Siraman Cinta untuk Warga Senior
Merawat warga senior memang tidak mudah. Selain perlu tenaga ekstra, emosi pun kerap ikut terkuras. Dengan cinta dan kesiapan yang matang, warga senior akan tetap berdaya di usia senja.
Merawat warga senior memang tidak mudah. Selain perlu tenaga ekstra, emosi pun kerap ikut terkuras. Dengan cinta dan kesiapan yang matang, warga senior akan tetap berdaya di usia senja.
Rabu (25/5/2022) pagi matahari bersinar hangat. Aria Sankhyaadi (35) bersiap melakukan rutinitas yang telah dilakoninya sejak dua bulan terakhir: mengajak sang papa, pelukis Sri Warso Wahono (74), berkeliling kompleks di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, dengan kursi rodanya.
Hari itu sang papa bersemangat. Rautnya semringah. Sejak semalam dia sudah diberi tahu akan ada yang mengunjunginya. ”Saat ini dia butuh teman ngobrol. Pasca-sakit ini memang nanyain terus, teman-temanmu enggak ke sini tho Le? Atau teman-temanku enggak ada yang nelepontho le?” ujar Aria menirukan pertanyaan Sri.
Februari lalu, Sri terpapar Covid-19 dan dirawat intensif di rumah sakit. Selama masa itu pula, Aria yang merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara telaten menemani dan turut merawat sang papa hingga berhasil melewati masa kritisnya.
Semua itu merupakan bagian dari dedikasi Aria yang telah dilakoninya sejak 10 tahun lalu. Aria yang sebelumnya tak terlalu peduli dengan sang papa, termasuk aktivitasnya sebagai pelukis, diingatkan teman sang papa yang kebetulan dosennya di kampus. ”Bapak itu senenglho kalau anaknya nengokin pas pameran,” kata Aria menirukan sang dosen.
Kata-kata itu menjadi titik balik bagi Aria. Dia yang kala itu tak dekat dengan Sri, disadarkan untuk mulai memperhatikan sang papa. Dia pun mulai kerap menyambangi pameran Sri, terlibat dalam aktivitas kepelukisan Sri.
Keduanya makin dekat. Selain sang mama, serta kedua keluarga kakak yang tinggal bersebelahan dan turut serta merawat sang papa, Aria adalah tumpuan Sri. Sedikit banyak, Arialah yang mengurus kebutuhan Sri.
Keberhasilan Sri lolos dari cengkeraman Covid-19 makin membuat Aria tak mau kehilangan momen berharga dengan sang papa. ”Seorang teman mengingatkan, Papa kan kayak dikasih bonus, jadi lakukan yang terbaik, bikin dia bahagia,” kata Aria.
Aria pun makin intens merawat sang papa yang kini dalam masa pemulihan. Sebagian tugas dibagi bersama mama serta kedua kakaknya. Bagaimanapun masing-masing anak memiliki kehidupan pribadi. Aria yang kebetulan masih lajang lebih banyak mengambil peran. Saat ini, prioritasnya adalah sang papa. Mencari pasangan masih bisa menunggu.
”Bangun tidur nengokin, ajak ngobrol tanya mau sarapan apa. Mandiin juga. Selalu monitoring intinya. Abis itu ajak muter kompleks atau muter Jakarta buat cari inspirasi. Bangun tidur siang aku mondar-mandir tengokin lagi. Malamnya sebelum tidur ajak ngobrol juga,” kata Aria.
Pelan-pelan dia mengajak Sri melukis untuk mengembalikan kondisi kesehatannya. Saat ini Sri sudah mulai terkena sindrom ingatan pendek seperti kisah di film Finding Dory. Aria lebih banyak menyikapinya dengan bercanda untuk mengelola kesedihannya sendiri. ”Pokoknya aku ingin membuat Papa bahagia di usia-usia terakhirnya,” kata Aria.
Alzheimer dan dimensia
Aria hanyalah satu dari sekian banyak anak-anak yang mendedikasikan diri untuk merawat orangtuanya yang telah menjadi bagian warga senior dan perlu perhatian serius. Data BPS menunjukkan, pada 2021 sebanyak 42,22 persen orang lanjut usia (lansia) pernah mengalami keluhan kesehatan, separuh di antaranya (22,48 persen) terganggu aktivitasnya sehari-hari atau sakit.
Pengalaman merawat warga senior yang menderita alzheimer dialami oleh sutradara film Indra Gunawan. Mendiang ayahnya menderita alzheimer seusai mengalami serangan stroke. Sejak itu kemampuan berpikir, mengingat, dan berkomunikasinya terus berkurang hingga wafat pada usia 65 tahun.
Pengalaman itu digunakan oleh Indra untuk mengarahkan para pemain film Pelangi Tanpa Warna yang disutradarainya, berkisah tentang penderita alzheimer. Sejumlah adegan di film itu berangkat dari kejadian nyata yang dialami Indra, seperti saat si karakter utama kehilangan orientasi dan lupa jalan pulang.
”Dulu ayah sempat hilang karena lupa jalan pulang. Beberapa kali berhasil pulang diantar orang yang kebetulan mengenali. Pernah satu kali pulang dalam kondisi luka di kepala karena katanya terjatuh. Tapi saat ditanya jatuhnya di mana beliau tidak ingat,” ujar Indra.
Sebagai antisipasi, Indra membuat kartu kecil berisi informasi singkat tentang kondisi bapaknya serta alamat rumah. Kartu itu dimasukkan ke dalam dompet di saku sang bapak. Hal itu juga digambarkan dalam adegan film Pelangi Tanpa Warna.
Bersama seluruh keluarga, Indra saling bantu merawat sang ayah. Selain tidak lagi mampu mengingat, ayah Indra juga tidak bisa lagi mengontrol sebagian fungsi tubuhnya. ”Yang paling berat lebih ke soal perasaan, ya. Walau paham bapak sudah kondisi pikun seperti itu tetap saja kami sedih ketika bapak bolak-balik bertanya, kamu siapa ke anak-anaknya,” ujar Indra.
Jasmin Jasin (55), pendiri sekaligus Kepala Sekolah Dasar (SD) Gemala Ananda, Jakarta, saat ini tengah berjuang merawat sang ibu yang mengalami dimensia. Kondisi ingatan sang ibu menurun seusai terkena stroke dua tahun lalu pada usia 92 tahun.
”Saat itu pandemi masih tinggi-tingginya. Karena khawatir, kami sekeluarga sepakat merawat sendiri. Sebelumnya ada perawat. Saya jadi paham, ternyata enggak gampang menjadi perawat, apalagi bagi orang lanjut usia,” ujar Jasmin.
Sebelum terkena stroke, sang ibu masih sangat aktif. Dia bahkan meminta agar diberi tanggung jawab memasak sehari-hari lantaran ingin terus merasa dibutuhkan dan berguna bagi keluarga. Pada usia 85 tahun, sang ibu pun masih kuat ”mendaki” Candi Borobudur.
Tanda-tanda sang ibu mulai mengalami dimensia mulai tampak sejak usianya menginjak 90 tahun. Sang ibu kerap kehilangan orientasi dan lupa waktu. Terkadang dia tidak mengenalinya atau mengenalnya sebagai orang lain, seperti mendiang adiknya, atau keponakan, kenalannya. Jika hal itu terjadi, Jasmin terbiasa membiarkan dan mengikuti saja percakapan sang ibu.
Beruntung, Jasmin banyak mendapat masukan dari rekan-rekan, kerabat, dan kenalannya. Ia juga terbantu buku Ketika Ibu Melupakanku karya DY Suharya, berisi pengalaman penulis dan ibunya yang dimensia.
Dari situ dia paham jika penderita dimensia hanya perlu didengarkan dan bukan dibantah atau diluruskan saat ingatannya menurun. Kisah warga senior yang menderita dimensia, salah satunya diangkat di film Cinta Pertama, Kedua dan Ketiga.
Masih aktif
Tak hanya merawat warga senior yang sakit, merawat warga senior yang masih sangat aktif pun memiliki tantangan tersendiri, seperti yang dialami Eka Putri Duta Sari (33), putra sulung Seto Mulyadi (71) alias Kak Seto. Putri mengaku kerap lupa ayahnya sudah berusia lanjut karena sang ayah masih sibuk berkarya, fisiknya masih tampak prima. Di akun media sosialnya, Kak Seto sering memeragakan aktivitas fisik berlari ataupun melompat-lompat.
”Memang kami anak-anaknya sering mengingatkan beliau agar sedikit mengurangi kesibukannya. Tapi, kadang kami juga suka lupa kalau beliau sudah lebih dari 70 tahun. Kami bersyukur beliau sehat, kalaupun sakit sebatas masuk angin,” ujar Minuk.
Banyak orang, termasuk keluarga dekat, meminta Minuk mengingatkan ayahnya agar tidak terlalu banyak berlari dan melompat-lompat. Namun, menurut dia, kebiasaan selalu bergerak aktif seperti itu sulit dihilangkan.
Kak Seto mengaku pernah ”disidang” oleh anak-anaknya lantaran beberapa waktu lalu kakinya keseleo saat lari dan melompat-lompat. ”Kalau dengan seluruh anggota keluarga namanya ’Sidang Umum MPR’. Tapi kalau yang dibahas hanya antara saya dan istri namanya ’sidang kabinet terbatas’, ha-ha-ha,” ujar Kak Seto terbahak.
Dosen Psikologi Lanjut Usia Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lathifah Hanum, menjelaskan, anak-anak yang merawat warga senior sejak awal memang harus siap merawat. ”Siap waktu, finansial, tenaga. Apabila hanya mampu secara finansial tapi tenaga tidak ada, bisa sewa perawat yang bagus. Tapi, kalau finansial tidak terlalu bagus tapi punya tenaga dan waktu, silakan. Jadi sesuai kemampuan,” ujar Hanum.
Untuk warga senior yang memiliki penyakit, seperti alzheimer dan dimensia, kesiapan anak sebagai perawat perlu ditinjau kembali. Akan lebih baik jika perawatan dilakukan bersama. ”Jadi, kalau punya anak tiga, ya, tiga-tiganya terlibat. Tapi, kalau hanya punya anak tunggal, perlu mencari bantuan, termasuk perawat profesional,” kata Hanum.
Bagi warga senior yang masih sehat, prinsipnya, mereka harus didorong untuk mandiri sesuai kondisinya. Anak-anaknya hanya perlu mendampingi dan mengawasi. Larangan justru membuat mereka tidak berdaya.
”Supaya mereka tetap merasa berdaya, bermanfaat, biarkan mereka tetap beraktivitas, lalu dorong mereka untuk punya koneksi, relasi dengan orang-orang seumurannya. Bagaimanapun mereka butuh bergaul tidak hanya dengan keluarga,” kata Hanum.
Mari, sirami warga senior dengan cinta.