Gombloh seolah tak peduli pada hidupnya sendiri. Ia ”asyik” dalam kehidupan bohemian bersama orang-orang kecil. Hasil kerja musiknya sepenuhnya ia dedikasikan kepada kaum yang dibelanya.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·4 menit baca
Nama Gombloh lebih banyak dikenal sebagai penyanyi pop yang eksentrik. Penampilannya selalu menarik perhatian, rambut, kumis dan jenggotnya yang panjang. Selalu mengenakan topi dan kacamata dan pakaian yang juga selalu hitam. Identitas ini seolah-olah untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam spirit hidupnya.
Pementasan monolog”Panggil Aku Gombloh”, Kamis (28/4/2022), di Gedung Kesenian Jakarta secara terbatas, memiliki semangat mengungkapkan spirit hidup musisi kelahiran Jombang, 12 Juli 1948 itu. Pentas ini tertarik dengan program Di Tepi Sejarah pada musim kedua, yang dihelat di atas prakarsa Titimangsa, Kawan-kawan Media, dan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek. Pada musim pertama tahun lalu, program ini menghadirkan tokoh-tokoh sejarah lainnya, seperti Riwu Ga, The Sin Nio, K’tut Tantri, dan Amir Hamzah.
Produser Di Tepi Sejarah Yulia Eka Bhara mengatakan, pada musim kedua program ini akan menghadirkan tokoh-tokoh seperti Sjafruddin Prawiranegara, Kassian Cephas, Gombloh, Emiria Soenassa, dan Ismail Marzuki. Pada umumnya, kata Yulia, seluruh pertunjukan Di Tepi Sejarah bukan sebuah rekonstruksi terhadap sejarah. ”Tetapi ini jadi semacam inisiasi untuk mengangkat para tokoh yang berada di pinggir jalan, tetapi luput dari catatan sejarah bangsa,” katanya.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra menambahkan, banyak kisah sejarah inspiratif yang sebelumnya kurang dikenal anak-anak muda. ”Lewat seri monolog Di Tepi Sejarah anak-anak muda dapat mempelajari sejarah yang hampir terlupakan itu,” katanya.
Hidup bohemian
Monolog ”Panggil Aku Gombloh” ditulis oleh Guruh Dimas Nugraha berdasarkan buku biografi berjudul Gombloh: Revolusi Cinta dari Surabaya , yang juga ditulis oleh Dimas. Menurut sutradara pertunjukan Join Bayuwinanda, ia melakukan tafsir ulang bersama Agus Noor untuk menyusun naskah ”Panggil Aku Gombloh”.
”Karena kan berasal dari biografi, jadi jika diikuti mungkin pertunjukan akan berlangsung berjam-jam. Sementara pentas ini mensyaratkan waktu maksimal 1 jam karena akan ditayangkan secara berani nanti,” kata Joind. Meski begitu, ia berusaha menyusun bagian demi bagian yang dianggap mewakili kehidupan Gombloh, baik sebagai musisi, maupun kehidupan pribadi dan sosialnya.
Bergabung dengan aktor pantomim Wanggi Hoediyatno, yang mirip dengan Gombloh. Wanggi sendiri tidak mengira menerima ajakan berakting di panggung teater. ”Sehari-hari saya aktor pantomim, yang mengandalkan gerak tubuh. Sama sekali tidak menggunakan vokal. Nah, ini tiba-tiba harus berlatih vokal…,” katanya.
Gombloh dalam perjalanan hidupnya sangat dekat dengan kaum pinggiran. Ia bahkan memiliki kamar di kompleks pelacuran Dolly, Surabaya. Cita-cita terbesarnya memberdayakan para putri sehingga terlepas dari jebakan dunia prostitusi. Uang hasil kerja di dunia musik hampir selalu dibagi-bagikan kepada orang-orang kecil yang hidupnya susah. Bahkan jaket kulit hasil konsernya di Jakarta diberikan kepada seorang tukang becak yang kedinginan di jalanan Surabaya.
Tidak berhenti di situ, Gombloh juga menyiapkan dan menyimpan pakaian dalam untuk para pelacur di Dolly di dalam kamarnya. Sikap itu menunjukkan musik yang memunculkan lagu-lagu populer pada era 1980-an itu, tidak hanya peduli lewat lagu. Ia benar-benar mewujudkan kepedulian itu lewat tindakan nyata.
Sebagai pejuang kemanusiaan, lewat lagu-lagunya Gombloh mendendangkan tentang nasionalisme kaum pinggiran. Menurut dia, nasionalisme tak hanya milik kaum elite, yang dianggap sebagai pencatat dan pembuat sejarah. Orang-orang pinggiran seperti gelandangan, tukang becak, terutama para pecinta, memiliki nasionalisme yang jauh lebih sederhana. Cita-cita terbebas dari kemiskinan dan hidup layak sebagai manusia hampir setiap saat menggema di jalan-jalan Surabaya. Meskipun terkadang cita-cita hidup layak itu hanya berma di ruang hampa, bahkan hanya menjadi ”utopia” belaka.
Gombloh seolah tak peduli pada hidupnya sendiri. Ia ”asyik” dalam kehidupan bohemian bersama orang-orang kecil. Hasil kerja musiknya sepenuhnya ia dedikasikan kepada kaum yang dibelanya. Oleh sebab itu, kehidupan rumah tangganya bersama Wiwik terabaikan. Seharusnya, hasil bermusiknya cukup untuk membangun rumah dan memberikan hidup yang lebih layak untuk keluarganya, tetapi Gombloh secara santai mengatakan, jauh lebih penting kehidupan para memperhiasi.
Totalitas kehidupan Gombloh dalam mendedikasikan diri untuk kaum pinggiran, baik lewat lagu maupun aksi nyata, tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari perjuangan perjuangan nasionalisme. Ia tercatat dalam sejarah besar perjuangan Indonesia, menuju masyarakat mandiri, adil, dan makmur.
”Panggil Aku Gombloh” setidaknya telah menjadi pencatat yang baik dan menyodorkan alternatif dalam memaknai nasionalisme. Bahwa nasionalisme tak hanya disenandungkan lewat lagu seperti “Kebyar-kebyar”, tetapi perlu dipraktikkan dalam tindakan konkret. Dan Gombloh tak hanya bernyanyi, ia hidup bersama kaum marjinal untuk kemudian berteriak bersama, ”Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing rasa cokelat…”.