Tahun 2021 diakhiri dengan pagebluk yang konsisten melandai. Bukan berarti animo masyarakat membantu kalangan yang kurang mampu turut surut. Mereka mengulurkan tangan sekaligus menghibur warga yang sedang bersusah hati.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Pandemi mereda, namun tidak demikian dengan gairah mengulurkan tangan yang tetap menyala. Sejumlah warga juga melipur sesamanya agar semakin sehat dengan mental yang kuat. Mereka berbagi makanan, melakukan konseling, hingga membiayai teman-temannya yang tak mampu untuk berlibur bersama.
Reuni Agung Bulungan Melali pun bukan ajang berkumpul semata bagi 200 pesertanya. Alumni SMA 70 Negeri Jakarta itu berupaya menyehatkan fisik, mental, hingga perekonomian Bali. Mereka pun menanggung biaya perjalanan beberapa rekan dan gurunya.
Reuni pada 1-3 Desember 2021 itu digelar di Bali untuk merayakan empat dekade SMA Negeri 70 Jakarta. Rombongan berwisata ke Legian, Gianyar, dan Ungasan. Tak sekadar bergembira, kepedulian ditunjukkan, misalnya dengan angkatan 1985 yang membiayai tiga guru ikut jalan-jalan.
Sementara, angkatan 1986 memberangkatkan tiga alumni yang kurang mampu. Usia mereka tak lagi produktif untuk mencari pekerjaan. ”Tak ada penghasilan tetap. Ada pegawai bank, kena perampingan,” ujar Ketua Panitia Reuni Agung Bulungan Melali 2021 Adi Lazuardi (54) di Denpasar, Bali, Senin (10/1/2022).
Panitia yang terdiri dari enam alumnus SMA Negeri 70 Jakarta terpanggil untuk memberikan kontribusi sebisanya. Mereka tinggal di Bali. ”Melali artinya jalan-jalan. Kalau Bulungan itu letak sekolahnya. Lokasinya di Jalan Bulungan (Jakarta),” ucap Adi.
Rombongan itu mendorong bangkitnya UMKM dengan menyinggahi beberapa desa wisata dan berbelanja oleh-oleh. Banyak peserta terkejut. ”Mereka baru tahu tujuan-tujuan wisata yang sedang hit. Setiap orang menghabiskan minimal Rp 3 juta selama Bulungan Melali,” ujarnya.
Mental sehat
Peserta paling tua adalah alumnus yang lulus pada tahun 1967. Sementara, peserta termuda adalah alumnus lulusan tahun 2000. ”Banyak peserta senang sehingga mentalnya lebih sehat. Semua peserta juga menerapkan protokol kesehatan yang ketat,” kata Adi.
Mereka berani bepergian setelah jumlah kasus Covid-19 di Bali menurun. Sebagian peserta Bulungan Melali baru menumpang pesawat lagi sejak pandemi merebak. ”Teman-teman merasa aman. Keberaniannya pulih. Keyakinan harus hidup normal bangkit lagi. Kami juga berkoordinasi dengan Satgas Covid-19 setempat,” katanya.
Lulusan SMA Negeri 70 Jakarta tahun 1986 itu sudah empat tahun berdiam di Bali. Editor media massa nasional tersebut juga dibantu tiga alumnus SMA 6 dan 46 Jakarta. ”Mereka pun tinggal di Bali. Kami punya grup Whatsapp alumni SMA Negeri 70 Jakarta yang tinggal di Bali sebanyak 37 orang,” ucapnya.
Bulungan Melali direncanakan berlangsung setiap tahun dengan wisata khusus, seperti danau di Kintamani, air terjun di Buleleng, dan pantai di Kuta. ”Kami tanamkan bahwa peserta bukan hanya reuni, tapi memulihkan pariwisata. Jadi pahlawan ekonomi,” katanya.
Peserta Bulungan Melali angkatan 1984, Satrio Sasra Noegroho (56), berangkat dengan bus berisi sekitar 30 penumpang. Alumnus angkatan 1984 yang kerap disapa Sas itu membulatkan keberaniannya dengan menjalani tes antigen hingga tiga kali.
”Pertama, sebelum berangkat. Lalu, waktu mau menyeberang ke Bali. Terakhir, sebelum pulang ke Jakarta. Ngeri-ngeri sedap sebenarnya,” kata Sas. Ia pergi pada 1 Desember 2021. Bus itu berisi alumni antarangkatan, tetapi suasana sangat meriah karena kekonyolan mereka.
”Kocak. Kayak anak kecil. Makan-makan sambil bercanda meski awalnya enggak kenal. Akhirnya membaur malah mirip anak TK,” katanya. Alumnus paling tua adalah lulusan tahun 1979. Sementara, paling muda alumnus tahun 1990. Rombongan bertolak dari Bali pada 5 Desember 2021.
Warga Tangerang Selatan, Banten, itu bersama teman-temannya sengaja tak menumpang pesawat karena hendak santai dan belanja. ”Singgah dulu di Brebes, Banyuwangi, Semarang, dan Sidoarjo. Sekali makan saja, semua biayanya Rp 1,5 juta,” ujarnya.
Sas mengikuti Bulungan Melali untuk ikut membangkitkan perekonomian. Setiap peserta rata-rata mengeluarkan Rp 5 juta. ”Normalnya, lama perjalanan ke Bali sekitar 15 jam. Kalau kami 36 jam karena banyak yang beser. Maklum, bus isinya opa dan oma,” ucapnya.
Peningkatan pesat
Wahyu Bhirowo (44) juga menebarkan kebaikan lewat Berbagi Bersama di Solo, Jawa Tengah. Ia membagikan makanan untuk yatim piatu, fakir miskin, dan masjid setiap Jumat. ”Alhamdulillah, sudah tambah satu pegawai tetap. Saya sedang melatih satu orang lagi,” ucapnya.
Saat mengawali program itu pada tahun 2020, ia dibantu ART dan istrinya. Besarnya animo masyarakat membantu sesama ditunjukkan dengan pesatnya peningkatan order. ”Sekarang, per minggu sampai 400 paket. Dulu, 150 paket per minggu. Sumbangan untuk seporsi nasi dan lauk mulai Rp 10.000 saja,” katanya.
Fertina Tarasari (48) sesekali juga mengajarkan senam tangan dengan antusias kepada penyintas kanker payudara yang baru dioperasi. Olahraga lewat telekonferensi itu sekitar 10 menit saja, namun saking asyiknya, waktu mereka bisa sangat molor.
”Mengobrolnya hampir satu jam,” kata penyintas kanker payudara dari organisasi Lovepink yang kerap disapa Sari itu sembari tertawa. Ia tak hanya mendukung sahabatnya menjalani penyembuhan. Mereka bergembira dengan berpose seru dan berfoto-foto.
Lewat konten yang diunggah ke medsos, terlihat ia dan rekannya beraksi sambil memakai kacamata hitam. Potret mereka yang lain memperlihatkan polah bak pahlawan super. ”Heboh, deh. Memang gokil temanku itu ngaku Gal Gadot. Kataku, ’kamu memang Wonder Woman’. Tangguh,” katanya seraya tersenyum.
Tak sekadar menyemangati perempuan yang telah berjuang selama enam bulan itu. Sari terus mendampingi sejak pasien tersebut didiagnosis mengidap kanker. ”Apalagi, ia sempat dites dan positif Covid-19. Beberapa hari kemudian dites lagi, syukurlah negatif. Kemoterapi bisa dilanjutkan,” ucapnya.
Setiap pekan, Sari berinteraksi dengan pejuang itu hingga tiga kali. Ia menanyakan kabar, terutama jika kemoterapi baru selesai. ”Minggu pertama paling berat. Efeknya terasa banget. Galau. Tangan juga susah beraktivitas. Aku tawarkan makanan, besarkan hatinya, dan sering berbagi,” ujarnya.
Kebersamaan itu berawal ketika teman Sari menceritakan benjolan di payudaranya. Setelah diperiksa, dokter memastikan ia menderita kanker. ”Kalau ditemani, bisa bantu banget melewati masalah itu. Ia tadinya takut. Aku sarankan kalau lebih cepat ketahuan, semakin lekas diobati,” ucapnya.
Berkat dukungan tersebut, penyembuhan bisa segera dilakukan. Sebelumnya, Sari juga dirundung penyakit yang sama dan didampingi penyintas. ”Makanya, aku sebarkan empati itu. Jadi, semangat terus dinyalakan. Senang lihat, misalnya temanku masih memasak,” katanya.
Setelah sembuh, Sari bergabung dengan Lovepink. Lewat Yayasan Daya Dara Indonesia, komunitas itu menggugah kesadaran publik untuk lebih peduli terhadap kanker payudara. ”Nanti, temanku juga mau jadi pendamping. Kita merasakan manfaat dukungan kolektif dan mau menularkannya,” ucapnya.