Dengan berkurangnya pandemi perlahan pembatasan jarak sosial menghilang. Harapan akan komunikasi dan kepercayaan pun hidup kembali. Komunikasi tatap muka tetap yang utama.
Oleh
Idi Subandy Ibrahim
·5 menit baca
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ
Idi Subandy Ibrahim
Ketika matahari Tahun Baru 2022 terbit, kita seperti bisa bernafas lagi. Rasa optimisme bersinar kembali. Keyakinan bahwa segalanya akan berjalan baik mulai terbit di lubuk hati. Sinar keyakinan ini meneguhkan tekad kemanusiaan yang mengangankan harapan keluar dari pandemi Covid-19.
Sayangnya, harapan yang indah tak jarang tercemari karena kerentanan atau keisengan laku manusia sendiri. Pelajaran kemanusiaan amat berharga tak selalu dipetik hikmahnya. Pada masa-masa puncak pandemi yang membuat frustasi, justru udara terasa segar. Menegaskan bahwa aktivitas manusia sebagai pencemar utama lingkungan hidup. Ketika pembatasan jarak sosial dianggap sebagai belenggu kebebasan fisik, ‘pencemaran’ komunikasi seperti tsunami kebencian dan virus kecurigaan merebak bebas dalam berbagai bentuk di dunia maya.
Kita masih ingat dalam beberapa minggu setelah merebaknya pandemi pada 2020 silam, sejak itu media sosial telah menjadi ekosistem komunikasi baru dunia abad ke-21. Kekhasan yang mencolok dari krisis pandemi ini tidak hanya ketakutan atas penyebaran wabah virus yang dianggap mematikan ini. Akan tetapi juga kecemasan ditimbulkan oleh budaya viralitas, virus misinformasi dan disinformasi tentang wabah yang menyebar sangat cepat melalui media sosial. Tidak heran kepanikan media sosial sering lebih cepat daripada penyebaran wabah itu sendiri. Demikian, misalnya, menurut pandangan Nelson Ribeiro dan Christian Schwarzenegger dalam Media and the Dissemination of Fear: Pandemics, Wars and Political Intimidation (2022).
Krisis pandemi kian menyadarkan kita bahwa komunikasi digital via Internet yang semula menjadi berkah – semua orang bisa membuat konten dan menyebarkannya ke siapa pun, informasi bebas untuk semua, dan akses informasi yang mudah dan murah. Namun, beberapa saat kemudian, semakin banyak algoritme platform digital yang mengendalikan apa yang kita baca dan lihat.
Logika ‘digitalisasi untuk semua’ telah menciptakan kapitalisme digital yang dikuasai segelintir pemain yang berusaha mengontrol arus informasi dan komunikasi ke benak warganet. Informasi berlimpah tentang segala hal yang tidak kita butuhkan telah dianggap lumrah memenuhi gawai. Jika literasi digital dan sikap kritis tumpul yang muncul adalah kebingungan dan kecemasan. Dengan tercemarnya budaya komunikasi digital oleh penabur virus hoaks, perlahan menghilangkan kepercayaan pada sumber-sumber informasi, termasuk kepercayaan pada media, pemerintah, dan bahkan ahli dan ilmuwan.
Kecerdasan buatan (AI) kian memainkan peran penting dalam kehidupan: selera, gaya hidup, rekreasi, seni, hiburan, waktu luang, pendidikan, bisnis, kerja, dan sudah tentu dunia komunikasi. AI makin menyentuh kehidupan kita setiap hari. Pada sebagian besar kegiatan online, algoritme AI telah memilah apa yang dianggap relevan bagi kita.
Kecanggihan berbagai platform digital dan media sosial yang menjadi jembatan komunikasi di masa-masa pandemi yang sulit dan penuh pembatasan memang menjadi ruang pembebasan yang mengurangi rasa terasing dan kesendirian kita. Akan tetapi kemudian menjadi ruang belenggu baru. Belenggu tersebut menjadi gambaran hubungan paradoks cinta-benci manusia dengan teknologisasi budaya komunikasi. Di satu sisi, teknologi digital membuka ruang kemungkinan tak terbatas dalam komunikasi insani. Di sisi lain, membuat manusia harus beradaptasi dalam peradaban digital dengan resiko ketergantungan dan kejenuhan bahkan kecanduan yang berakibat mendalam dalam berbagai aspek kehidupannya. Kejenuhan dan kecanduan teknologi itu menimbulkan rasa krisis komunikasi autentik yang sempat hilang, yakni pertemuan tatap muka atau hubungan polos yang tidak diperantarai oleh gawai. Hubungan semata-mata kehadiran diri-diri di tengah-tengah dunia di mana sebagian orang sedang mengalami apa yang disebut ahli filsafat Profesor F. Budi Hardiman sebagai “rasa kehilangan dunia” (worldlessness) disebabkan media sosial.
Dengan berkurangnya pandemi perlahan pembatasan jarak sosial menghilang. Harapan akan komunikasi dan kepercayaan pun hidup kembali. Meski “komunikasi tatap layar” (face to screen) sudah menjadi kelaziman dan keasyikan baru, tetapi rupanya ia tidak bisa menggantikan kehausan manusia akan “komunikasi tatap muka” (face to face) yang menimbulkan kehangatan karyawan di tempat kerja atau murid di ruang kelas. Rasa krisis yang ditimbulkan oleh keterputusan komunikasi saat pandemi hendak dibangun kembali dalam kehidupan yang sudah dirasa mulai ‘normal’.
Di tengah kerinduan akan asa komunikasi yang sempat hilang itu, disrupsi teknologi terus berlanjut. Kecerdasan buatan (AI) kian memainkan peran penting dalam kehidupan: selera, gaya hidup, rekreasi, seni, hiburan, waktu luang, pendidikan, bisnis, kerja, dan sudah tentu dunia komunikasi. AI makin menyentuh kehidupan kita setiap hari. Pada sebagian besar kegiatan online, algoritme AI telah memilah apa yang dianggap relevan bagi kita. Algoritme menemukan rekomendasi dengan cara menganalisis perilaku masa lalu kita. Pada saat Anda menerima hasil pencarian Anda di layar mesin pencarian, ruang iklan di halaman hasil telah dilelang oleh algoritme. Hal ini didasarkan pada kebiasaan menjelajah Anda yang tersimpan dalam database komersial, informasi sosio-demografis yang dikumpulkan dari profil jejaring sosial Anda, dan banyak sumber lainnya.
Beberapa pengkaji komunikasi mulai mempertanyakan: Akankah atau sudahkah algoritme memutuskan bagaimana kita memandang dunia? Akankah robot menjadi jurnalis baru? Mungkin sudah saatnya untuk mempercayai data lebih dari manusia mana pun. Tetapi teknologi tidaklah netral. Jika algoritme digunakan dengan data yang bias, ia akan menghasilkan hasil yang bias pula.
Lalu, kompetensi atau kearifan apa yang dibutuhkan untuk berselancar dalam dunia media digital yang digerakkan oleh robot atau algoritme AI? Dalam dunia komunikasi yang sudah disentuh oleh algoritme AI, harapan akan komunikasi yang terpercaya juga menjadi pilihan kompleks. Bukankah menentukan pilihan juga soal mengambil tanggung jawab, tidak hanya untuk penggunaan media seseorang tetapi juga untuk perlindungan privasi, perilaku yang wajar di dunia online, dan masalah keamanan digital. Itulah sebabnya perkembangan digital benar-benar menantang kepercayaan kita. Hal-hal seperti itulah yang menjadi keprihatinan para penulis dalam Media Trust in a Digital World: Communication at Crossroads (editor: Thomas Osburg dan Stephanie Heinecke, 2019).
Menurut mereka, kepercayaan sering hanya bisa muncul dari sesuatu yang kita pahami. Dan, sebagaimana kita tahu, landasan komunikasi adalah kepercayaan dan pemahaman bersama. Jika kepercayaan dan pemahaman adalah dasar komunikasi manusia, kita masih membutuhkan hal lain yang tidak kalah penting, yakni keterampilan atau kompetensi komunikasi dengan empati.
Asa komunikasi untuk membangun kepercayaan dan pemahaman ini mungkin bukan satu-satunya obat mujarab. Tetapi krisis komunikasi yang kita alami selama masa pandemi setidaknya membuat kita bisa belajar hal sederhana bahwa semakin baik komunikasi kita semakin baik pula masyarakat kita. Bukankah komunikasi seperti udara yang menghidupi kesehatan paru-paru kemasyarakatan kita di tengah harapan yang muncul setelah pandemi?
Yogyakarta, 19 Januari 2022
Idi Subandy Ibrahim
Peneliti Budaya dan Komunikasi, Pengajar Pascasarjana Universitas Pasundan