Gelombang ”Skincare” Memoles Wajah Kita
Kesadaran untuk merawat tubuh kini merasuk ke berbagai kalangan. Tak ada sekat lagi, semuanya melengkapi diri dengan ragam amunisi yang menjanjikan kulit lebih bersinar.
Pengunjung berkonsultasi terkait produk perawatan kulit yang ditawarkan di salah satu gerai di Lotte Shopping Avenue, Jakarta Selatan, Sabtu (22/1/2022). Beragam produk perawatan kulit, baik impor maupun lokal, ditawarkan kepada konsumen.
Kesadaran untuk memiliki kulit kencang dan kinclong seperti idola dari Korea makin merasuk ke berbagai kalangan. Perempuan, laki-laki, putri kecantikan, sosialita, mahasiswa, profesional muda, sampai asisten rumah tangga berburu produk skincare. Apa di balik fenomena ini?
Penggunaan skincare (perawatan kulit) belakangan ini benar-benar meledakkan! Pandemi Covid-19 menciptakan waktu luang lebih banyak. Sebagian orang memanfaatkannya untuk merawat kulit. Pada saat yang sama, media sosial menghamburkan konten-konten cara merawat kulit, ulasan produk-produk skincare terbaru, sampai kisah crazy rich people yang tumbuh dari industri kosmetik.
Waktu luang, gelombang informasi tentang skincare, ditambah citra kulit kinclong idola dunia hiburan, menjadi paduan sempurna yang mendorong orang—apa pun latar belakangnya—menjadi konsumen skincare.
Mari kita tengok Sulistyowati (35) yang sehari-hari bekerja sebagai asisten rumah tangga. Ia mengaku kini rutin menggunakan aneka skincare, mulai dari pelembab hingga pemutih kulit untuk siang dan malam. Sebagian produk yang ia gunakan mengklaim bisa mencerahkan sekaligus memutihkan kulit. ”Yah, namanya juga perempuan, biar (tampilan) enak dilihat. Ikut kata teman-teman aja. Kalau ada (produk) yang katanya bagus, murah, ya, saya beli. Ada yang cocok, ada yang enggak cocok juga,” katanya, Kamis (20/1/2022).
Sulistyowati memang mendambakan kulit lebih cerah. Karena itu, perawatan kulit kini menjadi kebutuhan. ”Kalau penampilan kita rapi atau enak dipandang mata, mau apa-apa, (termasuk) kerja juga mantap gitu,” ujarnya semringah.
Impian serupa dimiliki Nadya Alifa (16). Siswa SMA itu rela mengumpulkan uang jajan dari orangtuanya untuk membeli produk perawatan kulit dari Korea. ”Biar glowing kayak Song Hye-kyo. Ha-ha-ha...,” celetuk Nadya.
Song Hye-kyo yang dimaksud Nadya adalah aktris Korea yang bermain dalam film Descendants of the Sun. Usianya 40 tahun, tapi kulitnya tampak selicin lilin.
Nadya banyak mengandalkan ulasan dan tips dari media sosial untuk memilih produk skincare. Konsekuensinya, ia kerap berganti-ganti merek produk untuk mencapai satu tujuan yang sama: mendapat kulit cerah dan bercahaya.
Sebagaimana Nadya, Puteri Indonesia 2013 Whulandary Herman (30), yang sudah cantik dari sononya, juga tidak bisa lepas dari produk perawatan kulit. ”Buatku penting banget merawat tubuh. Tujuannya bukan untuk lebih cantik, tapi untuk membuat diri merasa nyaman,” ujarnya.
Ia mengaku memakai produk skincare sejak usia 17 tahun. Produk yang dipakai antara lain pembersih wajah, pelembab, dan krim malam. Acuannya dalam memilih produk skincare adalah ulasan dari teman dan keluarga. Ia tidak mau memilih produk hanya karena sedang viral atau ramai diiklankan.
Produk perawatan kulit tak hanya digandrungi perempuan, laki-laki juga banyak yang mengenakannya. Daniel Ngantung (33) hanyalah satu di antaranya. Daniel yang bekerja sebagai jurnalis sudah enam tahun menjadi konsumen setia produk skincare. Baginya, merawat kulit bukan monopoli perempuan.
Ia memakai produk perawatan kulit bukan semata untuk alasan penampilan, melainkan juga kesehatan yang ujung-ujungnya berdampak pada rasa percaya diri dan representasi diri yang positif. Produk yang dipakai mulai dari pembersih wajah, krim siang dan krim malam, toner, hingga serum. Setiap tiga bulan sekali, ia menyiapkan Rp 1 juta untuk membeli produk skincare. Ia menjadikan Jared Leto, musisi dan aktor Amerika Serikat, sebagai role model dalam hal perawatan diri lantaran ia merasa tidak cocok dengan ”konsep ganteng” ala Korea.
Ledakan penggunaan skincare tidak hanya menyapu Indonesia, tetapi juga dunia. Statista.com mencatat, pendapatan industri skincare secara global memperlihatkan tren naik. Tahun 2019 mencapai 135 juta dollar AS. Pandemi membuat pendapatan industri skincare turun jadi 130 miliar dollar AS (Rp 1.862 triliun), tapi tahun 2021 melonjak lebih dari 140 miliar dollar AS. Diperkirakan cuan dari industri ini akan terus naik hingga lebih dari 177 miliar dollar AS pada 2025.
Industri menyasar banyak segmen kelas, termasuk laki-laki. Caranya, dengan menawarkan produk perawatan untuk laki-laki dan mengonstruksi ”citra kegantengan” global lewat aneka medium, seperti film, iklan, dan ocehan di media sosial.
Superfisial
Shuri Mariasih Gietty Tambunan, dosen Cultural Studies Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, menjelaskan, meledaknya penggunaan skincare di Indonesia tidak lepas dari masifnya diseminasi informasi di media sosial dan derasnya arus globalisasi budaya populer Asia Timur pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Awalnya yang menyebar produk budaya populer dalam bentuk film, drama, dan musik dari Taiwan, Jepang, dan terakhir Korea.
Fenomena ini menggeser konsep kecantikan dan kegantengan yang awalnya berkiblat ke Barat menjadi ke Timur. ”Infiltrasi Gelombang Korea menjadi launching board perubahan konsep tentang kecantikan dan ini gencar terjadi sepuluh tahun belakangan. Orang melihat wajah cantik ala Korea dan ingin menjadi seperti itu,” ujar Gietty.
Pergeseran konstruksi kecantikan, lanjut Gietty, memberikan sejumlah dampak positif. Standar kecantikan tidak lagi tunggal setelah didominasi Barat. Dikotomi kecantikan Barat dan Timur pun memudar karena opsi standar kecantikan beragam. Selain itu, ada perubahan nilai jender dalam feminitas dan maskulinitas. Citra laki-laki metroseksual yang suka dandan dan memperhatikan betul penampilan, misalnya, semakin familier.
Bagaimanapun, kesadaran soal pentingnya memelihara kecantikan dan kegantengan itu tetap saja bentukan industri. ”Standar kecantikan tetap memosisikan perempuan sebagai konsumen meskipun (industri dan agen-agen komunikasinya, termasuk influencer, youtuber, atau tiktoker) menggambarkan seolah-olah perempuan menjadi subyek karena bisa memilih standar kecantikan yang mana,” ucap Gietty.
Fenomena seperti ini sama sekali bukan hal baru. Industri kapitalisme sejak awal memang bekerja dengan cara seperti itu: menanamkan kesadaran tentang apa yang perlu kita konsumsi, termasuk produk perawatan kulit dan citra kecantikan atau kegantengan yang perlu diikuti.
Makanya, industri tidak akan berkata bahwa kecantikan dan kegantengan berasal dari hati. Pasalnya, urusan hati lebih susah untuk dimonetisasi. (BSW/BAY)