Pada masa pandemi, cerita Lena, ia tidak tahu harus melakukan apa dengan keberadaannya sebagai seorang penari. Pembatasan sosial sebagai dasar terbebas dari paparan Covid-19 telah mengekang tubuhnya.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·4 menit baca
Lena Guslina tak pernah mengenal lukisan Jackson Pollock, apalagi cara kerjanya. Selama 22 tahun, ia ”cuma” menekuni dan memahami tari sebagai bahasa tubuh dan ekspresi jiwanya. Rupanya, pandemi Covid-19 telah mengubah peta jalan keseniannya. Sebanyak 30 lukisan karyanya dipamerkan di Galeri Pusat Kebudayaan Bandung.
Kurator Galeri Pusat Kebudayaan Bandung, Isa Perkasa, selama ini hanya mengenal Lena sebagai penari dan koreografer. ”Seringnya Lena mengisi sesi performance art di antara para perupa yang sedang pameran. Ia juga kerap jadi model para pelukis,” kata Isa, Minggu (20/3/2022), seusai pembukaan pameran. Pameran bertajuk ”Kumau Diriku: Gerak Garis Lena Guslina”ini berlangsung 20-23 Maret 2022.
Catatan Isa benar adanya. Saat pembukaan pamerannya sendiri, Lena menggelar performance art. Ia menari mengenakan jubah kanvas bermotifkan tetes-tetes cat serta topeng berwarna putih. Barangkali ini menjadi bahasa tubuh yang menyimbolkan pertemuan antara seni rupa dan tari. Ketika Lena mengibaskan jubahnya, tampak bahwa motif tetesan cat itu serupa dengan teknik yang dipakainya dalam lukisan-lukisan yang sedang ia pamerkan.
Tak sekadar pertunjukan, Lena juga mengundang pemikir dan pelaku seni Bambang Sugiharto dan FX Widaryanto dalam sesi bincang-bincang yang dipandu sastrawan Ahda Imran. Menurut Widaryanto, sebagai gurunya, ia mengenal Lena menjadi mahasiswa yang ”nakal”. ”Karya dan pemikirannya selalu berbeda dengan mahasiswa lain,” kata Widaryanto yang mengajar di STSI (ISBI) Bandung, tempat Lena menempuh pendidikannya.
Widaryanto memahami lukisan-lukisan Lena sebagai cetusan perasaan terkungkung yang tidak bisa diterjemahkan dengan bahasa verbal. Oleh karena itu, jika karya-karya yang lahir non-representasional, memang itulah bahasa simbolik dari kecemasan dan kegamangan di tengah pandemi Covid-19. ”Lena seperti menari, tidak dengan bahasa tubuh yang terkungkung berbagai pranata sosial, tetapi dengan bahasa warna, garis, dan gerak tangan,” kata Widaryanto.
Secara konseptual, kata Bambang Sugiharto, rigiditas terhadap sekat-sekat kesenian hanya akan menghasilkan kekerdilan. Memang, dalam konsep seni modern, pemisahan cabang-cabang seni menuju pada spesialisasi. ”Tetapi, ujungnya malah memiskinkan,” katanya.
Oleh karena itu, apa yang dikerjakan Lena menjadi penting dicatat sebagai pencapaian ekspresi seorang seniman. Pameran Lena, katanya, ibarat pergerakan pencarian seorang seniman sebagai upaya terus-menerus merunut peta jalan keseniannya. ”Ini tidak ada ujungnya, bergerak terus untuk mencapai kebenaran,” katanya.
Tetesan jari
Pada masa pandemi, cerita Lena, ia tidak tahu harus melakukan apa dengan keberadaannya sebagai seorang penari. Pembatasan sosial sebagai prasyarat dasar terbebas dari paparan Covid-19 telah mengekang tubuhnya. Secara psikologis, ia merasa tertekan dan cemas. Berita-berita yang menyebar lewat berbagai kanal media menjelma menjadi teror yang membuatnya khawatir akan keselamatan diri sendiri dan keluarganya.
”Jadi aku mau diriku, tetapi diriku yang mana? Itulah kata kunci pada masa awal sebagai langkah pembebasan. Mungkin sebagian tecermin dalam lukisan,” kata Lena.
Lukisan-lukisan Lena, misalnya, diberi judul ”Gloomy”, ”Misteri”, ”Elusif”, ”Chaotic”, ”Gemuruh Sunyi”, ”Ambigu”, ”Delusi”, ”Tirani”, dan ”Disappointed”. Karya-karya ini dilukis dengan teknik tetesan cat di atas jemari. Lena meletakkan kanvas di lantai, kemudian mencelup cat dan menarikan jemarinya di atas kanvas. Tetes-tetes cat dan warna yang menyentuh bidang kanvas seolah bergerak dinamis, saling bertumpuk memberi dimensi.
”Tidak ada kuas, karena aku tidak bisa pegang kuas,” kata Lena. Berbeda dengan teknik yang diterapkan Jackson Pollock pada awal 1950-an ketika ia meneteskan cat-cat ”rumah tangga” lewat media kuas. Hasilnya memang serupa. Pollock dianggap sebagai salah satu pelopor gaya melukis abstrak ekspresionisme, yang memanjang sampai ke Indonesia. Tahun 1990-an, para pelukis yang tergabung dalam Sanggar Dewata (bermula dari ISI Yogyakarta) dikenal sebagai penganut utama aliran ini.
Lewat judul-judul tadi, lukisan-lukisan Lena merepresentasikan kegundahan, kecemasan, serta perasaan terteror. Ia kemudian mendedahkan segala perasaan tertekan itu lewat tarian warna, yang menjelma menjadi bentuk-bentuk abstrak. Bukan abstraksi dari sebuah benda, melainkan lebih kepada cetusan perasaan yang menekan dan mendesak.
Lalu melukis sebagai medium pembebasan, misalnya tampak pada lukisan Lena berjudul ”Risk Taker”, ”Spill Off”, ”Petarung”, ”Kepak Seribu Sayap”, ”Grasshopper”, ”Erupsi”, ”Asa”, ”Love”, ”Merajut Mimpi”, dan ”Berlayar”. Lukisan-lukisan ini seolah bergerak dari keputusannya mengambil risiko. Ia tidak paham apa yang sedang ia telusur di kamar seorang diri. ”Tetapi, di situ, aku mulai merajut mimpi, kemudian spill off, menumpahkan segalanya. Ia seperti ledakan sebuah erupsi akibat dari pertarungan,” tutur Lena.
Ia sendiri tidak tahu akan berujung di mana ”pemberontakan” terhadap keterbelengguannya semasa pandemi. Namun, katanya, pelan-pelan ia bisa mengepakkan sayap untuk merajut asa dan cinta. ”Syukur-syukur bisa berlayar dan menyeberang menuju keindahan yang aku impikan. Itulah melahirkan rasa bahagia,” ujarnya.
Dalam latar warna kuning jernih, beberapa tetes warna mengibaratkan gerakan kawanan perahu sedang menuju cakrawala. Lukisan berjudul ”Berlayar” ini barangkali menjadi impresi ketenangan batin Lena setelah melampaui badai dan ombak besar di tengah lautan. Pada akhirnya, ujar Lena, setiap orang memiliki bahasa dan ekspresi personal dalam membebaskan diri dari kungkungan pandemi.
Ia merasa beruntung karena memilih jalan kesenian. Lewat bahasa seni, ia berharap bisa berbagi kepada publik untuk kemudian bersama-sama melakukan apresiasi menuju pencerahan lahir dan batin. Jadi, jika karyanya berwujud sebuah lukisan, itu hanyalah bahasa visual yang dianggap paling mampu mewakili kebutuhan publik dalam rangka, sekali lagi, menuju pencerahan.