Berbagi Rumah dengan yang Mati
Di Kampung Katiasa dalam kawasan TPU Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Cirebon, Jawa Barat, batas antara kehidupan dan kematian hampir tidak ada. Rumah warga berdampingan langsung dengan kuburan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F24%2F6feaea2a-1e62-4541-b1cd-d3f67911795e_jpg.jpg)
Sebuah rumah yang dikontrakkan berada di kompleks TPU Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (22/3/2022).
Sebuah absurditas tampak di Kampung Katiasa dalam kawasan TPU Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Cirebon, Jawa Barat. Banyak warga tinggal bertetangga langsung dengan kuburan selama puluhan tahun. Garis batas antara riuhnya kehidupan dan sunyinya kematian terasa kabur.
”Kami hidup berdampingan, ya, berbeda alam saja,” kata Diding (79), warga Katiasa RT 001 RW 009, saat ditemui di warungnya, Selasa (22/3/2022).
Katiasa adalah salah satu kampung yang berada dalam TPU Kemlaten. Dari empat RT yang ada, RT 001 menjadi wilayah dengan rumah yang paling banyak berdampingan dengan kuburan. Rumah Diding yang bertingkat dua merupakan contohnya. Alhasil, mata lelaki ini sudah terbiasa menatap hamparan kuburan.
Rumah perantau asal Palembang ini berseberangan langsung dengan kompleks pekuburan Karangenggal RT 003 RW 012 di Kampung Kuranji, Harjamukti. Belum lagi ada sekitar delapan kuburan tua berada di halaman rumah Diding, yang mana dua di antaranya berdiri tepat di samping kiri dan kanan pintu depan. Ibarat tugu selamat datang.
Rumah Diding berdiri sejak 1985, sedangkan kuburan di depan rumah sudah ada sejak 1965. Ia tidak keberatan. Ayah delapan anak ini berprinsip, mereka tidak akan diganggu selama sopan, taat beribadah, dan tidak takut. Kuburan-kuburan itu juga mereka bersihkan dengan sukarela setiap hari seperti bagian dari rumah sendiri.
Diding mengaku, tinggal di TPU Kemlaten adalah pilihan terakhir. Tinggal di kawasan pemakaman masih lebih baik ketimbang di kolong jembatan. Kakek berambut putih ini menyadari, jika di kota besar seperti Jakarta, rumahnya sudah pasti digusur.
Westuti (41), warga RT 001 RW 009 lainnya, pindah ke Katiasa mengikuti suaminya sejak 2007. Sebagai pendatang baru, Tuti, demikian sapaannya, sempat kaget karena rumahnya berhadapan dengan deretan kuburan yang jaraknya kira-kira hanya 2 meter dari pintu depan.
Namun, ibu empat putri ini memberanikan diri. ”Baru tiga hari pindah ada yang kubur di depan rumah saya. Saya sempat agak risih, tetapi saya yang penting punya rumah walaupun kecil,” ujar Tuti yang membuka warung tak jauh dari depan rumahnya.
Lama-lama Tuti terbiasa. Keluarga perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, malahan jadi sering beraktivitas di dekat kuburan. Mereka nongkrong, ngadem, hingga tiduran di kuburan.
Tinggal di dekat kuburan pun cukup membantu Tuti secara ekonomi. Warungnya menjelma sebagai tempat melepas lapar dan dahaga pekerja percetakan di Kanggraksan. Pembeli bertambah saat Lebaran berkat peziarah sehingga ia bisa meraup omzet Rp 700.000 sehari.
Ditambah lagi Tuti mempunyai sekitar 10 pelanggan yang memintanya membersihkan kuburan keluarga di sekitar rumah. Besaran tip-nya beragam, ia bisa mendapat Rp 20.000 dari satu pelanggan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F24%2F2c1aff25-3e33-4879-a3ac-1c541d0371d5_jpg.jpg)
Diding (79) berada di depan rumahnya yang dipenuhi makam di TPU Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (22/3/2022). Diding telah tinggal di sana sejak tahun 1985.
Biasa-biasa saja
Tinggal di kawasan pemakaman membuat warga tidak lagi menganggap kuburan sebagai tempat seram yang perlu dijauhi. Sepanjang hari terlihat anak, ibu, dan bapak nongkrong atau sekadar ngadem di kuburan. Satu bocah laki-laki malah asyik berbaring di atas kuburan sembari bermain gawai. Kuburan yang berpagar menjadi tempat jemuran.
Warga Katiasa jadi dekat dengan kematian. ”Kami jadi melihat orang mati biasa-biasa saja. Kami juga pasti akan dijemput, tetapi waktunya enggak tahu. Yang penting saya bisa makan, minum, sehat, dan pikirannya tenang,” kata Diding singkat.
Ketua RW 009 Katiasa, Achmad Kurdiana (53), menjelaskan, warga tidak masalah keluar tengah malam atau melihat hantu. Anak-anak juga tidak takut melihat mayat. ”Mereka sudah terbiasa dengan kematian bagian dari kehidupan,” kata Ujang, sapaan akrabnya.
Ditarik ke belakang, Ujang menuturkan, TPU Kemlaten yang menjadi rumah bagi 11.000 nisan sudah berdiri sejak 1933. Kompleks pemakaman ini lebih dulu ada dari permukiman. Lahan makam dimiliki oleh keraton, pemerintah kota, dan adat. Sejak 1970-an, warga pendatang kian menetap tanah wakaf di pekuburan ini berkat kehadiran Terminal Harjamukti.
Ujang melanjutkan, Katiasa memiliki luas sekitar 6,8 hektar di mana sekitar empat hektar untuk pemakaman dan sisanya untuk perumahan warga. Saat ini, di RW 009, terdapat sekitar 930 jiwa yang menghuni 210 unit rumah. Saking padatnya kampung ini, hajatan warga mesti digelar di perempatan jalan dan makam mulai ditumpuk asalkan masih keluarga.
Sebagian besar warga bekerja sebagai buruh harian lepas, seperti penggali kubur dan buruh. Ibu-ibu membuka warung atau menjadi perawat makam. Tempat tinggal warga bisa dibilang kurang layak. Air tanahnya saja berbau bangkai. ”Pemakaman ini sumber kehidupan dan ekonomi bagi mereka. Mau ke mana lagi?” kata Ujang.
Menurut Ujang, ada sejumlah tradisi yang harus dilakukan saat akan menggelar hajatan. Mereka biasa melakukan tawasul atau mengirim doa ke sejumlah makam para tokoh agama Islam di situ. Jika lupa, nasi yang dimasak bisa tidak matang atau alat musik tidak bunyi.
Bagi orang luar, pemandangan TPU Kemlaten sedikit membuat takjub. Ida Tjandra (56), warga yang tinggal di Langensari, kaget dengan hunian warga di dekat kuburan meskipun orang Cirebon. ”Saya takut lewat sini, apalagi kalau malam. Serem banget. Berarti ’tetangga’ pada diam-diaman semua karena makam, kan,” ujarnya sambil bergidik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F24%2F9a58cf0e-7eef-432e-9560-f9531aad265a_jpg.jpg)
Ibu-ibu mengasuh anak mereka sambil ngerumpi di antara nisan makam di kompleks TPU Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Selasa (22/3/2022). Warga yang tinggal di kampung tersebut terbiasa melakukan berbagai kegiatan sehari-hari di area makam karena kampung mereka berada di dalam komplek makam. Bahkan, tidak sedikit rumah warga yang berdempetan dengan makam.
Keterdesakan warga
Akbarudin Sucipto, pengamat budaya Cirebon, menuturkan, Kemlaten mengacu pada situasi ketika muncul aroma melati di udara. Konon, aroma melati menguar dari keranda Syekh Siti Jenar, tokoh penyebar Islam, saat akan dimakamkan di situ lebih dari 500 tahun silam.
Di masa kini, ucap Akbar, keberadaan permukiman di TPU Kemlaten terjadi akibat keterdesakan warga yang membutuhkan lahan, lokasi yang strategis secara ekonomi di dekat terminal dan pasar, serta pengabaian pemerintah. Apalagi, sejak zaman Kolonial Belanda, Cirebon mengalami konflik kepemilikan tanah yang berkepanjangan sampai sekarang.
Seiring waktu berlalu, warga yang tinggal di pemakaman kini mendapat manfaat ekonomi ”kreatif” lain. Mereka bekerja sebagai penggali kubur atau pengurus makam dadakan untuk mendapatkan uang dari peziarah. Kompleks pemakaman menjadi tempat komersial.
Salah satu penjaga TPU Kemlaten, Aan Mulyana (59), contohnya, biasa mendapat Rp 50.000-Rp 100.000 dari peziarah atas jasa merawat makam di luar ongkos mengurus pemakaman. Saat Lebaran, ia mampu mendapatkan uang Rp 2,5 juta dalam seminggu. ”Saya mengawasi Blok A itu ada sekitar 2.000 makam jadi harus hafal,” kata Aan.
Baca juga: Gaung Sumbang dari Paris
Masyarakat Cirebon sebenarnya dekat dengan pemakaman. Banyak makam dapat ditemukan di gang-gang. Mereka juga menghormati makam, bisa dilihat dari penyelenggaraan tradisi ngunjung buyut, nyekar, kirim arwah, sedekah bumi, atau nyadran. Orientasi tradisi-tradisi ini bukan pada pemujaan, tetapi mengenang atau mengambil spirit tokoh yang dimakamkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F24%2Fb3ff1775-b6dd-44fa-89f8-9c3ad54970ff_jpg.jpg)
Ida (61) mencuci pakaian di rumahnya yang berada di kompleks TPU Kemlaten, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (23/3/2022). Ia mengakui telah tinggal di rumah yang berdekatan dengan makam sejak tahun 1981. Saat ini terdapat 10 makam di pekarangan rumahnya.
Akbar melanjutkan, untuk konteks di Kemlaten, warga di sana bersifat heterogen dan pragmatis. Karena itu, sulit untuk mengukur apakah kampung itu religius atau tidak lantaran hal yang bersifat tabu di kampung lain bisa terjadi di Kemlaten.
”Ada jargon luar biasa walaupun menyakitkan yang muncul di tempat pemakaman Sunan Gunung Jati, sebuah potret yang terlihat sampai era sekarang. Wong mati makani wong urip atau orang mati memberi makan orang hidup,” ucapnya. Di Cirebon, ucapan itu jelas terbukti.