Perjuangan Sunyi Timnas Amputasi
Tak digaji, timnas sepak bola amputasi tetap semangat mengharumkan nama bangsa dalam kancah internasional. Mereka rela melepas penghidupan rutinnya untuk sementara. Kehujanan hingga kehausan di negeri jiran pun dilakoni.

Anggota timnas Perkumpulan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI) melakukan pemanasan sebelum berlatih tanding dengan tim Garuda Keadilan FC di lapangan latih kompleks Jakarta Internasional Stadium, Rabu (30/3/2022).
Tanpa ingar bingar dukungan dan perhatian pemerintah, timnas sepak bola amputasi membuat kejutan dengan lolos ke Piala Dunia Amputasi 2022 di Istanbul, Turki. Boleh dikata, mereka mencetak prestasi dalam sunyi.
Sepi masih menguasai mes yang berada di tengah pemukiman padat bergang sempit itu, Kamis pagi. Boleh jadi, tanpa spanduk bergambar para pemain dan pelatih yang terpampang di depan pagar, tak ada yang mengira kalau rumah berukuran sekitar 80 meter persegi itu tempat tinggal penggawa timnas amputasi. Penanda lainnya, hanya sejumlah sepatu bola di depan pintu masuk.
Di ruang tamu yang penuh perlengkapan olahraga dan tongkat penyangga, empat pemain masih tidur dan yang lainnya bermalas-malasan di atas tikar. ”Semua masih istirahat karena tak ada jadwal latihan hari ini,” ujar bek sayap kiri timnas amputasi, Piat Supriatna (31) alias Obrek, yang bangun lebih awal.
Sebanyak 20 pemain dan ofisial menginap di mes itu. Bangunan tersebut sebenarnya rumah Sekretaris Jenderal Perkumpulan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI) Rusharmanto Sutomo yang akrab disapa Tomo. Mereka, para penghuninya, mayoritas orang-orang dari luar Jakarta. Sisanya, lima orang bermukim di sekitar Jakarta memilih pergi-pulang dari mes ketika ada jadwal latihan atau pertemuan.
Ada tiga kamar ber-AC di mes itu yang rata-rata berukuran sekitar 3 x 5 meter. Karena terbatas, kamar biasanya diisi oleh lima hingga tujuh orang. Tak jarang ada yang memilih tidur di ruang tamu. Meski hanya menggunakan kipas angin, ruang tamu lebih lega. Sebagian besar tidur di atas tikar, matras, karpet tipis, atau sofa.

Anggota timnas Perkumpulan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI) saat latihan sebelum berlatih tanding melawan tim Garuda Keadilan FC di lapangan latih kompleks Jakarta Internasional Stadium, Rabu (30/3/2022).
Kecuali makan yang dipesan dari ibu RT setempat, semua melakukan kegiatan sendiri. Obrek, misalnya. Sejak pukul 07.00, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, ini sudah bangun untuk mengganti galon air dan mencuci baju. Sejam kemudian, barulah ia makan. ”Hari ini, menunya tempe, telur, sama kangkung,” katanya.
Seadanya
Sejak pelatnas dimulai pada 13 Februari lalu, timnas mesti merasakan fasilitas seadanya. Selain menginap di mes dadakan, ada pemain yang belum memiliki sepatu. Ia akhirnya memakai sepatu pinjaman rekan di timnas amputasi yang satu kakinya tidak ada sehingga tidak membutuhkan sepatu.
Mereka harus berpindah tempat latihan tiga kali karena belum ada tempat latihan tetap. Awalnya, mereka berlatih di Srengseng, Kebagusan, lantas pindah ke lapangan kompleks DPR, Jakarta sebelum ikut kualifikasi Piala Dunia Zona Asia Timur di Dhaka, Bangladesh, 12-14 Maret lalu.
Untuk menuju tempat latihan, mereka menggunakan sepeda motor yang bisa ditumpangi tiga orang. Pemain bahu-membahu membawa peralatan latihan, termasuk berpasang-pasang tongkat. Mereka merogoh kocek sendiri untuk membeli bahan bakar dan makan di perjalanan. Sampai detik ini, mereka memang tak mendapatkan uang saku ataupun gaji.

Pemain timnas sepak bola amputasi yang tergabung dalam Perkumpulan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI), Imat Hermawan alias Ujay, mengenakan kaki palsunya saat akan beraktivitas di mes di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (31/3/2022).
Boro-boro menggaji pemain, pelatih, dan ofisial, PSAI saja masih punya utang pada agen perjalanan untuk memberangkatkan timnas ke Dhaka. Karena itu, mereka sempat menggalang dana di laman Kitabisa.com.
”Syukurnya, ada donatur membantu, sekitar dua minggu sebelum berangkat. Kami disediakan bus untuk latihan sehingga tak kepanasan dan kehujanan. Sebagian kebutuhan juga dibantu, antara lain, pakaian tanding,” tutur Obrek yang kehilangan kaki kirinya karena kecelakaan kerja pada 2017.
Fredo Dimas Saputro (21) ikut melewati onak dan duri sebagai penggawa timnas amputasi. Ia beberapa kali dihadang hujan seusai latihan dengan menumpang sepeda motor. Basah kuyup sudah tentu. Jika berhenti, lama berteduh hingga 1,5 jam seharusnya bisa dipakai untuk beristirahat. ”Waktu pergi, terik banget. Eh, pulangnya hujan deras. Kekompakan terjaga karena sama-sama menunggu,” kata kiper tersebut.
Kontras
Fasilitas pelatnas timnas amputasi benar-benar kontras dengan timnas nondisabilitas untuk segala kelompok usia. Timnas nondisabilitas biasanya ditempatkan di hotel berbintang. Sekamar besar, umumnya cuma ditempati dua-tiga orang. Mereka nyaris hanya bawa badan. Semua kebutuhan disediakan. Mereka mendapat makanan empat sehat lima sempurna dan layanan binatu.
Untuk latihan, mereka memakai sepatu, kaus kaki, hingga pakaian mentereng produk orisinal yang umumnya dari merek internasional. Tempat latihan sudah pasti. Mereka disediakan tempat istimewa di kompleks Gelora Bung Karno atau Stadion Madya Senayan, Jakarta, yang sering menggusur jadwal latihan pelatnas atletik. Ke tempat latihan, mereka tinggal duduk manis dalam bus berpendingin udara. Rambut rapi berpoles krim tak akan berantakan diterpa angin.
Tidak perlu penggalangan dana untuk ikut kejuaraan di luar negeri. Fasilitas terjamin, personel timnas nondisabilitas pun umumnya mendapat uang saku.
”Kami berharap kesetaraan fasilitas. Lagi pula, kami sama-sama membela dan mengharumkan nama bangsa dan negara,” ujar Ketua Komite Humas dan Media PSAI Vicente Mariano.

Piat Supiatna atau akrab disapa Obrek mengganti galon air di mes tempat mereka menginap selama masa pemusatan latihan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (31/3/2022). Obrek bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam timnas Perkumpulan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI) berhasil lolos menuju piala dunia sepak bola amputasi di Turki pada bulan Oktober 2022.
Tanpa upah, timnas amputasi tak ubahnya sukarelawan. Bahkan, keluarga mereka secara tak langsung ikut berkorban. Mayoritas anggota timnas berprofesi sebagai tenaga kerja lepas dan telah berkeluarga. Kalau tak kerja, mereka tak ada penghasilan. Otomatis tak ada pemasukan untuk keluarga. Selama dua bulan bergabung dengan pelatnas, mereka praktis tak bisa memberikan nafkah.
Bek timnas amputasi, Ahmad Anuar (28), salah satunya. Ia menafkahi anak dan istri dari jualan kopi keliling. Semacam staling alias starbucks keliling. Penghasilannya tak menentu, terbanyak sekitar Rp 100.000 per hari.
Sejak bergabung dengan pelatnas, ia tak bisa bekerja. Paling, ia mengirim uang sesekali kalau ada pemberian dari donatur. ”Kami kerja pengabdian untuk negara. Kami tetap komitmen. Kami memang bergabung karena suka sepak bola dan senasib sepenanggungan. Kami berprestasi dulu sebaik-baiknya. Semoga jerih payah kami dihargai pemerintah,” jelas Anuar yang kehilangan kaki kiri akibat kebakaran yang melanda rumahnya pada 2010.
Adapun Bahiri membantu orangtua yang sepuh di kebun, selain berjualan voucer internet dan kopi di rumahnya di Jember, Jawa Timur. Penghasilannya sekitar Rp 1 juta per bulan. Kaki kanan dan sejumlah jari tangan Bahiri tak sempurna bawaan lahir.
Tanpa Bahiri, tak ada yang membantu orangtuanya di kebun. Ia anak lelaki satu-satunya. Lima kakaknya perempuan. ”Bukan hanya materi, bisa sehat dan bergabung dengan timnas juga rezeki,” ujarnya.
Kisah tak jauh berbeda dialami pelatih penjaga gawang timnas amputasi, Iman Sudrajat (40). Pria asal Ciamis, Jabar, ini berprofesi sebagai pelatih di beberapa tempat.

Mes tempat pelatihan bagi pemain timnas Perkumpulan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI) di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (31/3/2022). Rumah yang berada di gang sempit itu merupakan rumah keluarga milik Sekjen PSAI Rusharmanto Sutomo yang dijadikan mes bagi timnas sepak bola amputasi.
Karena cuti bergabung dengan timnas amputasi pada Februari 2022, penghasilan Iman yang nondisabilitas berkurang drastis. Ia digaji dari dua sekolah di Bogor masing-masing Rp 1,5 juta per bulan. Iman juga kehilangan penghasilan dari SD dan SMP di Sukabumi yang bisa Rp 250.000 per pertemuan.
”Kerja keras bakal berbuah manis suatu hari. Semoga Tuhan tak hanya membuka mata, tetapi juga hati semua orang, terutama pemerintah agar tergerak membantu tim yang diisi pemain-pemain luar biasa ini,” kata Iman.
Tomo turut menuturkan jatuh bangun timnas amputasi saat bertandang ke Bangladesh. Saat transit di Malaysia saja selama delapan jam, mereka hanya bisa membeli sebotol air. ”Buat serombongan. Giliran minum semuanya 18 orang. Enggak minum lagi sampai Bangladesh,” ucapnya.
Di pesawat, minuman pun tak disediakan karena tarifnya murah. Bekal dibawa, tetapi tak banyak yang menyentuhnya lantaran khawatir bikin tenggorokan seret. Mereka baru bisa memuaskan dahaga dan laparnya di hotel. Tomo sampai mengelus dada, terenyuh, bahkan menitikkan air mata.

Para pemain timnas sepak bola amputasi yang tergabung dalam Perkumpulan Sepakbola Amputasi Indonesia (PSAI) tidur di ruang tamu sekenanya karena keterbatasan kamar di mes tempat mereka menjalani pemusatan latihan di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (31/3/2022). Dengan fasilitas seadanya dan tanpa bayaran timnas amputasi ini berhasil lolos menuju piala dunia sepak bola amputasi pada bulan Oktober 2022 di Turki. Mereka membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat.
”Waktu timnas lolos ke Turki, saya nangis lagi. Kerja keras tak mengkhianati hasil. Teman-teman enggak banyak menuntut dan paham kesulitan pengurus,” ujarnya. Sambutan meriah merebak seusai timnas amputasi menggenggam tiket menuju Piala Dunia Amputasi di Turki.
Setelah lolos ke Turki, Kementerian Pemuda dan Olahraga memberi dukungan agar mereka tambah berprestasi. Pemusatan latihan, tiket ke Turki, nota kesepahaman dengan perusahaan produk olahraga, dan peluncuran seragam timnas sudah dicanangkan.
Sebagaimana timnas nondisabilitas, timnas amputasi membawa logo Garuda di dada seragamnya. ”Walau kami orang-orang amputasi, Garuda di dada kami tidak akan bersayap satu,” ujar penyerang timnas amputasi, Muhammad Shiddiq Bahiri (23).
Timnas amputasi tak akan berhenti untuk terbang tinggi.