Cuan dari Si Bodi Besar
Busana ukuran super besar punya konsumen sendiri yang selama ini kurang dilirik oleh pemilik perusahaan busana ukuran standar. Padahal, dari mereka yang berbodi besar, mengalir cuan yang juga besar.
Baju ukuran super besar punya cuan yang juga besar. Jika pada 2003 baru ada satu jenama busana buat si bodi besar, sekarang ada puluhan jenama. Mereka menyediakan aneka jenis busana, sepatu, dan baju dalam ukuran besar.
Produsen baju super besar biasanya berangkat pengalaman pribadi yang kesulitan mencari baju. Setidaknya ini berlaku pada Suzanne Subijanto (47) dan adiknya, Fransisca Subijanto, pemilik jenama My Size; Winda Yulita Permata Sari (36), pemilik Delaqueen yang memproduksi baju dalam; serta Clarissa Anugrah Lim (30) dan suaminya Vincent Kie, pemilik jenama Atractiv.
Ketika pulang dari Amerika Serikat sekitar tahun 2002, Suzanne Subijanto kesulitan mencari busana ukuran besar untuk dirinya. Ia jelajahi toko-toko di mal, tetapi tak menemukan pilihan baju sesuai ukuran dan nyaman di badan. ”Ada baju yang sesuai ukuran tubuh, tapi lengannya terlalu kecil, atau kalau celana panjang, waktu berdiri kelihatan pas, tapi buat duduk enggak nyaman karena potongannya nggak sesuai kebutuhan saya,” ujar Suzanne lewat zoom, Kamis (27/1/2022).
Keadaan itu berbeda dengan saat ia sekolah dan bekerja di AS. Di sana mudah mencari baju ukuran besar sebab banyak orang AS punya badan besar. Sementara di Indonesia, sebagian baju ukuran besar yang ada di pasar adalah sisa ekspor. Kesulitan itulah yang membuat Suzanne dan adiknya sepakat membuat baju sendiri dengan jenama My Size mulai ukuran XL hingga 8L pada 2003.
Suzanne bukan desainer, tetapi ia belajar kebutuhan pemilik bodi besar dari dirinya sendiri. Misalnya, model dan ukuran seperti apa yang sesuai untuk pemilik bodi besar sehingga penjahit membuat sesuai arahannya. Misalnya, produsen baju standar jika memproduksi baju super besar tinggal menyesuaikan dengan ukuran standar, padahal sering ukuran yang dibutuhkan tak seperti itu. Belum lagi pilihan bahannya. Orang dengan badan besar butuh bahan baju yang tidak panas, agak melar sehingga memudahkan pergerakan.
Ia memilih bahan dari katun, rayon, scuba, brokat untuk blus, kaus, gaun, celana panjang, blazer, sampai baju dalam perempuan. Tahun 2010, ia membuat kaus, kemeja untuk lelaki. My Size kemudian juga membuat sepatu perempuan model pantovel dan berhak sedang.
Bisnisnya berkembang cepat sampai punya 18 toko di Jakarta, Bekasi, Bandung, Denpasar, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Manado, dan kota lain walau kini enam toko ditutup. Karyawannya pun mencapai sekitar 100 orang.
Untuk mendukung pemasaran dan edukasi bagi mereka yang berbodi besar, Suzanne sejak tahun 2011 membuat ajang Diva My Size menampilkan perempuan berbodi besar yang berani tampil dengan percaya diri. Peserta terpilih Diva My Size juga mendapat kesempatan lenggak-lenggok di ajang Jakarta Fashion and Food Festival yang diadakan Kelapa Gading Mal Jakarta.
Sayangnya, acara rutin tahunan itu terhenti padat 2020 saat pandemi Covid-19 melanda. ”Saya ingin mengajak perempuan tampil percaya diri dengan apa yang dia miliki. Biar bodi besar, tapi bisa tampil menarik dan percaya diri,” kata Suzanne.
Sejak sebelum pandemi, ia membuat situs untuk memasarkan produk secara daring. Kini ketika penjualan di toko menurun karena pemerintah menutup pusat perbelanjaan cukup lama, penjualan lewat daring membantu My Size bertahan.
”Baju untuk ngantor tetap diminati, baju dalam juga laku. Untuk busana pergi, turun karena saat ini orang tak banyak pergi,” ujarnya.
Baju renang
Seperti Suzanne, Winda memulai bisnis pakaian dalam dan renang khusus ukuran ekstra karena terpacu pengalaman pribadi. Usai melahirkan anak pertama, ia susah mendapat baju ukuran besar. Winda, yang mantan pramugari dan kini ibu tiga anak itu mencoba membangun usaha sendiri dengan berjualan pakaian dalam ukuran besar terutama bra.
Bisnis kecil-kecilan itu dimulai tahun 2009. Pembelinya kebanyakan ibu-ibu yang baru melahirkan dan tengah menyusui bayinya. Penawaran dilakukan secara manual berdasarkan pertemanan.
Saat teknologi telepon pintar Blackberry booming, ia memanfaatkannya untuk memperluas daya jangkau ke calon pembeli. ”Saya pikir daripada ikutan grups chat, tapi cuma buat ngegosip, mendingan saya manfaatin buat berjualan produk-produk saya. Apalagi, saat itu yang jual produk-produk pakaian dalam big size ini belum banyak dilirik, jadi hampir enggak ada pesaingnya,” ujar Winda, Rabu (26/1/2022).
Hasilnya lumayan. Ia tak menyangka animo pembeli cukup besar. Jumlah pelanggannya terus bertambah. Ia juga memanfaatkan layanan berbasis seluler Mothers on Mobile (MOM) untuk memperluas jangkauan pemasaran.
Dari sekadar menjual kembali (reseller) produk dari produsen pakaian dalam, Winda membuat lini produksi sendiri dengan jenama Delaqueen. Jenis produk yang dijualnya semakin beragam, tak lagi bra atau pakaian dalam ukuran ekstra tapi juga korset, baju renang, dan lingerie.
”Tahun 2016 saya coba masuk ke Instagram sekaligus menambah jenis produk yang dijual, ada pakaian renang ukuran besar juga. Jadi underwear, pakaian renang, dan lingerie. Untuk pakaian dalam barang yang aku jual size-nya memang unik dan sulit dicari di toko. Misal untuk bra sampai cup G dan H,” ujar Winda.
Ratusan item ia jual dengan harga mulai dari Rp 95.000 per potong untuk bra dan Rp 40.000 untuk per celana dalam. Sementara itu, untuk pakaian renang dari Rp 165.000 per potong dan lingerie mulai Rp 135.000 hingga Rp 150.000 per potong.
Para pelanggan produk Winda kini bahkan meluas hingga Malaysia. Pelanggannya di negeri Jiran bahkan ada yang berminat menjadi reseller Delaqueen, tapi Winda belum memikirkan ke arah itu.
Mengasuh anak
Oleh karena sulit mecari baju sesuai ukuran, kalaupun ada, harganya mahal sekali, Clarissa dan suaminya tiga tahun lalu membuat busana perempuan. Tak mudah bagi Clarissa dan suami memulai usaha.
”Pokoknya belajar dari banyak kesalahan. Salah pilih bahan, paling sering terjadi. Saya juga harus bisa meyakinkan penjahit karena ia ragu siapa yang mau beli ukuran baju besar sekali,” ujar ibu dua anak itu pada Kamis (27/1/2022).
Ia juga yang menggambar model baju yang akan dijual. ”Semua berangkat dari keinginan saya. Begitu jadi, saya lihatkan ke teman-teman yang juga punya bodi besar, mereka suka,” kata Clarissa.
Ia berbagi tugas dengan Vincent yang kebagian memilih kain di berbagai pasar dan menjadi penasihat bisnis.
Bisnis Clarissa sebenarnya hanya sambilan karena ia tetap mengutamakan mengasuh dua anaknya yang masih balita. Tetapi, dengan teknologi digital, ia masih bisa bergerak. Ia bisa mendapatkan model, membuat Tiktok, Instagram, katalog produk dengan mudah. Saat ini ia bekerja sama dengan model dari Malang, Jawa Timur. Fotografernya adik si model dengan lokasi pengambil foto di sekitarrumah mereka.
Sesuai usianya, model baju yang dibuat Clarissa terasa kekinian dan cocok untuk perempuan usia 20-30an tahun. Warnanya beraneka seperti merah, putih yang memberi rona ceria. Untuk bahan baju blazer, terusan, blus, celana biasanya dari katun agar nyaman bagi kulit dengan ukuran dari XL sampai 5L. Harga yang ditawarkan dari Rp 125.000-an per potong sampai Rp 350.000 untuk setelan baju olahraga.
”Lewat baju, saya juga mengajak teman-teman berbodi besar untuk tetap jaga kesehatan dengan tetap aktif bergerak, olahraga,” tuturnya. Pelanggan Clarissa tak hanya di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, tetapi sampai Papua. Ia mengaku pendapatan dari bisnis baju ukuran besar jauh lebih besar ketimbang gaji saat kerja kantoran.
Selama pandemi terjadi penurunan bisnis baju ukuran besar. Ini, antara lain, disampaikan Brand and Marketing Director Cotton Ink Ria Sarwono. Usaha yang menjalankan lima toko luring dan menjual produk secara daring itu menawarkan pakaian berbagai ukuran mulai kecil hingga ektra besar.
“Perkembangannya saat ini bertahan saja. Kalau dibilang membaik, memang iya tapi belum bisa dibandingkan sebelum pandemi,” katanya tanpa menyebutkan jumlahnya.
“Saat mal ditutup, pasti berdampak tapi kalau sekarang mulai stabil, ya, lumayan. Saat mal dibuka, penjualan naik lagi,” ujarnya. Ria terbantu dengan penjualan secara daring. Sejak didirikan tahun 2008, Cotton Ink memang memulai penjualan melalui internet.
“Upaya yang dilakukan, setiap pekan pasti kami keluarkan produk baru. Kami juga sesuaikan produk yang biasanya dipakai keluar menjadi nyaman untuk bekerja di rumah,” katanya. Tak hanya memilih bahan, model, dan desain, Cotton Ink juga bekerja sama dengan ilustrator dan pemengaruh mode.
Pedagang pakaian ukuran besar di pasar juga merasakan penurunan penjualan produk. Namun mereka masih bisa bertahan membuka toko, tidak tutup seperti toko baju ukuran standar. Toko baju ukuran besar, Dunia Jumbo di ITC Permata Hijau Jakarta Selatan, misalnya, tetap menjadi tujuan Eckel (22) mahasiswa Universitas Brawijaya Malang. Sejak masih sekolah di SMA, Eckel yang ukuran bajunya 3L selalu membeli celana, kaus dan kemeja di toko tersebut.
Nana, kasir toko yang sudah ada sejak tahun 2015 itu menyatakan. pihaknya sudah punya langganan tetap sehingga bisa terus bertahan di tengah pandemi. Pelanggan biasanya langsung membeli baju lima potong ke atas. Pemilik toko, menurut Nana, juga masih membuka toko sama di Pasar Tanah Abang, ITC Mangga Dua dan Depok.
Begitulah ternyata busana ukuran super besar punya konsumen sendiri yang selama ini kurang dilirik oleh pemilik perusahaan busana ukuran standar. Padahal, dari mereka yang berbodi besar mengalir cuan yang juga besar.