Satu hari saya bercakap-cakap secara virtual dengan teman saya yang sepertinya seumuran. Saya mengatakan seumuran hanya asumsi semata. Seorang laki-laki yang pandai, yang pengetahuannya luar biasa, dan mengingatkan saya selalu kepada ayah saya.
Seorang suami dengan satu istri dan satu putri. Obrolan kami seperti biasa, ke mana-mana. Sampai saat ia berkomentar mengenai satu unggahan saya. Begini ia berkomentar, ”Makin panjang hidup, makin panjang sengsaranya.”
Lelah
Seperti biasa, saya tak betah untuk tak berkomentar. Tentu sekarang jauh lebih tidak emosian. Lebih kalemlah, orang bilang. ”Ayooo, kamu gak boleh pesimistis,” demikian komentar saya. Kemudian percakapan menjadi cukup panjang. Ia mengatakan, hidup harus berjuang. Saya menimpali, siapa yang menyuruh harus berjuang. Kemudian ia menimpali, ”Berjuang itu harus bekerja, mosok cuma ketawa saja, lagian dirimu gak ada buntut tanggungannya.”
Komentarnya atas unggahan saya itu masuk ke dalam otak dan saya mulai berpikir. Tetapi, pikiran itu saya tahan dulu. Beberapa hari setelah percakapan itu, saya bercakap-cakap kembali dengan seorang teman lama. Percakapan yang sama dengan topik yang sejuta banyaknya sampai pada soal zaman yang sekarang serba cepat.
Waktu ia mengatakan kalimat terakhir itu, saya menimpali dengan mengatakan, siapa yang menyuruh dia untuk ikut dalam keadaan yang serba cepat itu? Ia langsung menjawab dengan jawaban yang saya pastikan Anda sudah tahu. ”Iya, kalau enggak cepat, kita bakal ketinggalan.”
Saya diam saja, kemudian mengangguk tanda setuju meski jauh di lubuk hati saya yang terdalam, saya punya pandangan tersendiri. Tetapi, saya ini manusia yang pandai sekali bersandiwara hanya untuk menyenangkan orang atau takut kalau komentar saya malah membuat orang naik pitam dan kemudian mereka mengganyang saya. Muna itu adalah nama tengah saya.
Baru dua bulan terakhir ini saya mulai berdoa meminta Sang Pencipta untuk menguasai saya dengan lebih mendengar suara-Nya ketimbang suara otak saya. Dua bulan yang lalu saya sungguh ”tewas” kelelahan karena otak saya terus berpikir, berpikir, dan berpikir tentang semua hal. Dari yang kecil dan tidak penting sampai yang super-penting. Otak saya selalu mengajukan pertanyaan mengapa, mengapa, dan mengapa. Bukankah sebaiknya begini, begitu, begini?
Ketinggalan
Suara otak saya telah menguasai saya. Saya memutuskan dua bulan lalu saya tak mau disuruh-suruh lagi. Saya tak mau hidup dikelola suara otak saya. Dulu, saya tak pernah berpikir bahwa otak saya adalah musuh terbesar, sekarang saya baru tahu ia adalah sumber malapetaka bagi saya.
Maka, pada dua peristiwa di atas, saya mengajukan pertanyaan yang sama kepada dua teman saya itu. Siapa yang menyuruh mereka berjuang, siapa yang menyuruh mereka harus ikut hidup serba cepat. Siapa? Kekhawatiran merekakah?
Kalau, ya, siapa yang menciptakan kekhawatiran? Berdasarkan pengalaman saya, sampai saya tewas, otak saya itu sumber terciptanya kekhawatiran terbesar. Ia memanipulasi saya dengan harus berpikir bahwa saya harus berjuang, saya harus serba cepat.
Kalau tidak, kamu akan ketinggalan; kalau tidak bekerja, kamu tidak ada uang, sementara kamu sakit dan butuh pengobatan yang tidak murah. Kamu harus gini, kamu harus gitu, kamu harus punya podcast, kamu harus punya Tiktok, kamu harus, harus, harus.
Setelah tewas dua bulan lalu, setelah hidup 58 tahun dengan mendengar suara otak yang acap kali terdengar benar, masuk akal, dan terlihat bijak, saya merasa semua itu hanyalah akal-akalan otak saya. Terus, kenapa kalau saya tidak punya podcast? Kalau saya tidak punya follower berjuta-juta? Terus kenapa saya harus bekerja supaya dapat membiayai penyakit saya? Kenapa saya harus serba cepat? Terus kenapa kalau saya ketinggalan?
Mengapa otak saya tak menyarankan saya bekerja untuk menikmati hidup, mengapa yang diajukan itu kekhawatirannya, bukan kegembiraan di balik bekerja? Sehingga bekerja tidak membuat saya terbeban karena saya punya tanggungan. Kenapa otak saya tak menyarankan menanggung tanggungan dengan rasa sejahtera? Kenapa dilandasi kekhawatiran?
Terus kalau saya tertinggal karena tidak bergerak cepat, apakah saya sengsara karenanya? Apakah kura-kura akan begitu sengsaranya tak bisa berlari seperti kuda? Setelah saya meninggalkan otak saya, saya harus akui ketinggalan telah banyak memberi saya mengenal hidup. Ketinggalan membuat saya melihat, mendengar, mengecap dengan tidak tergesa-gesa.
Saya memberi makna kepada makanan di atas piring, memberi makna kepada sebuah lokasi, dan bukan dengan cepat mengabadikannya, kemudian mengunggahnya di media sosial agar saya tak ketinggalan. Agar saya menjadi manusia yang selalu terdepan. Siapa yang menyuruh saya harus terdepan? Lha wong ”duduk di belakang” itu acap kali jauh lebih tenang dan nyaman.