Kembali ke ”High Heels” hingga Intaian ”Hacker” Pascapandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 mendorong perubahan pola kerja ke arah hibrida, tak selalu di kantor. Namun, banyak hal masih harus dipersiapkan, mulai dari soal busana sampai keamanan siber.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Di lantai 26 sebuah gedung pencakar langit di Singapura, Bee Kheng Tay duduk di pojok ruang rapat. Siang itu, Rabu (18/5/2022), ia mengenakan baju tanpa lengan dipadu rok dengan lipatan-lipatan kecil serta sepatu hak tinggi. Semua warnanya hitam.
Meskipun tampil anggun, raut wajah Tay mengisyaratkan ada sesuatu yang membuatnya kurang nyaman. Di atas tempat duduk yang tinggi dan sempit, ia berulang kali mengganti posisi kaki.
Tay adalah Presiden Cisco wilayah Asia Tenggara, sebuah perusahaan teknologi di bidang jaringan internet, sistem komputasi awan, dan keamanan siber. Cisco baru saja menyelesaikan survei mengenai pengaruh pandemi Covid-19 terhadap pola kerja masyarakat di Asia Tenggara.
”Dari tadi saya duduk di pojokan karena tidak nyaman berdiri terlalu lama. Ini pertama kali saya mengenakan high heels setelah lebih dari dua tahun pandemi melanda,” ucapnya sambil berjalan canggung ke tengah ruang rapat.
Pengalaman canggung saat harus kembali mengenakan busana formal untuk ke kantor pasti juga dirasakan oleh hampir semua pekerja di seluruh dunia. Dua tahun lebih pekerja kerah putih terbiasa hanya mengenakan baju formal dan pakaian santai di bagian bawah untuk sekadar terlihat proper di layar meeting virtual.
Itu adalah contoh kecil yang membuktikan pandemi telah mendorong perubahan besar terhadap pola kerja sebagian besar orang. Kini, bekerja tak lagi diukur oleh ke mana kita pergi, tetapi dinilai dari hal apa yang kita lakukan.
Tay menuturkan, 65 persen responden dari total 6.000 sampel pekerja di Asia Tenggara merasakan peningkatan produktivitas saat bekerja dari rumah (work from home/WFH). Survei Cisco juga menunjukkan, 80 persen responden menyatakan dapat menyelesaikan kerja dengan sama baiknya dari rumah ataupun kantor.
Di sisi lain, bekerja dari rumah rawan menimbulkan sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah rentan stres berat atau burnout. Sering kali WFH membuat pekerja tanpa sadar melakukan terlalu banyak rapat virtual sehingga waktu istirahat yang penting malah terabaikan.
Bekerja dari rumah juga berarti kehilangan momen menjalin pertemanan dengan rekan kerja. Padahal, interaksi antarindividu penting untuk memantik inovasi yang sering kali muncul dari obrolan personal dan diskusi kelompok.
Sebenarnya, masalah ini bisa diatasi dengan kerja sebagian di rumah dan sebagian di kantor. Sistem ini, menurut majalah The Economist (10 April 2021), lebih disukai pekerja. Pola kerja hibrida ini diyakini bisa membuat pekerja lebih produktif, inovatif, kreatif, dan bahagia karena hidup seimbang.
Menurut Tay, pola kerja hibrida juga berpengaruh meningkatkan kualitas hidup pekerja dalam aspek emosional, finansial, kesehatan mental dan fisik, serta sosial. Peningkatan kualitas hidup itu dirasakan oleh 6 dari 10 responden survei Cisco terhadap 1.050 sampel pekerja di Indonesia.
Survei yang sama juga menunjukkan 74 persen responden di Indonesia dapat menghemat waktu hingga 4 jam per minggu dengan pola kerja hibrida. Selain itu, 87 responden juga mengatakan dapat menghemat biaya transportasi hingga Rp 8,57 juta per tahun.
Direktur Senior Bidang Sumber Daya Manusia dan Komunitas Cisco wilayah Asia Pasifik Anupam Trehan mengatakan, 84 persen pekerja di Indonesia yang menjadi sampel survei Cisco menginginkan pola kerja hibrida. Hanya 14 persen yang menginginkan WFH secara penuh dan 3 persen yang menginginkan bekerja dari kantor (work from office/WFO) secara penuh.
”Namun, 63 persen responden di Indonesia menyatakan, micro management (kontrol berlebihan) juga meningkat akibat pola kerja hibrida. Kurangnya rasa percaya dari atasan kepada bawahan menjadi hambatan yang umum terjadi,” kata Trehan.
Menurut dia, pola kerja hibrida untuk mencapai sukses sangat bergantung pada kepemimpinan yang lentur. Pola kerja era setelah pandemi menuntut pemimpin perusahaan untuk lebih banyak mendengar dan bersikap empatik agar mengambil keputusan yang adil.
Hambatan lain yang jamak dialami saat mengaplikasikan pola kerja hibrida adalah persoalan terkait kesiapan teknologi. Menurut survei Cisco, 67 responden di Indonesia mengatakan sering mengalami masalah sambungan internet saat WFH.
Kendala tersebut menjadi tak terhindarkan lantaran kecepatan internet di Indonesia memang tergolong tertinggal. Merujuk laporan Speedtest Global Index, sumber informasi terinci tentang kinerja internet di seluruh dunia, kecepatan internet di Indonesia paling lambat kedua di kawasan ASEAN.
Data yang dikumpulkan pada Oktober 2021 tersebut menunjukkan, nilai median kecepatan unduh melalui jaringan seluler (mobile) di Indonesia sebesar 16,16 mbps (megabita per detik). Sementara kecepatan untuk unggah sebesar 9,85 mbps.
Indonesia hanya sedikit lebih unggul dari Kamboja yang menduduki posisi terakhir di ASEAN, di mana kecepatan internetnya sebesar 14,48 mbps. Padahal, rata-rata kecepatan internet di ASEAN sebesar 31,34 mbps dan secara global 28,61 mbps sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas internet di Indonesia masih tertinggal.
Selain itu, Direktur Keamanan Siber Cisco wilayah Asia Tenggara Juan Huat Koo mengatakan, keamanan siber juga harus menjadi hal utama yang harus diperhatikan saat menerapkan pola kerja hibrida. Sayangnya, menurut survei Cisco, baru 69 persen responden di Indonesia yang merasa yakin tempat kerja mereka telah melek soal ancaman keamanan siber ini.
”Padahal, karena kini kita sangat bergantung dengan teknologi, maka pertanyaannya bukan lagi apakah kita akan diretas, tetapi kapan kita akan diretas,” ucap Koo.