Saya Tidak Tua, tetapi Senior
Menjadi orang berusia tua bukan berarti berdiam saja di rumah dan merasa kesepian. Makanya, Au Bintoro kurang suka dengan istilah lansia, manula, atau jompo. ”Saya lebih senang disebut warga senior.”
Bagaimana warga senior menjalani hidupnya? Sebagian berkutat dengan penyakit, bergantung pada anak, dan meratapi masa tua yang sepi. Sebagian lagi tetap produktif, sehat, mandiri, gaul, dan masih terobsesi mengejar citra kemudaan. Inilah potret warga senior yang memperjuangkan sendiri masa tuanya karena negara belum tentu hadir.
Usia Au bintoro sudah 70 tahun. Tetapi, secara fisik ia tampak 20-30-an tahun lebih muda dari usianya. Otot lengannya besar dan kencang. Dadanya bidang. Perutnya rata dengan garis-garis kotak membayang. Semua itu buah dari kegiatan gim yang rutin dilakukan setiap hari selama dua tahun pandemi.
”Sebelum pandemi, saya rajin jalan kaki, kadang main golf. Saat pandemi, saya ngegimaja di rumah. Ternyata ngegim membuat bentuk tubuh saya lebih keren,” ujarnya pada pertengahan Februari 2022 di rumahnya di kawasan Bogor, Jawa Barat.
Siang itu, ia berlatih mengencangkan otot dada, perut, dan bahu di bawah bimbingan pelatih. Ia mengangkat barbel puluhan kilo, latihan chest press, shoulder press, dan lainnya. Keringat merembes di sekujur tubuhnya membuat kulitnya yang terang tampak mengilat.
Di sekitar Au, dua asisten mengambil video saat Au latihan. Video-video itu nantinya diunggah di akun Youtube YOLD Indonesia milik Au. Di akun itu, netizen bisa melihat Au memamerkan kekuatan fisiknya, mulai dari pull up puluhan kali, mengangkat barbel, menarik ban raksasa dengan rantai, hingga adu panco dengan anak muda.
Au sengaja mengunggah kegiatannya di media sosial agar ia tetap bisa eksis di lingkungan sosialnya. Selain itu, ia juga ingin menjadi inspirasi bagi warga senior lainnya agar menikmati hidup dengan sehat dan bahagia. Dia melangkah lebih jauh dengan mendeklarasikan komunitas YOLD Indonesia.
YOLD adalah akronim dari frase young old yang terjemahan bebasnya kira-kira orang tua yang tetap muda. Istilah ini secara umum dipakai untuk menyebut generasi baby boomer yang lahir setelah Perang Dunia II dan sekarang berusia 65 tahun ke atas. Alih-alih pensiun dan momong cucu di rumah, mereka memilih tetap bekerja, beraktivitas, dan eksis secara sosial.
Kesadaran untuk menjadi yold menguat terutama di negara-negara maju seiring semakin panjangnya usia harapan hidup dan meningkatnya kualitas hidup. Di Indonesia, gerakan yold mungkin belum populer, tetapi kita dengan mudah menemukan sosok warga senior serupa yold di kota-kota besar.
Potret serupa bisa kita temukan pada diri Ratna Riantiarno. Di usianya yang ke-70 tahun ini, dia masih aktif tampil di dunia teater bersama Teater Koma. Dia disiplin menjalani latihan, termasuk menghapal naskah. Tidak beratkah untuk orang seusianya?
”Bagi saya, berteater itu berolah tubuh, berolahraga, dan selalu membahagiakan. Pekerjaan menghapal naskah, tidak lagi sekadar menghapal, tetapi juga membuat kata-kata di dalam naskah menjadi milik kita,” ujar Ratna, Kamis (26/5/2022), di Jakarta.
Ia juga mengurus banyak pekerjaan di belakang panggung, mulai dari mencari sponsor, menggaet penonton, hingga menghidupi para pemain Teater Koma. Agar tetap bugar, ia menjalani olah tubuh, bergerak mengikuti rasa dan emosi.
Tidak terasa, Teater Koma berhasil mementaskan pertunjukan ratusan kali dalam 45 tahun yang disaksikan banyak penonton. ”Di usia 70 tahun sekarang ini, saya masih merindukan apresiasi penonton teater yang lebih banyak lagi,” ujar Ratna, yang tidak pernah tidur siang.
Ratna mengatakan, dirinya merasa bahagia ketika perannya masih dibutuhkan dan tenaganya terpakai. Kebahagiaan itu sederhana saja buatnya.
Potret lain bisa kita temukan pada diri Agnes Sutanto. Pada usianya yang ke-60 tahun ini, ia masih tetap bekerja sebagai perancang perhiasan. Dia juga rajin olahraga pilates, zumba, dan core endurance sehingga badannya tampak singset. Sesekali ia masih jadi model kebaya, ikut kelas menyanyi dan mindfulness, serta ikut hiking ke daerah Puncak. Tidak ketinggalan ia mempelajari Al Kitab setiap pagi dan terlibat dalam aneka kegiatan sosial dan budaya.
”Saya ingin kehidupan yang seimbang di masa tua. Dulu waktu muda, waktu habis untuk anak dan pekerjaan,” ujarnya.
Di tempat lain, Mardonius Wakiman alias Jayeng tetap aktif, bahkan super-aktif, di usianya yang ke-73. Setelah pensiun dari sebuah perusahaan penerbitan sekitar 13 tahun yang lalu, ia tetap bekerja membantu istrinya berjualan nasi dan lauk pauk di garasi rumahnya di Petukangan, Jakarta Selatan. Ia mandiri, ke mana-mana naik sepeda motor atau angkutan umum sendiri. Tubuhnya sehat dan masih mampu badminton bersama teman-temannya selama dua kali sepekan.
”Pernah istri teman saya meminta saya berhenti main badminton supaya suaminya yang sudah tua juga berhenti main. Takut serangan jantung. Lha, kalau enggak olahraga saya malah bingung. Kalau memang sudah saatnya mati, sambil duduk atau jalan pun bisa. Ha-ha-ha,” tutur Jayeng yang sering berkumpul bersama teman-temannya sesama warga senior dan pergi berwisata kuliner ke sejumlah daerah.
Meski gaya hidupnya sederhana, Jayeng mengatakan, masa tuanya mewah. Ia bisa hidup dengan uang pensiun, sehat, dan banyak tertawa. Setiap hari bisa leha-leha di kursi nonton berita dan sinetron.
Makna menua
Bagaimanapun, masa tua tidak bisa dihindari. Dia datang dengan pasti. Yang akan membedakan adalah bagaimana orang memaknai masa tuanya. ”Usia buat saya sekadar angka yang menggambarkan sudah berapa lama saya hidup,” ujar Au.
Agar masa tuanya bermakna, ia berjuang agar tubuhnya tetap sehat. Dengan sehat, ia bisa tetap bekerja dan beraktivitas seperti orang-orang yang lebih muda. ”Saya tidak berpikir untuk pensiun atau istirahat saat berusia 60 tahun, misalnya. Begitu saya berpikir istirahat, ya, sudah (hidup saya) cuma sampai di situ,” ujar pendiri perusahaan mebel Olympic ini.
Au menegaskan, lewat komunitas YOLD Indonesia, ia ingin melawan stereotipe bahwa orang berusia lanjut itu sakit-sakitan, renta, kolot, bergantung, kesepian, dan dianggap sudah habis. Menjadi orang berusia tua bukan berarti berdiam saja di rumah dan merasa kesepian. Makanya, Au kurang suka dengan istilah lansia, manula, atau jompo.
”Saya lebih senang disebut warga senior. Saya tidak tua, tetapi senior ha-ha-ha,” tambah Au yang menyeimbangkan hidupnya dengan kegiatan spiritual.
Pemaksaan serupa disampaikan Agnes. Buat dia, kebahagian mesti diperjuangan sepanjang usia, saat muda ataupun ketika tua. Ia merasa semakin tua, ia justru semakin bahagia karena ia menjadi lebih bijaksana, punya waktu untuk berefleksi, dan makin mudah berdamai dengan diri sendiri.
”Saya merasa lebih adem dan seimbang. Waktu muda kesabaran saya tipis,” katanya.
Soal penampilan, orang tua juga perlu cantik, punya gaya sendiri sehingga pede. ”Mungkin kecantikan di sini lebih ke inner beauty,” katanya.
Au, Ratna, Agnes, dan Jayeng hanyalah empat dari sedikit warga senior yang beruntung mampu memperjuangkan sendiri kebahagiaan di masa tua, termasuk ”membeli kebahagian” yang ditawarkan industri gaya hidup. Di luar mereka ada jutaan warga senior lain yang bahkan belum sanggup mengusahakan kebutuhan dasar, seperti pangan dan sandang. Sebagian juga tidak memiliki akses untuk jaminan kesehatan dan sosial.
Saat ini, ada 29 juta warga lansia atau 10,7 persen di Indonesia. Seiring semakin meningkatnya usia harapan hidup, jumlah warga lansia di Indonesia akan terus bertambah. Diperkirakan jumlah warga lansia di negeri ini akan mencapai 19,9 persen dari jumlah penduduk pada 2045. Jika tidak ada perencanaan dan program kesejahteraan warga lansia, akan muncul persoalan di masa depan.
Idi Subandy, pengamat komunikasi dan gaya hidup, melihat, dalam politik kebijakan negara, lansia semata-mata dilihat dari kacamata ekonomi. Mereka dibagi dalam dua kategori, yakni lansia potensial (masih produktif) dan lansia tidak potensial. Kalau produktif menguntungkan, kalau tidak produktif jadi bebab. ”Cara pandang seperti ini mengabaikan dimensi yang bersifat humanistik,” katanya.
Tidak heran jika fasilitas dan sistem pendukung sosial untuk warga lansia cenderung seadanya. Padahal, sebagaimana kelompok usia lain, mereka juga punya kebutuhan sendiri yang tidak hanya bersifat ekonomi, seperti perasaan untuk dihargai dan bermanfaat buat lingkungan. Industri gaya hidup mengisi celah-celah kosong dengan menawarkan produk/jasa yang menjanjikan kebahagiaan, kenyamanan, dan obat anti-kecemasan di masa tua. Mereka yang mampu membeli tawaran itu mungkin bisa hidup lebih nyaman.
”Masa tua jadi urusan pribadi semata, bukan urusan publik,” kata Idi.