Merayu-rayu Berat Badan
Berat badan berlebih tak baik bagi kesehatan. Jika bobot tubuh telanjur melebihi angka ideal, ada baiknya dikurangi dengan menerapkan pola gizi seimbang dan rajin olahraga. Tak mudah tapi harus dilakukan demi kesehatan.
Banyak orang sadar bahwa punya tubuh besar akibat gaya hidup dan pola makan serampangan malah berisiko picu masalah kesehatan. Kini mereka merayu berat badannya untuk turun agar hidup lebih sehat.
Saat bertemu sosok Edwin Irvanus (44) bisa jadi banyak orang pangling. Tahun lalu berat badan konsultan komunikasi ini mendekati 1,3 kuintal. Padahal dengan tinggi badan 170 sentimeter, dia idealnya berbobot tak lebih dari 70 kilogram. Mantan pemimpin redaksi salah satu majalah pria dewasa itu juga kesulitan bergerak. Berjalan untuk jarak dekat saja napasnya tersengal-sengal. Itu diperparah karena dia adalah perokok berat. Tubuhnya juga mudah berkeringat dan gampang lelah. Persendian kedua kaki Edwin pun gampang linu karena keberatan menopang bobot tubuhnya.
Lihatlah sekarang. Berat badan Edwin stabil, mendekati bobot tubuh ideal. Gaya hidup dan pola makannya pun jauh lebih sehat dan teratur. Setiap hari dia rutin lari pagi sampai 8 kilometer. Dia juga aktif berolahraga di salah satu pusat kebugaran.
Hasilnya, beberapa orang tak mengenali Edwin lagi karena postur tubuhnya berubah lebih langsing. Saat Edwin menegur seorang kawan lama, dia cuma balik menyapa basa-basi seolah tak kenal. Beberapa hari kemudian lewat aplikasi chat, Edwin baru ngeh kalau ternyata si kawan tadi tak mengenalinya. Selain jauh lebih kurus, Edwin memang juga mengenakan masker dan topi. Hanya bagian mata yang tersisa. Saat kejadian Edwin memang berhasil menurunkan berat badannya sampai 30 kg. ”Dia terakhir kali ketemu pas berat gue masih 124 kilogram,” ujarnya terbahak.
Edwin mulai menggemuk di tahun 2011. Saat itu dia juga baru pindah kerja ke sebuah perusahaan agensi periklanan. Jam kerja dan tenggat penugasannya sangat menguras tenaga dan pikiran. Dia terbiasa bekerja sampai dini hari. Masalahnya dia dan rekan-rekan juga kerap jajan malam membeli macam-macam makanan tinggi kalori, seperti martabak manis dan gorengan.
Walhasil, berat badannya melonjak tak terkontrol. Bukan sekali dua kali Edwin berusaha berdiet. Sejumlah metode diet dicobanya, mulai dari keto, mayo, paleo, sampai akupuntur. Beberapa sempat berhasil walau tak bertahan lama. Padahal, biaya yang sudah dikeluarkan tak sedikit.
Satu waktu salah seorang rekannya, sutradara kondang yang sukses berdiet, menyarankan ikut klinik diet tertentu. Dalam sepekan ikut program, Edwin sukses menurunkan berat sampai 8 kg. Dari situ dia kemudian yakin dan berhasil menjaga berat tubuh idealnya sampai sekarang.
Kisah sukses sama juga dialami Berlian Isnia Fitrasanti (46), yang sama-sama menjalankan metode diet calorie deficit, dengan mengurangi konsumsi minyak dan gula. Warga Buahbatu, Bandung, Jawa Barat, itu menjalani diet sejak Juli 2021. Sejauh ini, berat badan Isnia sudah turun 18 kg dan berencana menurunkan lagi sekitar 10 kg.
Walau berhenti mengonsumsi gorengan dan kue-kue, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran itu tetap makan seperti biasa, nasi dengan lauk pauk. Itu ditopang dengan berolahraga secara teratur.
”Enggak melulu soal berat. Meski kurus tetapi kalau lemaknya tinggi, bahaya. Prioritasnya, kesehatan. Kalau postur jadi ideal, bisa dianggap bonus,” katanya.
Seni berdiet
Kisah sukses lain juga dialami dua selebritas, penyiar radio dan artis komedian, Kemal Mochtar (41) dan Tika Panggabean (51). Sosok yang dikenal berbadan bongsor itu kini jauh lebih langsing dan terlihat bugar.
Kemal yang kelahiran Bandung sempat memiliki bobot tubuh sampai 120 kg di tahun 2018. Selain menjalani program pengaturan pola makan secara disiplin, Kemal juga gemar berolahraga jalan kaki. Selama setahun dia berhasil menurunkan berat tubuhnya hingga menjadi 68 kg atau susut 52 kg.
Dalam akun vlognya, Kemal rajin membagikan tips dan perjalanan diet sehatnya. Dia kerap menasihati kalau untuk berdiet orang harus didampingi dokter atau ahli gizi. Diet setiap orang berbeda, begitu juga dengan kebutuhan kalori dan nutrisinya.
Kemal juga tak terlalu kaku dalam berdiet. Selama dua hari Lebaran, Kemal tidak menolak apa pun jenis makanan untuk disantap. Namun, porsi makanan dan waktunya tetap dibatasi, terutama hanya untuk dua hari itu. Jumlah yang dimakan cukup dalam porsi kecil. Kerupuk dan kue kering, seperti nastar, masih boleh dicicipi cukup masing-masing satu potong.
”Harus diingat juga kenikmatan makan bukan diukur dari tingkat kekenyangan. Jadi, saya setuju dengan pedoman makan ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Selain itu, usahakan juga agar tidak terlambat makan supaya tidak kalap,” ujarnya.
Kiat kurang lebih sama juga diterapkan Tika Panggabean. Alih-alih terfokus hanya untuk menurunkan berat badan, Tika lebih memilih berupaya untuk bisa hidup sehat. ”Ketika bekerja saya mengutamakan aktivitas jalan kaki. Perjalanan yang bisa ditempuh dengan jalan kaki akan saya tempuh dengan jalan kaki. Saya sering berjalan kaki dari rumah menuju stasiun MRT di Lebak Bulus, begitupun sebaliknya ketika pulang. Saya juga tidak pernah menimbang badan supaya tidak fokus pada angka penurunan berat badan. Saya ingin fokus meraih tubuh yang sehat. Kalaupun berat badan turun, itu sebuah bonus,” ujarnya.
Dampak pandemi
Saat dihubungi terpisah, dokter spesialis Gizi Klinik dari Siloam Hospital MRCCC, Inge Permadhi, menyebut dua tahun masa pandemi berkontribusi pada kenaikan berat badan banyak orang. Akibat pandemi, orang semakin jarang bergerak lantaran banyaknya aturan pembatasan oleh pemerintah demi memutus mata rantai penularan Covid 19.
Pola makan pun juga ikut terpengaruh. Banyak berdiam diri di rumah membuat orang semakin sering makan, apalagi hal itu semakin dimudahkan dengan membeli lewat aplikasi. Akibatnya, banyak orang mengalami obesitas.
Inge mengingatkan tentang pentingnya mereka yang telanjur kelebihan berat badan segera berdiet dengan menerapkan metode gizi seimbang. ”Selain itu, berat badan juga bisa dikurangi dengan rajin berolahraga,” kata Inge.
Secara terpisah, dokter Gizi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta, Elfina Rachmi, Kamis (12/5/2022), juga mengingatkan data Kementerian Kesehatan tentang peningkatan prevalensi stroke, diabetes, dan jantung dalam lima tahun terakhir (2013-2018). ”Prevalensi stroke tahun 2018 umpamanya 10,9 persen. Meningkat dibandingkan tahun 2013 sebesar 7 persen,” ujarnya saat berbicara di Virtual Media Gathering Tokopedia.
Sementara itu, peminat kajian media, budaya kritis, dan gaya hidup, Idi Subandy Ibrahim, Jumat (13/5/2022), menilai kesadaran masyarakat urban di Indonesia untuk hidup sehat sangatlah tinggi. Alasan itu pula yang kemudian melatari kesadaran orang untuk menjaga bentuk tubuhnya menjadi ideal. Hal itu berbeda dengan yang terjadi di beberapa negara maju seperti Korea Selatan.
Dalam banyak pemberitaan dan kajian, masyarakat ”Negeri Ginseng” itu memang sudah lebih menganggap penampilan fisik seseorang sebagai faktor penting, yang bahkan sampai bisa memengaruhi kariernya. Akibatnya, fenomena seperti itu juga lantas menggerakkan sektor perekonomian tersendiri, semisal industri kosmetik dan bedah plastik. Komodifikasi semacam itu bahkan mampu mendatangkan devisa tersendiri bagi Korsel.
”Tapi kalau di Indonesia, fenomena serupa baru terjadi dan berlaku sebatas di lingkungan tertentu, semisal industri jasa dan hiburan, pekerja kehumasan, atau pemasaran. Namun, memang kita juga tengah mengarah ke apa yang sekarang sudah terjadi di negara seperti Korsel,” kata Idi.
Orang-orang tadi berhasil merayu berat badannya untuk turun. Bagaimana dengan kita? Semoga tidak sebatas elus-elus perut saja.