Cara Mengingat Gunawan Maryanto
Gunawan Maryanto ada di komunitas film, sastra, teater, musik, seni rupa, dan sebagainya. Ia mudah diterima di mana saja.
Ada yang berbeda dalam memperingati 100 hari wafatnya seniman Gunawan Maryanto, yang tak hanya dikenal sebagai penggiat Teater Garasi di Yogyakarta. Melalui sebuah festival, berbagai seniman lintas disiplin, lintas generasi, dan lintas lembaga mencari lebih jauh kebermaknaan Gunawan Maryanto yang akrab disapa Cindhil, Mas C, atau Mas Gun itu.
Hari ke-100 Gunawan Maryanto meninggal jatuh pada 13 Januari 2022. Mulai hari itu pula di beberapa tempat komunitas seni di Yogyakarta dilangsungkan festival bertajuk ”Festival untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan”. Festival ini digelar sampai 25 Januari 2022.
Frasa ”untuk seorang lelaki yang demikian mencintai hujan” terasa teramat panjang untuk nama sebuah festival. Penggagas festival ini, Agung ”Leak” Kurniawan, sengaja mengetengahkan frasa yang merupakan penggalan puisi karya Gunawan Maryanto.
”Ketika memperingati tujuh hari wafatnya Gunawan Maryanto, saya teringat terus dengan puisi itu. Saat itu mulai terpikir untuk membuat sebuah festival yang ditujukan kepada Gunawan, seperti kata puisinya itu, festival untuk seorang lelaki yang demikian mencintai hujan,” ujar Agung, pengelola komunitas seni Kedai Kebun Forum di Yogyakarta, Rabu (19/1/2022).
Ketika memperingati tujuh hari wafatnya Gunawan Maryanto, saya teringat terus dengan puisi itu. Saat itu mulai terpikir untuk membuat sebuah festival yang ditujukan kepada Gunawan, seperti kata puisinya itu.
Puisi Gunawan Maryanto itu memang berisi sepenggal kalimat yang terasa belum selesai. Pendiri Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin, menceritakan, puisi Maryanto ini bukan puisi gagal, melainkan ini puisi yang memang belum selesai.
Maksud kata ”lelaki” dalam ungkapan ”lelaki yang demikian mencintai hujan juga tidak pernah diketahui itu siapa. Maryanto (10 April 1976-6 Oktober 2021) semasa hidupnya juga tidak pernah menjabarkan siapa lelaki itu. Mungkin saja itu dirinya sendiri.
”Puisi itu pada 2001 diselesaikan Maryanto dengan pementasan teater nonverbal. Inilah sesilangan yang dilakukan Maryanto dan sangat menyegarkan bagi dunia teater waktu itu,” ujar Yudi.
Tidak terbayang sebelumnya, sebuah puisi berisi sebaris kata yang belum tuntas. Kemudian, puisi itu diselesaikan menjadi sebuah pementasan teater tanpa kata.
Mungkin saja itu sebuah eksperimentasi sederhana atau sekadar coba-coba oleh Maryanto. Akan tetapi, sesilangan dua karya antara puisi dan dilanjutkan menjadi sebuah adegan teater tanpa kata itu menjadi representasi pemikiran dan laku Maryanto selanjutnya.
”Saya baru mengetahui beberapa hari belakangan tentang pementasan Teater Garasi yang diberi judul Repertoar Hujan ternyata bermula dari puisi Maryanto itu,” ujar Agung ”Leak”.
Puisi Maryanto ”Untuk Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan” diselesaikan dengan pentas teater tubuh tanpa kata yang diberi judul Repertoar Hujan. Pentas ini digarap pertama kali pada 2001. Gunawan Maryanto sebagai sutradaranya, Yudi Ahmad Tajudin menjadi penonton waktu itu.
Teater tubuh tanpa kata-kata itu sempat pentas keliling sedikitnya di 30 lokasi di beberapa kota, termasuk desa-desa di Yogyakarta dan sekitarnya. Termasuk pula di Tokyo, Jepang, pada 2005, ketika menerima undangan untuk pentas di Physical Theatre Festival.
Baca juga: Aktor Gunawan Maryanto Mendadak Pergi
Merayakan sesilangan
Agung ”Leak” menyebut festival kali ini untuk merayakan Cindhil yang saling, yang silang, yang sesilangan. Cindhil atau Gunawan Maryanto memiliki cara pandang berkesenian sesilangan yang saling silang dan menyetarakan.
”Cara pandang ini selalu dipakainya ketika bekerja dengan seniman dari berbagai disiplin, latar budaya, dan generasi. Gunawan Maryanto percaya bahwa sesilangan adalah ruang penting untuk penciptaan kreatif yang mengakar pada kenyataan sosial yang selain beragam juga timpang,” ujar Agung.
Dengan cara pandang itulah Maryanto berkiprah di banyak komunitas seni. Publik makin mengenalnya ketika pada 2017 ia meraih penghargaan sebagai Pemeran Pria Terbaik dalam Usmar Ismail Award melalui film Istirahatlah Kata-kata. Maryanto di film itu berperan sebagai penyair Wiji Thukul.
Ditambah lagi, pada 2020, Gunawan Maryanto memenangi Piala Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik melalui film Hiruk Pikuk Si Al-Kisah.
Agung bersama Maryanto pernah tergabung ke dalam komunitas Lelana Laya (Kelana Kubur) di Yogyakarta. Kegiatannya untuk mengunjungi kuburan atau makam-makam tua yang ada di Yogyakarta.
Mereka menengok nisan-nisan tua yang dipandang sebagai prasasti. Di situ ada narasi yang sepenuhnya tidak tergali selama ini.
Tidak hanya dari nisan tua, mereka menguak pula narasi lokal dari juru kunci kuburan dan masyarakat setempat. Ini kemudian dipertautkan sebagai bagian dari sejarah, melengkapi sejarah yang sejauh ini selalu dibentuk oleh pemegang kekuasaan.
Seperti ketika di Makam Imogiri, mereka menguak kisah Ratu Malang, istri Raja Amangkurat I. ”Saya teringat, Gunawan Maryanto juga pernah membaca puisi di tengah-tengah kuburan pukul dua dini hari,” ujar Agung.
Baca juga: Gunawan Maryanto, Diskusi di Ruang Sunyi
Agung melihat banyak kiprah Gunawan Maryanto di berbagai disiplin seni. Maryanto ada di komunitas film, sastra, teater, musik, seni rupa, dan sebagainya. Ia mudah diterima di mana saja. Bagi kawan yang sebaya, ia akrab disapa Cindhil. Bagi generasi usia di bawahnya, ia akrab disapa sebagai Mas C atau Mas Gun.
Bagi Agung, Gunawan Maryanto memandang dirinya sebagai lintasan yang tumbuh dari perjumpaan. Ia menekuni bahasa, membangunkan tubuh yang lembam, dan segala yang sering dipakai untuk menyembunyikan kenyataan. ”Merayakan Cindhil itu merayakan kepergian seorang seniman yang meninggalkan jejak mendalam pada ekosistem seni kita,” kata Agung.
Merayakan Cindhil itu merayakan kepergian seorang seniman yang meninggalkan jejak mendalam pada ekosistem seni kita.
Festival berlangsung di beberapa lokasi, antara lain Kedai Kebun Forum, LIR, Studio Teater Garasi/Garasi Performance Institute, Krack, IVAA, Ace House Collective, ruang tamu Ugo Untoro, serta beberapa ruang seni dan ruang publik di Yogyakarta. Sebagian besar menampilkan artefak seni yang berkaitan dengan kiprah Gunawan Maryanto. Seperti instalasi seni multimedia yang digarap Anggi Noen di Kedai Kebun Forum, salah satunya menunjukkan artefak gigi palsu yang pernah dipakai Gunawan Maryanto untuk suatu pentas.
Mengembangkan bersama
Gunawan Maryanto yang begitu mudah diterima berbagai komunitas lintas disiplin itu tentu memiliki metode tersendiri. Bagi Agung ”Leak”, Gunawan Maryanto memiliki metode selalu menerima pekerjaan di bidang seni apa pun, kemudian tumbuh bersama dan mengembangkan bersama.
Sudah lazim di mana pun, persaingan yang kentara atau tidak kentara selalu terjadi di antara komunitas atau lembaga, termasuk seni sekalipun. Biasanya, itu menyebabkan konflik. Agung pun sempat terheran ketika melihat Gunawan Maryanto bisa bermain dan selalu diterima di komunitas atau lembaga seni mana pun terbebas dari konflik.
”Ini alasan mengapa dibuat festival ini,” ujar Agung, yang kemudian mengenalkan Prihatmoko Moki dari komunitas Krack, sebuah komunitas seni rupa di Yogyakarta.
Moki pun menceritakan, sejak 2015 komunitas Krack bekerja bersama Gunawan Maryanto dalam memproduksi buku cerita bergambar (cergam). Saat itu mereka memproduksi dua buku cergam Prajurit Yogya dan Betaljemur Adammakna, yang dikenal sebagai kitab Primbon Jawa. ”Mas Cindhil suka dengan sastra Jawa, lalu membuat naskah. Saya yang membuat ilustrasi gambarnya,” ujar Moki.
Kebersamaan ternyata tidak terhenti di situ. Gunawan Maryanto mengembangkan cergam menjadi seni pertunjukan. Ia memilih seni pertunjukan berbasis sejarah penyerangan pasukan di bawah perintah Thomas Stamford Raffles ke Keraton Yogyakarta, 19-20 Juni 1812. Ini dikenal sebagai Geger Sepehi.
Kiprah Gunawan Maryanto di komunitas Krack mengantar dua buku cergam itu turut dipamerkan di Europalia, Belgia, pada 2017. Di situlah Gunawan Maryanto menunjukkan metodenya bertumbuh dan mengembangkan bersama di komunitas dengan bidang seni apa saja. Dan, ini kiprah seorang seniman yang langka!