Selisik di Balik Sensasi NFT
Santernya obrolan terkait aset kripto hingga NFT mungkin masih terasa agak misterius bagi banyak orang. Dari potensi hingga kritik terhadap NFT menjadi penting untuk dibahas.
Ragam istilah seperti blockchain, aset kripto, hingga NFT belakangan santer diperbincangkan dengan kabar valuasi yang fantastis: ‘... tembus Rp 980 juta’, ‘...terjual dengan nilai Rp 1 triliun’, bahkan ‘... laku Rp 13 miliar’.
Benda-benda asing itu bukannya terlarang. Aset seperti Bitcoin dan kawan-kawannya memang tidak diakui sebagai alat pembayaran di Indonesia. Namun, benda virtual ini dapat diperjualkan sebagai komoditi berjangka seperti yang telah diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Penjualan NFT pun kini berpajak. Kementerian Keuangan telah meneken peraturan tentang pajak pertambahan nilai dan transaksi aset kripto pada Maret 2022.
Meski demikian, bukankah kripto, bitcoin, dan NFT, masih terasa agak misterius bagi banyak orang? Hal ini bisa jadi karena tingkat teknikalitas teknologi yang mendasarinya terbilang kompleks dan penuh jargon.
Dalam tulisan ini, Kompas berkeinginan untuk turut membantu pembaca memutuskan partisipasinya dalam perjalanan awal teknologi yang masih belia ini, melalui membedah potensi dan kritik terhadap NFT.
Berikut adalah tulisan pembuka dari rangkaian artikel tentang NFT: dimulai dari teknologi blockchain, hingga kelak pada edisi berikutnya mengulas beragam bidang yang terimbas keberadaan NFT, seperti bidang seni, hak cipta, hingga problem bawaan seperti emisi karbon dan pencurian karya cipta.
Apa sih kripto itu?
Istilah kripto yang saat ini sering terdengar adalah kependekan dari cryptocurrency atau mata uang kripto. Namun kini, kripto dipakai untuk mengacu ke segala teknologi yang berkaitan dengan blockchain.
Blockchain adalah teknologi yang menjadi dasar bitcoin, ether, dan NFT.
Nah memangnya, blockchain itu apa sih?
Blockchain bisa dibilang adalah buku catatan transaksi yang terdistribusi.
Pengajar ilmu komputer Institut Teknologi Bandung Budi Rahardjo menganalogikan kepada Kompas beberapa waktu lalu, blockchain bekerja dengan cara seperti sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di mana setiap pemilih juga mencatat hasil suara.
Dalam konteks blockchain, setiap transaksi mata uang kripto akan dicatat pada jaringan ribuan komputer di seluruh dunia yang juga akan memvalidasi setiap transaksi.
Alhasil, orang yang tidak memiliki akses sah, tidak bisa memanipulasi informasi yang ada, karena datanya tersimpan dan terdistribusi di ribuan ‘buku catatan’. Selain itu, buku catatan ini bersifat publik, di mana setiap orang bisa melihatnya.
Nah, selain transaksi aset kripto seperti bitcoin dan ether, status kepemilikan setiap aset NFT memiliki catatannya di blockchain.
Dengan demikian, setiap aset NFT memiliki catatan unik di blockchain. Dengan pencatatan ini, setiap aset NFT bisa dilihat kepemilikannya dan juga terdeteksi apabila berpindah-tangan.
NFT itu gimana sih? Kenapa file gambar JPG bisa sampai miliaran rupiah harganya?
Pertama-tama, NFT tidak selalu berbentuk file gambar.
Memang, dua contoh besar kesuksesan penjualan NFT, seperti kolase karya Beeple (yang terjual dengan harga 69 juta dollar atau sekitar Rp 1 triliun), dan kumpulan foto swafoto milik Ghozali (mencapai Rp 13 miliar). Keduanya adalah file gambar.
Aset NFT bukan berarti file gambar JPG-nya tidak bisa digandakan. Hal yang tidak bisa digandakan adalah rekaman catatan yang ada di blockchain.
“NFT mungkin bisa dianalogikan sebagai sertifikat keaslian yang Anda dapat ketika membeli sebuah patung mahal, misalnya. Patung itu memang bisa ditiru atau digandakan, tetapi karena punya sertifikatnya, Anda bisa membuktikan kalau Anda adalah pemilik aslinya,” jelas kolumnis teknologi New York Times, Kevin Roose.
NFT pada dasarnya adalah sebuah cara untuk mengklaim kepemilikan suatu benda digital. Kemampuan untuk meng-copy dan mem-paste membuat konsep scarcity atau kelangkaan menjadi semacam hal yang agak mustahil di dunia digital.
Konsep kelangkaan terhadap aset digital inilah yang membuat harganya bisa melambung. Seperti halnya di dunia nyata, barang yang langka biasanya memiliki harga yang mahal.
Dengan NFT, seorang seniman, bisa menciptakan karya seni — baik itu visual maupun audio — yang langka secara digital.
Dengan harga yang tinggi ini, apakah NFT cocok sebagai instrumen investasi? Apa yang bisa memastikan harga NFT tetap tinggi?
Tidak ada yang bisa memberi garansi harga NFT dan nilai aset kripto. Semua tergantung mekanisme pasar; makin tinggi minat dan permintaan, makin tinggi pula harganya.
Namun kini, pasar NFT dan aset kripto pun sedang melandai. Dalam sebulan terakhir, volume penjualan NFT Ethereum di platform NFT terbesar, OpenSea, telah turun sebesar 68,4 persen, menurut firma pelacak pasar NFT, DappRadar.
Rerata harga jual NFT di sejumlah platform pun menurun, berdasarkan data dari DappRadar. Di platform BloctoBay misalnya, harga jual NFT telah turun 66 persen menjadi setara 51,64 dollar AS.
Ini menunjukkan iklim pasar NFT yang mendingin.
Terus, apakah artinya NFT ini sekadar hype dan enggak ada gunanya?
Bukan gitu juga. Di dunia nyata, orang juga mengoleksi benda-benda yang mungkin tidak memiliki nilai praktikal; terkadang untuk sekadar pamer dan prestise.
Lukisan, misalnya, juga merupakan benda yang dibeli hanya karena selera dan prestise.
“Kenapa sih beli lukisan? Kan, cuma kosek-kosek gitu aja. Karena apa? Satu, kalau kita suka sesuatu, ya kita beli. Kedua, saya juga bisa banggain ke orang. Saya punya foto itu tuh. Beli berapa harganya? 300 juta tuh. Bangga-banggaan,” kata Budi.
Apabila ingat beberapa tahun lalu, orang Indonesia pun rela merogoh uang jutaan rupiah untuk sebuah kartu sim ponsel dengan ‘nomor cantik’. Kompas pada 12 Desember 1999 pernah memberitakan bahwa penjual di Roxy Mas, Jakarta, mengklaim nomor cantik ponsel bisa laku hingga Rp 650 juta.
Meski demikian, dengan mendinginnya pasar, pemanfaatan NFT sudah mulai bergerak ke fungsi ‘utility’ atau kegunaan. Misalnya, NFT dijadikan sebagai tiket konser atau kegiatan tertentu.
Bahkan sejumlah platform NFT musik seperti Royal dan Opulous memungkinkan fans yang membeli NFT dari musisi kegemaran mereka turut mendapatkan bagian royalti. Hal ini dimungkinkan melalui sebuah smart contract yang terprogram pada kode setiap aset.
Bagi fans untuk dengan mudah turut mendapatkan bagian royalti dari seorang musisi sebelumnya tidak mudah dilakukan, namun dengan NFT hal ini dapat dimungkinkan.
Selain itu, NFT sepertinya kerap disebut bersandingan dengan metaverse. Apa hubungannya?
Teknologi NFT memungkinkan sebuah aset gambar kartun binatang yang Anda beli, bisa Anda gunakan sebagai avatar di aplikasi metaverse.
Ini adalah sifat interoperable, ujar Roose. NFT dagangan Anda di OpenSea pun bisa Anda pindahkan ke platform lain. Hal ini karena NFT milik Anda tidak berada di OpenSea, tetapi di dompet digital Anda.
Hal ini yang membedakan teknologi berbasis blockchain yang terdesentralisasi dengan platform tersentralisasi pada umumnya.
Jika Anda mengunggah video ke Youtube, video akan tersimpan di server mereka. Dan Youtube berhak melakukan apa saja terhadap video itu; menentukan apakah video tersebut dapat iklan atau tidak, apakah video itu dianggap melanggar aturan, dan lain-lain.
“Tetapi, di sisi lain, NFT ‘tinggal’ di dompet pemiliknya masing-masing; tidak terikat di platform manapun, dan pemiliknya bisa menggunakannya terserah mereka,” kata Roose.
NFT memang menjanjikan banyak hal menarik di masa depan. Namun, apakah kegunaan potensialnya dapat melampaui berbagai kritik di masa sekarang, itu yang menjadi pertanyaan besar.
Oleh karena itu, hanya kita sendiri yang bisa menentukan signifikansi NFT; apakah penting atau berguna bagi kita.