Yang Mengendap dari Petualangan Mereka
Sebuah perjalanan bagi sebagian orang memberikan ”keajaiban” ke dalam hidup mereka. Apa yang mereka temui dan rasakan di sepanjang jalan mampu membuka cara pandang, bahkan membuat pribadi lebih humanis.
Melakukan perjalanan, bukan hanya untuk rekreasi. Sebuah perjalanan bagi sebagian orang memberikan ”keajaiban” ke dalam hidup mereka. Apa yang mereka temui dan rasakan di sepanjang jalan mampu membuka cara pandang, bahkan membuat pribadi lebih humanis dan menghargai keberadaan sesama makhluk Tuhan.
Dari bersepeda mulai Nijmegen, Belanda, ke Jakarta, Indonesia, selama 11 bulan 15 hari (2 April 2018- 23 Februari 2019) pasangan Diego Yanuar (35) dan Marlies Fennema, warga Belanda, mendapat banyak hal baru yang membuka cakrawala pemikiran mengenai kehidupan, manusia, hewan, dan tumbuhan. ”Aku menjadi lebih memahami manusia yang kutemui. Dampak dari perjalanan itu, antara lain, aku tak lagi menilai orang hanya dari perspektifku, sebab setiap orang punya perspektif dan budaya berbeda-beda,” kata Diego, alumnus Universitas Prasetya Mulya Jakarta, pada Rabu (9/2/2022) lewat telepon dari Arnhem, Belanda.
Satu hal yang paling mengesankan Diego, yang kini menikah dengan Marlies dan punya seorang bayi, adalah ketulusan hati warga di perdesaan Iran, Tajikistan, Turki, dan lainnya. Mereka tak mengenal Diego dan Marlies, tetapi ketika melihat keduanya datang dengan sepeda dan beban masing-masing bisa mencapai 25 kilogram di punggung, secara spontan mereka memberi makanan, minuman. Bahkan, meminta mereka singgah ke rumahnya.
”Ketika saya atau Marlies membeli buah atau barang lain, mereka tak ragu memberi makanan. Kami sama-sama tak saling memahami bahasa masing-masing. Biasanya saya membuka Google Translate, tetapi jika tak bisa, hanya memakai kata yes dan no,” ujar Diego. Kerap kali keakraban kemudian terjalin antarmereka. Sampai-sampai Marlies mendapat tawaran untuk memakai mobil salah satu warga. ”Bisa jadi dia bercanda, tetapi buat saya, penerimaan tulus mereka membuat kami belajar banyak hal,” tambah Diego.
Ketulusan hati para warga tersebut membuat Diego belajar. Jika ingin membantu orang, bantulah tanpa memikirkan mereka siapa, bantuan itu digunakan untuk hal yang paling mereka butuhkan atau tidak. Sikap spontan itu yang kemudian ia lakukan pada tahun 2019, seusai penjelajahannya. Saat itu musim panas, ia sedang makan ikan goreng di kios ikan di pasar mingguan Nijmegen, Belanda. Tiba-tiba datang seorang ibu minta uang. Ia bingung sebab saat itu tak menyimpan uang kertas atau koin di kantong, maklum saat ini hampir semua pembayaran memakai kartu. Ia lalu mengajak ibu itu makan bersama dengannya. ”Kami makan bersama. Senang rasanya melihat ibu itu senang,” kata Diego.
Ia berpikir apa yang telah ia lakukan merupakan dampak dari pengalaman penjelajahannya waktu itu. Naik sepeda dari Belanda ke Indonesia dengan melintasi 21 negara bukan perjalanan pertama dua insan itu. Tahun 2017, keduanya pernah bertualang dengan naik mobil dari Jakarta ke Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, selama satu bulan. Dua perjalanan melintasi banyak kota, daerah perdesaan, dan pegunungan itu mengisi relung hati Diego dan Marlies dengan kebijaksanaan.
Tak mau merasakan ”keajaiban sendirian, pasangan itu membagikan hikmah dan pengalaman perjalanan yang mereka namakan Everything In Between itu dalam bentuk film. Menurut Diego, film berisi kisah perjalanan berjudul The Bikes’s Journal tersebut dikemas secara ringan dalam durasi 55 menit. Ia menganggap banyak yang bisa diceritakan, misalnya waktu di China, ia dan Marlies kehujanan beberapa hari.
”Kami pikir itu tanda sial, tapi begitu berhenti dan ngobrol dengan orang lokal, mereka menganggap hujan adalah simbol keberuntungan. Ada lagi tentang perbatasan antarnegara yang sebenarnya tidak ada, tentang kita yang berbeda, tapi ternyata satu,” jelas Diego tentang film yang bisa dilihat di Youtube. Sementara itu, Marlies sudah menerbitkan buku cerita anak dalam bahasa Indonesia dan Belanda yang ceritanya berlatar belakang perjalanan itu.
Memperkaya batin
Upaya mencari lokasi yang pernah menjadi referensi gambar dalam komik Petualangan Tintin karya Hergé dari Belgia memperkaya batin untuk menjadi manusia yang lebih baik bagi Nelwin Aldriansyah (52). Lelaki itu telah berkelana ke 18 negara di Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika pada kurun 2005-2019. Ia sudah mengunjungi 31 lokasi, antara lain Red Square di Rusia, Menara Eiffel di Perancis, Patan Durbar Square di Nepal, Petra di Jordania, dan Piramida Giza di Mesir.
”Tapak tilas itu memperkaya pengalaman. Saya jadi mengenal berbagai kultur seperti yang digambar Hergé dan berinteraksi dengan masyarakat setempat membuat saya memperoleh kekayaan batin untuk menjadi manusia yang lebih baik,” kata Nelwin dalam wawancara virtual dari Jakarta, Rabu (9/2/2022).
Pada awal-awal, komik Tintin yang dirilis pada 1929 memang cenderung rasis pada orang bukan kulit putih. Namun, karakter Tintin berkembang seiring waktu berlalu. Tintin menjadi karakter yang humanis dan setia kawan yang mendorong kesetaraan. Nelwin ikut mempelajari nilai-nilai universal itu.
Dalam setiap perjalanan ia bertemu dengan banyak orang dari beragam ras, budaya, dan latar belakang. Ia banyak dibantu warga lokal saat berkelana. Waktu pergi ke Machu Picchu, Peru, misalnya, dia mengobrol dengan warga lokal di kereta untuk menceritakan perjalanannya menggunakan bahasa tubuh.
Menurut Nelwin, interaksi itu mematahkan stereotipe negatif tentang orang lain. Di komik, orang Amerika Latin digambarkan culas. ”Ternyata mereka sama saja seperti kita, di mana saja pasti ada orang baik dan jahat. Yang penting kita berinteraksi dengan baik, maka respons orang itu juga akan baik,” katanya.
Perjalanan itu juga membuka mata Nelwin tentang empati. Saat berkunjung ke lokasi yang kumuh atau kotor, Nelwin tidak langsung menghakimi tempat itu. Ia jadi berpikir dari perspektif lain, seperti lokasi itu kotor karena kemiskinan sehingga kekurangan dana pengelolaan. Kebiasaan Nelwin bertualang menjadi sorotan. Foto-foto perjalanannya yang diunggah di media sosial dan blog pribadinya, Pakansi.com, viral.
Januari lalu, sebuah akun Facebook dari Sri Lanka membagikan foto Nelwin dan unggahan itu sudah dibagikan lebih dari 13.000 kali. Kegiatannya juga diliput media asing, antara lain dari Belgia, Singapura, dan Perancis. Banyak orang terinspirasi dan menyarankan Nelwin membukukan pengalaman tersebut, tetapi ia ingin melakukannya setelah mendatangi setidaknya tiga lokasi lagi di Lhasa, Tibet, Shanghai, China, dan Cheverny, Perancis.
Rendah hati
Riri Wahyuni, jurnalis media asing, juga mendapat banyak hikmah dari kegiatan yang ia sukai, mendaki gunung. Banyak yang ia dapatkan. Intinya, asyik saja naik gunung. ”Aku merasa di gunung seperti enggak ada yang pura-pura. Semuanya natural. Orang di kota seperti apa kalau di gunung akan seperti apa, terlihat aslinya. Walaupun kejebak hujan badai. Sama-sama kotor juga,” kata perempuan yang biasa dipanggil Yuni itu.
Gunung menyadarkan dirinya secara pribadi bahwa kita sangat kecil. Tidak ada yang bisa disombongkan. Ada banyak penerimaan dengan diri atau hal yang terjadi dengan diri bahwa apa yang terjadi itu bukan apa-apa, pasti bisa dilalui.
Contohnya ketika mamanya meninggal. Waktu itu ia sedang kuliah S-1. ”Yang mengatur keuangan di rumah adalah mama saat itu, untuk hidup sehari-hari, pendidikan anaknya dan lainnya. Kerasa sekali saat mama enggak ada. Berhubung aku anak kedua yang menjadi anak pertama (kakaknya meninggal), ya, akhirnya aku harus bisa mandiri,” ujarnya. Yuni kemudian sukses menyelesaikan pendidikan sarjana.
Lewat kegiatan naik gunung, membuatnya lebih sadar, lebih bisa memahami, lebih bisa untuk tidak melawan arus. Makna itu muncul dari perjuangan yang harus ditempuh, mulai dari rumah, ke kaki gunung, jalur yang harus dilalui sepanjang pelintasan di gunung, ke puncak, dan bagaimana caranya bisa turun dengan selamat.
Naik gunung juga memberinya pelajaran tentang manajemen diri, mulai dari manajemen pikiran, manajemen kesehatan, manajemen makan, manajemen waktu, hingga manajemen sikap. Bagi Yuni, gunung juga mengajarkan kita untuk rendah hati. Jangan sekali pun merasa sombong ketika di gunung karena biasanya akan ada hal buruk terjadi jika merasa sombong walau kadarnya sedikit. Intinya tidak takabur.
Orang lain yang senang berjalan-jalan, Afiq Naufal (19). Mahasiswa Universitas Paramadina Jakarta itu sejak SMP sudah sering bolos dari kelas untuk kelayapan ke kampung-kampung dekat sekolahnya. Perjalanan itu memberinya kekayaan batin sebab bisa dengan leluasa menikmati banyak peristiwa dan pemandangan secara lambat di sepanjang perjalanan. Oleh sebab itu, sejak SMP kelas 3 ia telah menulis buku kumpulan puisi. Kini buku Naufal sudah berjumlah empat buah. ”Ada saja pihak-pihak yang bersedia menerbitkannya,” kata Naufal.
Tak hanya berjalan kaki di beberapa daerah di Indonesia, Naufal pernah ke Turki, Dubai, dan Qatar, dengan membawa misi jastip. Itu sejenis bisnis penitipan barang-barang yang dibutuhkan dari satu negara ke negara lain. ”Kalau dari Turki saya bawa kain, busana Muslim dan lainnya. Kalau dari Indonesia biasanya bawa makanan,” katanya.(LSA/MHF/CAN/BAY)