Walaupun mafhum bahwa sudah lama kekerasan seksual marak terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, deretan kasus kekerasan seksual yang terakhir terungkap beberapa waktu ini tetap membuat publik meradang. Situasi ini menunjukkan RUU TPKS bukan saja penting, tetapi genting untuk segera disahkan.
Bagaimana tidak, kekerasan seksual ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai pemuka agama. Orang-orang ini memiliki kedudukan sosial yang tinggi, kerap dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi ini dan diharapkan kearifannya untuk membimbing serta mengayomi kaum awam. Namun, yang terjadi justru kebalikannya: kedudukan sosial itu menjadi alat untuk melakukan tindakan tercela terhadap orang-orang yang diposisikan lebih lemah.
Selain pemuka agama, tercatat cukup banyak dosen dan guru yang melakukan tindakan kekerasan seksual kepada mahasiswi atau murid-muridnya. Demikian juga anggota keluarga besar yang lebih tua atau dituakan, tetapi justru mencabuli anggota keluarga terkecil dan terlemah. Mereka memaksakan nafsu biadabnya kepada orang-orang yang berada dalam ruang kekuasaannya.
Tidak hanya dalam kasus kekerasan seksual, pola perilaku menindas mereka yang lebih lemah juga muncul dalam berbagai situasi lainnya. Kasus pemuka agama serta dosen dan guru yang melakukan kekerasan fisik, psikis, dan verbal kepada murid-muridnya pun tak kalah berbilang. Berulang kali terungkap kasus polisi yang memanfaatkan posisinya untuk melakukan tindakan semena-mena, bahkan kekerasan, baik antara atasan dan bawahan maupun terhadap warga sipil. Sampai-sampai ada tagar #1Hari1Oknum di media sosial untuk menarik perhatian Kapolri agar segera memperbaiki disiplin dan code of conduct para aparat penegak hukum ini.
Dan, yang terbaru, terungkap dua sel di rumah Bupati Tapanuli Selatan yang digunakan untuk mengkrangkeng 40 orang dengan dalih rehabilitasi pengguna narkoba. Dalih ini tidak pernah mendapatkan izin dari yang berwenang dan satu-satunya alasan ia bisa dibiarkan selama 10 tahun adalah karena sang Bupati punya kekuasaan.
Pemuka agama tidak menghidupkan nilai-nilai Ilahiah, tetapi merusak kehidupan jemaatnya. Guru dan dosen tidak mendidik, tetapi merusak masa depan anak didiknya. Orangtua dan tetua keluarga tidak mengayomi, tetapi menghancurkan diri anak-anak kecil dalam keluarganya. Polisi tidak melindungi, tetapi justru membahayakan keselamatan warganya. Bupati dan pemimpin lainnya tidak memperjuangkan kemaslahatan rakyatnya, tetapi justru mengambil keuntungan dari mereka. Daftar yang seakan tidak ada habisnya saat kita bicara penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Dalam lingkungan masyarakat yang berorientasi kelompok sosial (socio-centric), memang dibutuhkan pihak-pihak yang diberikan otoritas untuk mengatur kehidupan bersama. Menurut Jonathan Haidt (2016) ini karena kepentingan sosial menempati posisi lebih tinggi daripada kebutuhan personal individu dalam hierarki sosial.
Dalam teori Cultural Dimensions yang dikembangkan berdasarkan hasil riset lintas negara di awal tahun 1970an, Geertz Hofstede menyampaikan, budaya masyarakat dapat dilihat dari beberapa faktor, di antaranya collectivism versus individualism, power distance (jarak kekuasaan antara yang berkuasa dengan warga kebanyakan), dan tingkat maskulinitas (MAS) versus tingkat femininitas. Dalam dimensi terakhir, Hofstede menilai bahwa kelaziman peran dan relasi perempuan dan lelaki dalam masyarakat akan berpengaruh pada kultur masyarakat yang terbangun.
Dalam kultur masyarakat yang lebih cenderung kolektif, individu diminta untuk merelakan hak personalnya diletakkan di bawah kepentingan bersama, seperti harmoni sosial. Posisi tokoh masyarakat dan tokoh agama menjadi sentral, dengan asumsi hanya orang-orang dengan kearifan tingkat tinggi yang dapat menduduki posisi tersebut.
Power Distance Index di masyarakat seperti ini tercatat lebih besar karena tokoh-tokoh tersebut ’diikhlaskan’ oleh masyarakat untuk memiliki kekuasaan sosial yang lebih besar agar dapat menata kehidupan bersama tersebut. Demikian juga terhadap negara, masyarakat dengan kesadaran kolektifnya secara masif memberikan keleluasaan wewenang kepada pemerintah dan aparat negara.
Dari dimensi maskulinitas, didapati bahwa masyarakat yang lebih maskulin cenderung menggunakan cara pandang kompetisi alias menang-kalah, alih-alih kemaslahatan bersama. Akibatnya, relasi antarwarga pun dapat terjebak pada relasi menang-kalah. Dan, sistem patriarki akan memperparah watak ini, dengan memberikan posisi menang melulu karena jenis kelamin lelaki. Makanya, kita lebih banyak melihat kekerasan dilakukan oleh pelaku laki-laki kepada korban perempuan.
Dalam kasus-kasus penyalahgunaan kuasa yang semakin menggelisahkan publik, kita dapat melihat ketiga karakteristik tersebut secara gamblang.
Watak kolektif masyarakat kita sangat kuat, dan sejatinya adalah modal utama kita selama ini menjadi sebuah bangsa yang sanggup bersatu di tengah keberagaman. Kita mengandalkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memandu kita hidup bersama secara harmonis dan maslahat. Kita menyerahkan kekuasaan kepada aparat negara untuk mengatur kehidupan berbangsa agar kita dapat maju bersama.
Sayangnya, kuasa yang telah diberikan kepada pihak-pihak tersebut justru dimanfaatkan untuk menindas mereka yang lebih lemah. Sampai saat ini kita tidak dapat mengendalikan bagaimana mereka akan memanfaatkan posisi mereka tersebut. Alhasil, kita mengalami tsunami kasus-kasus penyalahgunaan kuasa dari seluruh penjuru Nusantara.
Agaknya, kita tidak lagi bisa membaca tsunami ini sebagai kasus belaka. Kita perlu bersegera untuk berubah sebagai masyarakat. Membangun kultur yang lebih egaliter, membangun tradisi check and balances yang membuat pihak berotoritas tidak bisa semena-mena, serta membangun rasa berdaya dan ketangguhan individu. Kuasa haruslah ada di tangan kita sebagai warga.