Sejumput ”Surga” Jatuh ke Tengah Sawah
Belakangan ini dunia pariwisata di Tanah Air banyak digerakkan dari sawah. Pesona sawah dan citra kampung sedang laku dijual.
Surati (43) seperti supermodel. Nyaris semua pengunjung tempat wisata sawah Svargabumi di dekat Candi Borobudur yang melintas di dekatnya selalu memotret dia. Wajah legamnya tertutup bayangan caping meski sesekali terlihat senyum Surati seraya menanam bibit padi. Ini salah satu potret masa kini. Dunia turisme di Tanah Air berkembang dari sawah.
Tengoklah Svargabhumi di Magelang, Jawa Tengah. Sejak 2019 hingga sekarang, pengelolanya berhasil menyulap 3 hektar sawah sewaan menjadi tempat wisata bagi mereka yang senang selfie. Svargabhumi menyodorkan lokasi berfoto lengkap dengan tempat duduk aneka bentuk di tengah sawah. Seperti sejumput surga yang jatuh ke tengah sawah.
Pengunjung bisa menyewa jasa fotografer dari warga setempat yang sudah dilatih untuk memperoleh foto paling cantik untuk dibagikan di media sosial. Tidak jauh dari situ, ada 25 hingga 30 keluarga, yang tanah sawahnya disewa oleh Svargahumi, menyodorkan aneka kuliner dan cendera mata di warung yang disediakan pengelola.
Kalau sudah bosan di situ, pengunjung bisa ikut wisata keliling kampung di sekitar Candi Borobudur. Di salah satu paket wisata, pengunjung diajak menikmati menu ikan beong, ikan endemik Kali Progo. Warga pun menyediakan puluhan mobil antik VW Safari. Dari semua tawaran itu, aktivitas yang paling menonjol ialah saling berpotret. Memang ada pengunjung yang memiliki tujuan selain swafoto, seperti Yendie (67), seorang pehobi fotografi asal Jakarta. Ia datang untuk menikmati hijaunya sawah dan senja.
Svargabumi berada di gugusan lereng pegunungan Menoreh di Magelang. Ternyata tempat wisata sejenis ini merebak di sepanjang jalur lereng Menoreh ke selatan, memasuki wilayah Kulon Progo, seperti Nanggulan. Di sana hadir tempat wisata sawah Geblek Pari yang idenya datang lebih awal, yakni pada 2017. Dari situ berkembang wisata sawah lain, seperti Mahaloka yang mirip wisata di Svargabumi.
Ngatinah (65), pengelola Geblek Pari, mengisahkan rumah makan dengan menu khas Nanggulan di pinggir sawah lereng Menoreh. ”Ketika makan geblek, bisa sambil menikmati pari (padi). Itulah makna dari nama Geblek Pari,” ujar Ngatinah, yang juga menyebutkan lokasi itu menjadi tujuan istirahat para pesepeda dan pernah disinggahi beberapa artis, seperti Luna Maya.
Pengelola rumah makan Geblek Pari di Nanggulan juga mengembangkan di tempat serupa di sekitarnya. Satu di antaranya Pariboro Kalibawang, rumah makan di tengah hamparan sawah yang kala itu sedang panen.
Di Bogor, Jawa Barat, tempat wisata yang mengandalkan keelokan sawah juga marak. Di Bojong Koneng, Babakan Madang, terdapat restoran Sawah Segar yang dibuka 17 Agustus 2020, juga mengandalkan sawah dan padi sebagai daya tarik utama. Kampung Tematik Mulyaharja, Bogor, didirikan tahun 2021 juga mengandalkan pesona wisata sawah.
Simulakra sawah
Sawah yang memesona di lokasi wisata dan paket jalan-jalan menikmati kehidupan di desa secara sekelebatan sesungguhnya merupakan hasil simulasi industri pariwisata. Ini adalah realitas hasil polesan yang terlepas dari realitas yang sesungguhnya. Seolah-olah hidup di desa serba indah dan petani datang ke sawah selalu dengan perasaan bahagia. Realitas semu itu lantas ditangkap kamera, diutak-atik hasilnya agar lebih indah, dan diunggah ke media sosial sebagai realitas-realitas gadungan yang baru.
Pengajar filsafat Universitas Indonesia (UI), Saras Dewi, mengatakan, realitas semu itu menciptakan etalase kehidupan di media sosial tanpa logika, renungan, dan makna mendalam. Masalahnya, realitas semu di media sosial ini dianggap ”mewakili” realitas yang sesungguhnya. Apalagi, realitas-realitas semu itu hadir dalam jumlah banyak dan berkelebat cepat di media sosial. Pada titik ini, manusia kehilangan eksistensinya dan terjebak di dunia simulakra, sebuah dunia imajiner yang dikonstruksikan oleh kepentingan pemodal untuk menggenjot konsumerisme.
Meski begitu, menurut Sarah, tetap ada harapan baik dari simulasi sawah dan kehidupan desa, yakni praktik ini menghidupkan ekosistem. Sawah yang dihadirkan para pelaku pariwisata mungkin sekadar dekorasi. Namun, sawah di sana juga bisa menawarkan nilai kehidupan pada pelancong.
Hal ini bisa kita pada Surati di Svargabumi, Rabu (1/6/2022) yang memberikan edukasi saat menanam padi pada pelancong. Suatu ketika, Surati menepi dari petak sawah. Ia mengambil segepok tumpukan benih padi yang tergeletak di situ. Tangan kanan Surati memegang erat bagian ujung bibit padi dan memutarnya hingga terpangkas.
Ada pemotret di dekatnya yang kemudian bertanya, “Mengapa harus dipotong?” Supaya padi bisa tumbuh, Jawab Surati, lantas menjelaskan kepada pengunjung tentang cara-cara menanam bibit tanaman padi.
“Daun pucuk bibit tanaman padi yang saya potong ini justru membuat padi itu tumbuh, tidak mati,” ujar Surati, petani penggarap yang dipekerjakan sejak Svargabumi didirikan.
Mungkin saja Surati menjadi bagian dunia simulakra sawah dengan arus informasi yang miskin makna dan kedalaman. Akan tetapi, Surati justru mempertahankan dan mengisi dunia makna dari sawah itu sendiri. Bibit padi sebelum ditanam, diberi luka di ujung titik tumbuhnya. Luka tidak akan mematikannya. Luka justru menciptakan daya hidup yang lebih kuat. Inilah dunia makna kehidupan dari Surati di petak sawahnya.
Di sebelah petak sawah padi yang sedang ditanami Surati, terlihat Damri (42). Ia menggarisi tanah sawah sebagai acuan tanam padi untuk Surati. Seperti halnya Surati, Damri cukup fasih soal padi, karena itulah ia ditunjuk sebagai penanggung jawab pertanian svargabumi.
“Pengunjung di sini bisa menikmati tiga pola tanam padi. Seperti saat ini ada yang sedang ditanam, tumbuh remaja, dan mulai menguning menjelang masa panen,” ujar Damri, yang mempekerjakan 10 – 15 petani penggarap.
Jenis padi yang ditanam yaitu Impari, IR 64, dan Madras padi hitam asal India. Di lahan sawah kontrakan tiga hektar itu Damri membentuk berbagai cetakan tanam padi. Pagi itu terlihat ada cetakan berbentuk matahari di area terdepan. Di kejauhan tampak padi madras yang kehitam-hitaman memberi keindahan tersendiri.
Olahraga dan edukasi
Dunia makna juga bisa diraih di tempat wisata sawah lainnya. Di antaranya tawaran untuk berolahraga dan edukasi tentang alam dari wisata sawah di agrowisata Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, seluas 23 hektar.
“Di akhir pekan, tempat ini biasa dikunjungi sampai 500 orang per hari,” ujar Manajer Operasional Kampung Tematik Mulyaharja Kifin Ramadan, Jumat. Bahkan, jika libur panjang jumlah konsumen bisa mencapai 1.000 orang per hari.
Jalan setapak dari kayu terlihat membelah persawahan di Kampung Tematik Mulyaharja. Beberapa wisatawan berswafoto dengan latar belakang padi rimbun yang hijau. Sejumlah konsumen asyik berbincang di saung-saung seraya menyantap nasi dan lauk-pauk.
Di Bojong Koneng, Babakan Madang, Bogor, restoran Sawah Segar juga mengandalkan panorama sawah. Di sekitar bangunan untuk restoran itu terdapat sawah seluas 2.000 meter persegi. Di situ dilengkapi bebegig atau orang-orangan sawah serta ranggon untuk mengusir burung-burung pemakan padi.
Selain menikmati makanan, pengunjung juga menikmati pemandangan hamparan sawah. Udara di sana sejuk, pemandangannya hijau dan asri. Mereka umumnya datang dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Mereka terpesona dengan sawah padi. Sebagian antusias mencoba paket turun ke sawah atau menangkap ikan. Mereka merasakan sensasi ketika kaki mereka melesak ke dalam lumpur.
Tahun 2009, Suharno, pemilik rumah makan Sawah Segar membeli lahan ini seluas 2.000 meter persegi. Dia tidak terpikir untuk usaha rumah makan seperti sekarang ini. Waktu itu, ia hanya membayangkan saat pensiun bisa hidup tenang di tanah ini, menanam padi, pelihara ikan, dan menanam sayuran. ”Kayaknya indah, ya,” katanya.
Memang indah. Suharno dan orang-orang yang telah berwisata ke sawah itu telah menikmati keindahan sejumput surga yang seolah-olah jatuh ke sawah.