetahuan umum, ulos, kain khas Batak identik dengan kain yang tebal, berat sehingga membuat pemakainya kurang nyaman dan kepanasan. Di tangan desainer kain Torang Sitorus (40), ulos berubah menjadi kain yang ringan, lebih tipis dan nyaman dipakai di badan, serta berkilau-kilau.
Para model tampak nyaman dalam balutan setelan kebaya dengan kain panjang karya Torang di acara The Batak Culture Exhibition: O Tano Batak by Torang Sitorus. Acara pada Kamis (2/6/2022) di Sarinah, Jakarta tersebut menampilkan 20 kain karya Torang. Sebagai padanan, Torang memilih memasangkan kebaya modern yang biasa dipilih para perempuan Batak untuk pengantin perempuan dan para tamu di pernikahan, atau untuk hadir di acara pesta.
Kebaya-kebaya berwarna putih, perak, hijau, merah, ungu, krem merupakan karya perancang busana Dewi Sihombing, Henny Farida, Junot hutabarat dan Nila Mojo yang semua berasal dari Medan. Torang berpendapat, sudah saatnya memanggungkan karya para desainer asal Medan ke warga Jakarta. "Kebaya orang Batak itu berbeda dengan kebaya yang biasa dipakai orang dari luar Batak. Kebaya Batak itu kebaya Perancis,” tutur Torang. Maksudnya, bahannya dari kain brokat Perancis.
Pada pergelaran kemarin ia menampilkan kain dan selendang yang dibuat dengan cara pembuatan berbeda agar orang memahaminya. Separuh kain dibuat dengan teknik tenun gedogan (penenun duduk di lantai dengan mesin tenun berbunyi gedok-gedok saat dipakai untuk menenun) dan kain yang dibuat oleh alat tenun bukan mesin (ATBM).
Kain yang dibuat dengan cara ditenun gedog sudah pasti dibuat secara rumit karena penenun harus menghitung benang-benang yang ditenun sehingga menjadi motif. Hasilnya misalnya, kain berwarna perak, krem, hijauan dan putih. “Kain warna perak, saat ini sedang tren menjadi kain untuk pengantin perempuan,” jelasnya.
Sedangkan kain yang dibuat secara ATBM antara lain yang berwarna ungu dan kemerahan. Meski lebih sederhana, namun tetap saja menenun kain tak bisa dikatakan semudah membuat lembaran kain pabrikan.
Buah ketekunan
Perjalanan kain-kain karya Torang hingga sampai menjadi sehelai kain dengan tetap memiliki motif ciri khas ulos Batak yang populer misalnya tumtuman, berliku-liku. Perlu waktu 20 tahun bagi Torang untuk menemukan formulasi sehingga sampai pada tahapan berhasil mereplikasi ulos.
Awalnya ia sering mendengar keluhan para perempuan Batak yang membutuhkan ulos berbahan ringan dan nyaman di badan. “Biasa ulos itu berat, seperti goni. Berat dan kasar,” tutur Torang yang dihubungi lewat telepon dari Danau Toba, Sumatera Utara pada Selasa (7/6/2022). Faktor itu membuat mereka akhirnya memilih memakai kain tenun dari Palembang yang bahannya lebih ringan dan berkilau.
Kondisi itu merisaukan Torang sehingga mempelajari perihal ulos lebih dalam. Ia juga belajar menenun, bahan yang dipakai penenun sampai manajemen pemasarannya. Demi bisa mendapat pengetahuan lengkap tentang kain tenun, ia melihat ke Indonesia Timur dan daerah lain di Indonesia yang menjadi daerah penghasil kain tenun seperti ulos.
Bertahun-tahun ia mencari formula yang pas, sampai berhasil membuat kain replikasi ulos menjadi kain berwarna-warni, ringan karena dibuat dari benang yang berbahan serat kopro bernama bemberg (bagian serat kapas yang paling dalam) serta memakai pewarna alam. Mayoritas warna kainnya lembut, seperti perak, krem, kehijauan, merah muda, ungu yang sedang tren.
Disayangkan bahan baku untuk benang belum ada di Indonesia, harus impor. Harga seratnya pun mahal mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah per kilogram. Ongkos itu belum termasuk untuk pencelupan warna benang. Ia rela harus mengikuti rangkaian panjang demi mendapatkan benang dari serat kapas itu dengan mengimpor, lalu dipintal menjadi benang di Surabaya. Dari sana benang dikirim ke Yogyakarta untuk mendapat pencelupan warna alam. Tahap akhir, benang dikirim ke Tarutung, Sumatera Utara untuk ditenun menjadi kain-kain cantik.
Untuk membuat replikasi kain ulos Batak ke dalam kain baru, Torang harus mempelajari kain ulos usia seratusan tahun agar bisa meniru motif yang dituangkan ke kain yang baru. “Saya harus bekerja sama dengan penenun muda, sebab susah sekali bila mengajak penenun senior. Mereka merasa lebih tahu soal membuat kain daripada kami,” jelasnya. Hasil pembelajaran berbuah penciptaan kain-kain baru dengan motif lama namun dengan bahan lebih ringan berupa serat kapas dan sutera, tidak kaku sehingga nyaman di badan.
Meski orang Batak umumnya sulit menerima hal baru berkait dengan kain adat, namun upaya pemuda asal Tarutung mengenalkan kain baru itu tak menemui hambatan. Torang mengaku ia mengenalkan hasil karyanya secara bertahap. “Saya mengenalkannya pelan-pelan, bertahap lewat Instagram. Semacam edukasi kepada orang Batak. Mereka mau menerima bahkan sangat banyak yang pesan,” ujarnya.
Dengan membuat kain lama menjadi versi dan bahan baru, bukan berarti ia meninggalkan ulos asli Batak. Untuk acara adat, ia tetap memproduksi ulos tetapi memakai pewarna alam. Ada warna muda tetapi ada juga yang berwarna terang seperti yang biasa orang pakai selama ini.
Ketekunan Torang terbayar. Perempuan Batak senang memakai kain yang ringan dan nyaman di badan tanpa meninggalkan corak khas Batak yang menjadi budaya mereka, perajin kain ikut menikmati hasil antusiasme tinggi pembeli karyanya.