Di lapangan sepak bola, wajah para pemain sepak bola amputasi terlihat bahagia. Kehidupan kedua mereka telah berlabuh di sana.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH, ELSA EMIRIA LEBA, DWI BAYU RADIUS
·6 menit baca
Di lapangan sepak bola, mereka yang kehilangan kaki menemukan lagi semangat hidup. Bahkan, mereka berhasil meraih mimpi yang sampai kini tidak bisa diwujudkan timnas sepak bola Indonesia yang memiliki dua kaki: mendapat tiket ke Piala Dunia sepak bola. Inilah kisah perjuangan dan pergulatan hidup timnas amputasi Indonesia.
Rabu (30/3/2022), timnas sepak bola amputasi Indonesia unjuk gigi dalam laga persahabatan di Stadion Internasional Jakarta yang megah. Meski menggunakan dua tongkat untuk menopang beban tubuh, mereka lincah menggocek dengan satu kaki, mengumpan, bahkan melakukan tendangan salto. Sore itu, lawan mereka, komunitas sepak bola nondisabilitas Garuda Keadilan yang unggul secara fisik, dibuat kerepotan.
Meski pada laga itu timnas amputasi kalah 3-8, mereka menang melawan musuh yang jauh lebih berat, yakni rasa minder dan frustrasi yang lama membelenggu akibat kehilangan salah satu kaki. ”Di atas lapangan hijau, semua keluh kesah sirna. Dunia rasanya milik sendiri. Inilah yang lambat laun membangkitkan lagi semangat kami (yang sempat hilang),” ujar Piat Supriatna alias Obrek (31), bek sayap kiri timnas amputasi, asal Sukabumi, Jawa Barat.
Obrek ingat betul kecelakaan di Alas Roban, Jawa Tengah, lima tahun silam, yang membuat hidupnya berubah drastis. Saat itu ia bertugas sebagai kondektur bus pariwisata yang membawa rombongan pelajar pulang tur dari Surabaya ke Jakarta. Tiba-tiba bus itu menabrak bagian belakang truk tronton yang menyebabkan kaki kirinya putus.
Peristiwa tersebut memukul telak mental Obrek. ”Setelah kejadian itu, saya terpuruk sekali, tidak berani keluar rumah. Sehari-hari cuma makan, tidur, dan nonton televisi. Saya terus kepikiran, bagaimana nasib saya ke depan,” tuturnya dengan suara lirih.
Empat bulan kemudian, barulah Obrek mulai berani keluar rumah. Dia berusaha tegar agar kedua orangtua, tiga adiknya, dan sanak keluarga lain tidak larut dalam duka. Ia mulai kembali bekerja di perusahaan bus yang sama. Namun, posisinya digeser dari kondektur menjadi resepsionis kantor yang berada di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Ia merasa tidak nyaman dengan posisi barunya dan akhirnya keluar pada Oktober 2019. Ia berniat membuka lembaran baru dengan membuka usaha penatu di rumah.
Belum sempat usaha itu terwujud, temannya memberi tahu dia bahwa Perkumpulan Sepak Bola Amputasi Indonesia (PSAI) sedang mencari pemain untuk timnas. Obrek yang senang bermain sepak bola tertarik pada program itu. Ia pun nekat naik sepeda sendirian dari Sukabumi ke Jakarta selama enam jam demi mengetahui tentang PSAI.
”Waktu itu, saya melihat latihan teman-teman yang sudah gabung duluan. Saya lihat, kok, bisa ya orang-orang amputasi ini main bolanya kencang-kencang,” ucapnya.
Mereka berasal dari latar belakang yang beragam, ada yang pekerja kantoran, pekerja serabutan, pedagang asongan, dan buruh. ”Sehari-hari, mereka tidak pernah mengeluhkan keterbatasan fisik ataupun penghasilan. Itulah yang menyentuh hati saya,” katanya.
Singkat cerita, Obrek berhasil bergabung dengan tim PSAI. Ia berlatih keras bermain dengan sanggahan dua tongkat. Seiring waktu, ia merasa lapangan sepak bola menggelorakan lagi semangat hidupnya yang sempat padam. Tidak hanya itu, sepak bola juga membawa Obrek dan tim pada kesempatan untuk tampil di Piala Dunia Amputasi 2022 di Istanbul, Turki, pada Oktober 2022.
Tiket itu diperoleh setelah timnas amputasi Indonesia menempati posisi kedua kualifikasi zona Asia Timur di Dhaka, Bangladesh, 12-14 Maret. Mereka menang dua kali dan kalah sekali.
”Saya seperti hidup kembali dan memiliki tujuan hidup lagi. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak ada di sini,” ujar Obrek dengan mata berkaca-kaca dan suara bergetar menahan haru.
Sebagaimana Obrek, kehidupan Aditya (24) berubah 180 derajat akibat kehilangan satu kaki pada 2019. Sebelumnya, ia meniti karier sebagai pemain sepak bola di tim Persib Bandung U-17 medio 2014-2015. Pada sebuah laga, kakinya ditekel dengan amat keras oleh pemain lawan. Karena penanganan cedera yang tidak tepat, kaki kanannya membusuk sehingga harus diamputasi pada pertengahan 2019.
Saat itu Aditya berpikir kariernya di sepak bola, bahkan hidupnya, sudah tamat. ”Sehabis operasi, saya meraba-raba bagaimana kehidupan kedua saya nanti,” ujarnya.
Setitik harapan muncul tak lama berselang setelah ia mengenal sepak bola amputasi. Ia lolos sebagai anggota tim dan menjadi kapten timnas amputasi. Lewat timnas amputasi, ia mendapat kesempatan kedua untuk mencetak prestasi tertinggi sepak bola, yakni tampil di Piala Dunia. Sebuah prestasi yang bahkan tidak berani ia impikan saat menjadi pemain sepak bola nondisabilitas.
”Tampil di tingkat dunia (Piala Dunia) adalah mimpi dunia sepak bola Indonesia dan kamilah (tim sepak bola amputasi) yang berhasil mewujudkan mimpi itu,” kata Aditya yang rajin mengabarkan setiap aktivitas latihan timnas amputasi melalui media sosial.
Lewat timnas amputasi pula, Imat Hermawan alias Ujay (32) mewujudkan mimpi. Sejak kecil, ia menyukai sepak bola dan bercita-cita menjadi penyerang tajam layaknya Filippo Inzaghi dari Italia. Apa daya, sejak lahir kaki kanannya tidak utuh. Ia kehilangan kepercayaan diri sejak remaja dan bertahun-tahun kemudian baru bisa berdamai dengan keadaan.
Siapa sangka, mimpi pria kelahiran 10 Juni 1989 ini terealisasi tatkala bergabung dengan PSAI pada 2019. ”Saat SMP, saya mulai ragu untuk menggapai mimpi menjadi pesepak bola. Saya realistis dengan kondisi fisik saya dan tidak ada wadah untuk orang seperti saya. Tapi, akhirnya, saya mengenal PSAI. Saya benar-benar menjadi pesepak bola, bahkan membela timnas,” tutur Ujay.
Kebanggaan keluarga
Kiprah pemain timnas amputasi menjadi kebanggaan tak terkira untuk keluarganya. ”Saya sebagai keluarganya sangat terharu karena justru dia yang kini balik memberi semangat kepada keluarga. Saya kagum karena belum tentu saya sekuat itu,” kata paman Obrek, Rohmat Hidayat (42), yang biasa disapa Omen.
Obrek kini menjadi kebanggaan dan sumber inspirasi keluarga. Oleh karena itu, sepanjang kualifikasi pada Maret lalu, keluarga besar Obrek berkumpul bersama di tempat percetakan milik Omen untuk nonton bareng laga timnas amputasi walau sedang dalam suasana duka karena salah satu kerabat meninggal.
Mereka memberikan dukungan dengan berbagai cara, termasuk patungan uang untuk ongkos Obrek pergi ke Jakarta walaupun Obrek tidak pernah meminta. ”Ada yang kasih Rp 30.000 atau Rp 50.000. Saya juga kasih paling besar, Rp 100.000, untuk bekal dia di jalan,” ujar Omen.
Dukungan Omen tidak berhenti di situ. Omen sudah menjanjikan pekerjaan di usaha percetakan dan pangkas rambut miliknya. ”Saya bilang, ’Tenang saja. Kalau mau kerja, di saya saja’.”
Dukungan penuh keluarga juga diberikan kepada Kabul Efendi (28), bek timnas amputasi Indonesia. Robin Ikbal (27), adik Kabul, menceritakan, keluarga awalnya tidak mengizinkan Kabul pergi ke Jakarta untuk bergabung dengan timnas amputasi. Namun, tekad besar Kabul untuk bermain sepak bola membuat keluarga berubah pikiran. ”Kami bangga sekali, apalagi dia bisa pergi ke luar negeri untuk bertanding,” ujarnya.
Di lapangan sepak bola, wajah para pemain sepak bola amputasi terlihat bahagia. Kehidupan kedua mereka telah berlabuh di sana.