Berbuka Puasa di Bandung dengan Kisah Vanda, Braga Sky, Majestic, hingga Panti Karya
Remaja Bandung berbuka puasa perdana tahun ini dengan napak tilas bioskop lawas. Meski tidak lagi beroperasi, banyak pesan sejarah untuk mewarnai masa kini lebih baik lagi.
”
Kota Bandung memiliki segudang cerita masa lalu yang bisa diulik sambil menunggu berbuka puasa. Salah satunya menelusuri jejak bioskop yang bertebaran sejak era Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka.
Dalam buku Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe), Haryoto Kunto menyebut, bioskop menjadi pilihan menunggu buka puasa. Masuk jelang waktunya tiba dan keluar langsung menyantap makanan yang disuka. Dia menyebut Bioskop Varia, Oriental, hingga Bioskop Elita.
Akan tetapi, banyak tempat yang disebutkan Kunto atau bioskop lain yang lebih awal atau belakangan berdiri kini sudah tidak eksis lagi. Nama besar mereka tenggelam dan kalah akibat persaingan zaman.
Di hari pertama puasa tahun ini atau Minggu (3/4/2022), nostalgia itu coba dibawa kembali oleh agen perjalanan Cerita Bandung lewat tur Bioscoop Bandoeng. Sejumlah bekas bioskop yang berada dari Jalan Merdeka hingga Jalan Dalem Kaum pun menjadi sasarannya. Tidak semua bangunannya masih berdiri. Semuanya sudah tidak aktif beroperasi.
Perjalanan sepanjang 2 kilometer ini dimulai dari Bioskop Panti Karya. Setelah itu, berlanjut ke lokasi lain, seperti Panti Budaya (Bioskop Vanda), Bioskop Pop, Braga Sky, Helios, De Majestic, hingga gedung Bioskop Dian di sebelah barat Alun-alun Bandung.
Pemandu cerita, Farhan Basyir, mengatakan, Panti Karya di Jalan Merdeka adalah bioskop populer di era 1970-an. Kepada belasan peserta, dia bersemangat bercerita tentang kisah gedung yang ada di sebelah Toko Buku Gramedia dan di depan Bandung Indah Plaza itu. Saat ini, sebagian gedung digunakan Bumame Farmasi dan beberapa lantai di atasnya terbengkalai.
Farhan menjelaskan, Panti Karya menjadi bioskop yang meramaikan perfilman Kota Bandung hingga akhir 1980-an. Sebelum dijadikan bioskop, gedung yang berdiri pada 1957 ini menjadi bagian dari Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).
Penjelasan Farhan membuat mata Meisya (20), peserta tur, berbinar. Baginya, berjalan-jalan sambil mendengar sejarah bioskop Bandung bisa jadi opsi yang menarik untuk menambah pengetahuan terhadap kota yang jadi buah bibir sejak era Hindia Belanda ini.
Di eks Panti Karya, misalnya, dia baru tahu bahwa gedung itu pernah dijadikan bioskop elite. Sesekali Meisya memperlihatkan foto jadul gedung Panti Karya saat eksis sehingga peserta bisa membandingkannya dengan saat ini.
Kekaguman Meisya tidak berhenti sampai di situ. Beranjak dari gedung eks Panti Karya, rombongan ini bergerak ke selatan menuju Taman Vanda. Jaraknya sekitar 500 meter dari Panti Karya. Lokasinya di sebelah gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jabar dan menjadi taman di pertigaan Jalan Merdeka-Jalan Perintis Kemerdekaan.
Farhan menjelaskan, di ruang terbuka ini dulu berdiri bangunan yang berfungsi sebagai Panti Budaya atau dikenal dengan Bioskop Vanda. Bioskop ini ikut menyemarakkan dunia perfilman di Kota Bandung era 1970-an.
”Banyak yang bertanya, kenapa taman ini disebut Taman Vanda. Ya, karena dulu di sini ada Bioskop Vanda. Bahkan, bangunannya sudah ada sejak zaman Hindia Belanda,” paparnya.
Gedung yang disebut Farhan adalah Gereja St Franciscus Regis. Tempat ibadah yang berdiri pada 1895 ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan spiritual warga Bandung yang mulai diramaikan para penganut Katolik, mulai dari ekspatriat dari Eropa hingga warga lain.
Pada tahun 1920, gereja ini dirobohkan dan berubah fungsi menjadi Bioskop Rex. Saat itu, Bandung menjadi salah satu kota yang populer di Hindia Belanda sehingga industri hiburannya pun mengikuti perkembangan zaman.
Setelah kemerdekaan, Bioskop Rex berubah menjadi Panti Budaya di tahun 1950-an. Bangunan ini sempat menjadi tempat perkuliahan Perguruan Tinggi Katolik Parahyangan sebelum menjadi Bioskop Vanda. Bioskop Vanda kemudian diruntuhkan pada 1990-an dan menjadi ruang terbuka publik.
Mendung yang sedari awal menggantung ternyata mulai menurunkan hujan cukup deras. Sejumlah peserta yang tengah menikmati cerita dari Farhan pun bergegas membuka payung.
Hujan deras disertai angin memaksa mereka beranjak dari Taman Vanda dan berjalan menuju Jalan Braga. Rombongan sempat berteduh di seberang Landmark Braga.
Gedung ini dibangun oleh arsitek kenamaan Hindia Belanda, Charles Prosper Wolff Schoemaker, pada tahun 1922. Awalnya, Landmark Braga menjadi toko buku dan percetakan Van Dorp dan berubah menjadi Bioskop Pop di tahun 1970-an.
Layaknya tempat hiburan di pusat kota, ujar Farhan,Bioskop Pop ini kerap diisi kalangan menengah ke atas. Di seberang Landmark Braga, berdiri bangunan yang dulu menjadi bioskop bernama President Theatre.
Selain itu, ada juga Braga Sky yang berada di salah satu sudut perempatan Jalan Braga-Jalan Suniaraja. Sama seperti Pop dan President, bioskop ini menemani kejayaan perfilman di Bandung era 1970-an.
Baca juga : Sejarah Bioskop Indonesia dari Masa Hindia Belanda hingga Perang Kemerdekaan
Pesona Bandung
Semua kisah yang diceritakan oleh Farhan dilumat para peserta dengan antusias. Mereka baru menyadari, bangunan-bangunan yang sekarang berupa bank, tempat hiburan, pelayanan farmasi, hingga taman itu merupakan bioskop yang digemari di Bandung.
Lapar dan dahaga yang mereka rasakan saat berpuasa hari itu dilepas dengan kisah yang menarik dari Bandung tempo dulu. Deru kendaraan saat melintasi hujan deras sewaktu Farhan bercerita tidak mengalihkan perhatian para peserta.
Tidak hanya sejarah perjalanan bioskop, Kota Bandung memiliki banyak kisah yang menarik untuk diceritakan. Farhan berujar, hal ini menjadi alasannya untuk mendirikan agen perjalanan Cerita Bandung.
”Saya melihat kota-kota lain luar negeri memiliki pemandu wisata. Kelompok-kelompok lain juga sudah ada di Bandung, seperti Komunitas Aleut. Tetapi, di Cerita Bandung, kami mengemasnya dengan ringan dan tujuan wisata literasi,” ujarnya.
Sejak berdiri tahun 2019, Cerita Bandung bahkan memiliki 21 rute yang bisa dijelajahi. Rute ini meliputi Cihampelas, Kosambi, hingga pecinan di daerah Jalan Sudirman dan Banceuy.
”Jadi, setiap minggu ada rute yang berbeda. Sesekali kami juga melakukan trekking ke jalur alam yang lebih panjang lagi. Bandung itu sangat menarik,” ujar Farhan.
Meskipun ringan, semua cerita yang ada bisa membangkitkan rasa penasaran, bahkan inspirasi, dari para peserta. Farhan juga melihat banyak peserta bahkan mencari informasi baru terkait situs-situs sejarah yang mereka singgahi.
”Jadi, ini bisa menjadi jembatan untuk lebih kenal Bandung masa lalu. Peserta bisa saja mencari lebih jauh atau mungkin ikut kelompok jalan-jalan yang bisa mengulik lebih dalam lagi,” ujarnya.
Inspirasi
Tidak hanya mendapatkan cerita yang seru, para peserta pun mendapatkan inspirasi hingga teman baru. Bahkan, bagi Meisya, cerita yang ada bisa menjadi bekal untuk menjadi pemandu wisata yang ingin dia lakukan selepas pandemi.
”Awalnya saya tahu Cerita Bandung ini dari guru saya di SMK Pariwisata dulu. Saya memang ingin menjadi pemandu wisata, dan nanti saat pandemi sudah beres akan dicoba. Dari sini saya bisa belajar,” ujarnya.
Nando (35) juga mencari inspirasi dari perjalanan ini. Sebagai desainer visual di bidang mode, warga Jakarta Selatan ini melihat Bandung sebagai gudang ide yang tidak ada habisnya.
”Saya mendengar cerita sambil membayangkan bagaimana orang-orang berjalan di Braga dengan gaun-gaun mereka. Semua itu menjadi inspirasi yang sangat saya sukai,” ujarnya.
Tidak hanya mencari pengetahuan baru, peserta lain, Mira (35), ikut kegiatan Bioscoop Bandoeng ini untuk menambah relasi. Dia mendapatkan banyak teman baru yang bisa berbagi pengalaman, bahkan cerita-cerita seru, selama perjalanan.
”Saya sering bertemu orang-orang hebat di sini. Berbagi cerita dengan mereka bisa menambah pengetahuan dan cerita-cerita baru,” ujar Mira yang kesehariannya bekerja sebagai wiraswasta di Kota Bandung ini.
Mira pun kerap bercengkerama dengan peserta lain. Mereka terkadang berdiskusi sambil mengamati berbagai bangunan bekas bioskop tempo dulu tersebut.
Diskusi dan perbincangan hangat ini terlihat saat Farhan membuka proyektor zaman dulu yang masih dijaga di Bioskop De Majestic di salah satu ujung Jalan Braga. Bioskop ini telah rampung dibangun sejak 1925 dan disebut juga Bioscoop Concordia.
Di bioskop inilah diputar film dengan latar belakang Sunda pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng. Farhan berujar, meski mengangkat kisah dari Nusantara, film ini belum bisa disebut sebagai karya anak bangsa karena disutradarai oleh dua orang Belanda bernama G Kruger dan L Heuveldorp serta dibintangi pemain pribumi.
Film produksi NV Java Film Company ini diambil dari pantun ”Si Lutung yang Tersesat” ini diputar pada 1926. Namun, bioskop ini bukan yang pertama memutar film di Kota Bandung.
Farhan menyebut, film pertama yang diputar di Bandung berasal dari Bioskop Helios. Bioskop ini berada di persimpangan antara Jalan Braga dan Jalan Kejaksaan. Dia pun menunjukkan potongan surat kabar berbahasa Belanda yang menunjukkan adanya pemutaran film di Bioskop Helios pada 1 Desember 1915.
Perjalanan ini berujung di salah satu sisi alun-alun, tepatnya di dekat Bioskop Dian. Gedung yang telah ada sejak tahun 1930-an ini mulai ditinggalkan di era 1990-an.
Meskipun ditinggalkan, keberadaan bangunan tua ini mampu menggiring memori kejayaan era bioskop masa lalu. Serangkaian kisahnya mampu membuat orang-orang lupa akan lapar dan dahaga mereka saat berpuasa, seperti yang dirasakan peserta tur bioskop ini.
Bahkan, rona kepuasan tergambar di wajah mereka saat perjalanan berakhir. Farhan pun menyodorkan kode pembayaran dari ponsel pintarnya dan dikirim dengan nominal seikhlasnya oleh para peserta.
”Saya tidak mematok bayaran, semua terserah peserta. Saya memang senang bercerita dan Kota Bandung ini punya segudang kisah yang tidak ada habisnya,” ujar Farhan sambil tersenyum.
Masa lalu adalah benih untuk kini dan masa depan. Lewat bioskop lawas di Bandung, kisah kebesaran ”Kota Kembang” terus hidup dan terjaga saat ini.
Baca juga : Pilihan antara Insting dan Hasrat Menonton