Jahitan Cerita Kesetiakawanan
Labirin ini hadir di sebuah pameran seni rupa yang digelar Galeri Nasional Indonesia bertajuk Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak. Ditampilkan sebanyak 67 karya seni rupa oleh 51 seniman dari 16 negara.
Helai demi helai lukisan berusia puluhan tahun, patung-patung, serta rupa-rupa instalasi dilengkapi arsip-arsip dipajang membentuk labirin panjang. Karya seniman berbagai bangsa itu menjadi jahitan cerita kesetiakawanan di masa-masa pascaperang, sekaligus cita-cita kemerdekaan yang mungkin saja masih relevan pada masa sekarang.
Labirin ini hadir di sebuah pameran seni rupa yang digelar Galeri Nasional Indonesia bertajuk ”Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak”. Ditampilkan sebanyak 67 karya seni rupa oleh 51 seniman dari 16 negara, disertai 78 dokumen arsip, yang menjadi sebuah proyek dialog kuratorial jangka panjang di empat negara.
Pameran diprakarsai lembaga Goethe-Institut dari Jerman dengan menggandeng Indonesia, Thailand, dan Singapura. Ini sebagai proyek ”Collecting Entanglements and Embodied Histories”.
Setiap negara melibatkan seorang kurator. Grace Samboh menjadi kurator pameran Indonesia di Galeri Nasional Indonesia yang berlangsung 28 Januari hingga 27 Februari 2022.
”Pameran ini dirancang sejak 2017. Menurut rencana, dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia pada Januari 2021, tetapi karena pandemi Covid-19, tertunda sampai sekarang,” tutur Grace Samboh, Jumat (4/2/2022), di Jakarta.
Karya-karya bernilai sejarah dihadirkan. Grace menenunnya menjadi sebuah kisah yang menyiratkan kuatnya rasa kesetiakawanan di antara para seniman berbagai bangsa meski mereka tidak saling terhubung satu sama lain.
Ruang pamer tertutup rapat. Ada sebuah pintu kaca untuk memasukinya. Ketika dibuka, di balik daun pintu ada sesuatu. Kerucut-kerucut kecil terbentuk dari tanah basah kecoklat-coklatan tergeletak di lantai. Ini seperti ingin mengisyaratkan untuk berhati-hati ketika melangkah di ruang pamer tersebut.
Baca juga: Cara Mengingat Gunawan Maryanto
Tidak ada narasi tentang gunung-gunung kecil itu. Akan tetapi, di ruang pamer bagian tengah akhirnya bisa dijumpai karya serupa oleh Marintan Sirait asal Indonesia yang diberi judul ”Membangun Rumah” (1995).
Marintan menyusun kerucut tanah berukuran cukup besar dikelilingi kerucut-kerucut kecil dari tanah pula. Instalasi seni ”Membangun Rumah” mengisyaratkan hak dasar manusia berupa tempat tinggal. Akan tetapi, Marintan juga mempertanyakan soal diri atau tubuh yang dilembagakan.
Ketika beranjak di ruang pamer paling depan itu segera dijumpai di sisi kiri ada dua lukisan lama. Lukisan pertama karya Emiria Sunasa yang diberi judul ”Pengantin Dayak” (1941-1946). Di sebelahnya lukisan karya Rustamadji yang berjudul ”Pohon Nangka” (1985).
Di dekat dua lukisan itu diselipkan arsip-arsip foto. Foto-foto tersebut merekam situasi pada tahun 1946-1947, saat terjadi perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta.
Di foto-foto itu terekam lukisan-lukisan di dinding. Satu di antaranya lukisan Emiria Sunasa dari foto koleksi IPPHOS pada malam Tahun Baru 1947 di suatu tempat di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta. Di situ terdapat Menteri Luar Negeri Agus Salim, penerjemah Jane Waworuntu, dan beberapa orang berkulit putih.
Masih di bagian awal ruang pamer. Di dinding sisi kanan terdapat sketsa-sketsa tangan saling berjabatan dan kedua tangan kiri kanan yang saling menangkup seperti saat berdoa. Sketsa-sketsa itu karya Kathe Kollwitz (1867-1945) asal Jerman.
Seni instalasi
Tidak jauh dari sketsa-sketsa itu terdapat lorong di sisi kanan menuju ruang berikutnya. Karya yang dipamerkan di situ cukup mencolok. Ini sebuah seni instalasi gambar bergerak. Ada 15 video manusia yang berdiri dengan mulut masing-masing bergerak sedang mengunyah makanan.
Video orang-orang yang sedang makan itu dibentuk seukuran dengan tubuh orang dewasa. Mereka disusun satu per satu di setiap bidang papan kayu yang terpisah satu sama lain. Setiap pengunjung bisa berjalan melintasi sela-sela papan itu.
Sesekali terdengar suara kecapan makanan di antara video-video itu. Di antaranya suara mulut seorang gadis yang sedang makan mentimun. Suara batang mentimun terdengar pecah bergemeretak ketika digigit.
Seni instalasi video itu berjudul ”Unsubtitled” (2010). Ini karya Nguyen Trinh Thi, seniman film berbasis di Hanoi, Vietnam. Karya ini sekarang menjadi koleksi Singapore Art Museum.
Sudut pandang kuratorial bukanlah satu-satunya cara untuk melihat karya, praktik seniman, dan peristiwa yang menggugah seniman untuk berkarya.
Nguyen Trinh menegaskan makan sebagai hak dasar setiap manusia. Senyampang dengan hal itu, Grace Samboh menekankan, hak-hak dasar manusia inilah yang menjadi pijakan seniman dalam berkarya.
”Sudut pandang kuratorial bukanlah satu-satunya cara untuk melihat karya, praktik seniman, dan peristiwa yang menggugah seniman untuk berkarya,” ujar Grace yang menampilkan sekitar 35 persen karya dari koleksi Galeri Nasional Indonesia.
Deretan seniman lain meliputi Agus Suwage, Araya Rasdjarmrearnsook, Basoeki Abdullah, Belkis Ayón Manso, Bruce Nauman, Danarto, Dolorosa Sinaga, Edhi Sunarso, Ary ”Jimged” Sendy, Öyvind Fahlström, Siti Ruliyati, Tisna Sanjaya, Wassily Kandinsky, dan masih banyak lagi.
Stefan Dreyer selaku Direktur Goethe-Institut Wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru menyebutkan, program kerja sama ini untuk makin mengenalkan koleksi-koleksi terkemuka di empat negara. Program ini melibatkan MAIIAM Contemporary Art Museum di Thailand, Singapore Art Museum, Hamburger Bahnhof sebagai bagian dari Nationalgalerie-Staatliche Museen zu Berlin di Jerman, dan Galeri Nasional Indonesia.
Keberpihakan
Grace Samboh membagi pameran ”Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak” di Galeri Nasional Indonesia ke dalam lima subtema. Kelimanya meliputi subtema Guyub, Keberpihakan, Kenduri Festivity, Kekerabatan, dan Daya Kekuatan. Ini menyiratkan sebuah alur kebersamaan tumbuh menjadi daya kekuatan. Di situlah kesetiakawanan hadir.
Dalam subtema Keberpihakan, ada satu karya seni instalasi S Teddy D berjudul ”Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak” (1997). Ada 11 deretan panjang dengan setiap deretan berisi 19 sampai 21 patung potongan leher dan kepala ayam dengan paruh yang terbuka.
Teddy mengisyaratkan susunan seperti itu sebagai paduan suara. Di dalam paduan suara itu digambarkan tidak bisa berkata tidak.
Di dinding setelah barisan terakhir, Teddy memasang beberapa foto diri yang diselingi cermin. Wajah siapa saja bisa berada di cermin-cermin itu. Teddy ingin mencerminkan selain dirinya, siapa saja bisa berada di barisan paduan suara yang tidak bisa berkata tidak tersebut.
Grace Samboh menilik karya Teddy di masa akhir Orde Baru itu sebagai protes terhadap demokrasi yang tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Pada masa politik didominasi oleh pusat kekuasaan Presiden Soeharto dan Golkar, sangatlah sulit untuk mengungkapkan sesuatu yang berbeda secara politik.
”Karya Teddy ini memiliki premis yang sederhana dan simbol yang mudah dikenali,” ucap Grace, yang kemudian memetik sebagian dari judul karya itu menjadi tema besar pameran kali ini.
Baca juga: Mengolah Keberagaman Ala Lutfi Yanuar
Pada judul pameran, frasa ”paduan suara” diganti dengan ”para sekutu”. Hal ini merujuk pada sejumlah individu atau bangsa yang mengikatkan diri menjadi sebuah sekutu. Di situ tantangannya serupa, yakni tidak bisa berkata tidak.
”Saya tertarik dengan cermin yang dipasang di bagian belakang karya Teddy ini,” ujar Grace.
Adanya cermin menyiratkan siapa saja bisa berada di deretan paduan suara dan para sekutu yang tidak bisa berkata tidak. Cermin sekaligus mengingatkan pada masa-masa kelam demokrasi kita yang tidak sepenuhnya menghormati perbedaan dan kebebasan.
Bisa saja, setiap diri dari kita masih berada di cermin itu dan masih menjadi barisan para sekutu atau paduan suara yang tidak bisa berkata tidak.