Lebaran Berseragam biar kayak Orang-orang
Asyik, tahun ini sudah boleh mudik. Orang-orang sudah beli seragam biar bisa Lebaran dalam rasa kekompakan.
Setelah dua tahun dikungkung pandemi Covid-19, seragam Lebaran kembali diburu. Meski semangat tampil beda terus bergaung, semangat tampil sama tak pernah mati. Dengan seragam, konon kebersamaan dan kekompakan lebih terasa.
Belakangan ini Pasar Tanah Abang, Pasar Mayestik, atau Pasar Baru boleh jadi ramai diserbu pengunjung yang heboh berbelanja seragam Lebaran. Namun, Ika Mulia Asih (38), warga Ciputat, Tangerang Selatan, sudah duduk manis di rumah dan tetap khusyuk beribadah Ramadhan. Baju seragam untuk keluarganya, total 25 orang, sudah aman sejak Januari.
”Kalau Lebaran, dari tahun ke tahun bikin seragam. Keluargaku udah bertahun-tahun, keluarga suami baru tahun ini, dari tahun lalu udah berpikir mau seragaman. Januari kemarin nyempetin ke Mayestik rame-rame nyari bahan,” ungkap Lia, Rabu (20/4/2022). Keluarga besar suami Lia berjumlah 15 orang, keluarga Lia 10 orang.
Di Mayestik, mereka memilih bahan bersama-sama lalu per keluarga membeli sesuai kebutuhan. Ongkos menjahit ditanggung masing-masing keluarga. Modelnya gamis untuk yang perempuan, kemeja untuk yang laki-laki. ”Untuk seragam keluarga suami aku habis 11 meter. Bahan Rp 600.000, ongkos jahit Rp 650.000,” kata Lia.
Untuk seragam keluarganya, Lia membeli jadi di Mayestik. Modelnya tunik dan celana panjang untuk yang perempuan dan kemeja untuk yang laki-laki. Ongkosnya Rp 1 juta. ”Sekarang semua udah beres. Jadi tenang, enggak mikirin baju terus, bisa khusyuk ibadah,” ujarnya.
Lia memang selalu mempersiapkan seragam Lebaran jauh-jauh hari, tak mau mepet Lebaran. Selain harga kemungkinan besar sudah lebih mahal, dia tak mau ibadahnya terganggu. Menurut rencana, tahun ini Lia akan kumpul keluarga besar di Tangerang Selatan. Seragam keluarga suami dikenakan di hari pertama, seragam keluarganya di hari kedua. ”Kalau pakai seragam terasa kebersamaannya,” kata Lia.
Berbeda dengan Lia, Inong Bachtiar (44) baru pekan lalu mendapatkan seragam Lebaran untuk keluarga besarnya, total 21 orang. Ini karena seragam incarannya baru dirilis pekan lalu. Agar tak gagal mendapat seragam incaran, Inong mengerahkan tiga orang jastip dengan ongkos tambahan Rp 20.000–Rp 50.000 per potong. ”Niat banget, ya,” ujarnya.
Biaya untuk seragam Lebaran diambil dari dana usaha milik keluarga, sekitar Rp 20 juta, sudah termasuk untuk beli sandal.
Dua tahun lalu, meski mudik tak disarankan, Inong tetap menyiapkan seragam. Begitu pun tahun-tahun sebelumnya. Sudah tradisi, pun untuk acara keluarga lainnya di luar Lebaran. Tahun ini, sebenarnya mereka sudah beli baju. Lalu ibu Inong bertanya kenapa tidak pakai baju seragam saja. Jadilah Inong berburu seragam.
Baginya, berseragam saat Lebaran menunjukkan kekompakan. ”Orangtua kayaknya juga seneng lihat anak cucunya kumpul bajunya sama, lebih berasa Lebaran-nya,” kata Inong.
Itu juga yang dilakukan Rida (46), warga Lamongan, Jawa Timur, yang semula hanya berencana membelikan seragam untuk tiga anaknya. Anak tengahnya, Nisrin (11), protes dan meminta ibunya membelikan juga untuk sepupunya yang tahun ini bakal mudik setelah empat tahun absen pulang kampung. Rida menyebut seragam Lebaran ini sebagai baju ”jalinan kasih”.
Iis Silviana (40), warga Cakung, Jakarta Timur, mengungkap hal senada. ”Seragam Lebaran itu untuk menunjukkan kekompakan keluarga saat silaturahmi maupun saat tampil di media sosial, ha-ha-ha,” ujarnya.
Seingat Iis, tradisi seragam Lebaran di keluarga besarnya dimulai 5-6 tahun lalu saat ia dan adik-adiknya beranjak dewasa lalu satu per satu menikah dan punya anak. Demi menyenangkan orangtua, mereka membuat seragam Lebaran. Sejak itu, seragam keluarga jadi tradisi. Tak hanya Lebaran, tapi juga momen keluarga lainnya.
”Kalau sampai enggak pakai seragam Lebaran, rasanya ada yang kurang,” ujarnya. Tahun lalu, saat hanya berlebaran virtual pun semua tetap berseragam.
Tahun ini Iis makin bersemangat menyiapkan seragam Lebaran karena silaturahmi sudah bisa digelar langsung. Sebelum Ramadhan, ia berbelanja ke Pasar Tanah Abang membeli 19 potong baju.
Untuk yang perempuan, Iis menyiapkan gamis dengan nuansa hijau mint. Untuk yang laki-laki, baju koko warna serupa. Harga gamis per potong Rp 150.000, ditambah jilbab Rp 50.000. Sandal seragam harganya Rp 150.000.
Kewalahan
Kehebohan perburuan seragam Lebaran tak pelak merembet di kalangan agen serta produsen produk busana. Mendekati Lebaran, grup percakapan beranggotakan para agen produk busana makin ramai. Mereka risau lantaran sarimbit pesanan pelanggan belum juga selesai diproduksi.
”Sarimbit Afsheen kapan ready, Mbak? Yang pesan sudah mulai worry, nih! Soalnya kirim ke Sumatera Selatan dan Lampung,” ujar seorang agen di grup percakapan, Rabu (20/4/2022).
Beberapa bulan menjelang Lebaran, hampir semua jenama mode mengeluarkan koleksi sarimbit, dikenal dengan sebutan famset (family set). Tahun ini, kebanyakan produsen membuka PO sarimbit Desember 2021 dan Januari 2022. Targetnya, semua pesanan sarimbit tersedia pada Maret atau awal April.
Nyatanya tak sedikit yang molor. Ada yang produksinya selesai sebagian, membuat para distributor, agen, dan reseller cemas karena pesanan bisa batal.
Nida, pemilik Butik Rumah Ameena di Serang, Banten, hampir tiap hari mendapat pertanyaan dari pelanggan karena produksi sarimbit salah satu jenama yang dia jual molor sampai dua bulan. Tahun ini, dia mendapat pesanan sarimbit untuk 20-an keluarga. Per keluarga minimal memesan empat potong sarimbit.
Lyra Rosdiana, pemilik Syareefa Shop di Kota Tangerang, Banten, tak jauh beda. Meski sudah buka PO dan menyiapkan stok, jumlahnya tetap kurang. Banyak pelanggan tak memesan melalui PO, tetapi memesan setelah produk tersedia. Lyra pun mesti mengambil stok sarimbit agen lain, istilahnya nyabar atau nyari barang.
Tahun ini, penjualan sarimbit Lyra naik lebih dari 50 persen dari tahun lalu. Ratusan potong sarimbit dari delapan jenama mode berhasil dijual dalam hitungan minggu.
Membeludaknya pesanan membuat produsen membuka beberapa kali PO untuk satu seri sarimbit. Jenama Cutetrik membuka PO dua-tiga batch untuk tiap seri dari tiga seri sarimbit dengan model, motif, dan warna berbeda. Jenama lain pun kewalahan karena dua tahun berturut-turut permintaan berkurang karena pandemi.
Perencana keuangan Ike Noorhayati Hamdan mengatakan, menjelang Lebaran, pengeluaran rumah tangga hampir pasti meningkat. Masyarakat cenderung lebih konsumtif.
Sebagian orang merasa mesti mudik sehingga perlu dana untuk membeli tiket. Ada yang merasa harus menghidangkan kue atau makanan lezat, bagi-bagi uang Lebaran, hingga menyediakan seragam Lebaran. Agar dompet tak jebol, pengeluaran perlu direncanakan.
”Gaji bulanan jangan diutak-atik karena itu untuk kebutuhan rutin keluarga, membayar utang/cicilan, dan tabungan. Yang dipakai untuk pengeluaran Lebaran hanya dari THR (tunjangan hari raya) saja,” jelasnya. Pembagiannya, 10-15 persen untuk pengeluaran keagamaan dan sosial terkait momen Lebaran, 50 persen untuk menutupi kebutuhan besar, misalnya cicilan kartu kredit dan pengurangan utang lainnya, dan 35-45 persen untuk biaya Lebaran, termasuk membeli tiket mudik dan biaya gaya hidup.
Jika tak punya utang, alokasi pada poin dua sebagian bisa diarahkan untuk biaya Lebaran seperti membeli baju seragam Lebaran meski tetap harus hati-hati. ”Sejelek-jeleknya, THR habis untuk Lebaran, tetapi enggak punya utang,” ujar Ike.
Jadi, mari berseragam saat Lebaran, tetapi jangan sampai menumpuk utang.