Sejumlah seniman yang berpameran dalam Jakarta Biennale 2021 menggelar karya partisipatif dengan mengajak pengunjung untuk menjaga kesehatannya. Pameran yang sempat tertunda itu pun kontekstual dengan persoalan terkini.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Jakarta Biennale 2021 yang sempat tertunda empat tahun akhirnya digelar. Pameran itu digelar saat pandemi, tetapi khitahnya untuk menyuarakan semangat seniman tak lantas surut. Di antara puluhan karya, mereka mengajak pengunjung menyiasati pagebluk lewat karya yang simpel, tetapi mengena.
Selembar tikar besar yang terhampar mengundang beberapa pengunjung untuk lesehan. Segera, mereka dengan sangat nyaman menyimak tontonan di hadapannya. Layar besar menayangkan Khairani Barokka yang bermonolog serupa advis dengan durasi 11 menit. Ia melontarkan sapaan yang sinkron dengan judul karyanya.
”Sehat-sehat, ya. Dari dulu sekali, jauh sebelum pandemi, orang juga sering ngomong itu. Iya, kan,” ujarnya lewat citra yang direfleksikan proyektor. Di bagian bawah layar tercantum teks untuk memudahkan pengunjung memahami tuturan seniman yang kerap disapa Okka itu.
Ia menyajikan kreasi bertajuk ”Sehat-sehat”. Tema yang diambil Okka simpel saja dan bersahaja, tetapi di antara semua karya di Jakarta Biennale 2021, instalasinya paling menghunjam dengan problematik kekinian. Harapan untuk selalu sehat bakal terus relevan, terlebih saat pandemi masih saja mencengkeram.
”Selamat datang. Di tikar ada beberapa kursi. Di satu sisi, ada tumbuh-tumbuhan. Ada juga sepasang sandal jepit,” ucapnya. Okka tak hanya menghadirkan karya. Ia hendak menyuguhkan seni partisipatif sebab pengunjung bisa sedikit membugarkan tubuh dengan duduk, bersila, sampai berselonjor.
Anyaman bambu dan bangku kayu menjalarkan sejuk saat penonton sejenak melepas lelah. Di rak tersedia beberapa majalah yang bisa dibaca. Okka menyelipkan pula humor lewat teks, seperti sandal jepitnyatolong jangan diambil ya bok, ntar ketauan, atau ini apaan ya? Duduk nangkring di sini dulu ah.
Okka mendoakan masyarakat selalu sehat, tetapi ia juga menyublim dalam konteks yang lebih dalam dengan membicarakan ucapan berasal-usulkan penafsiran konservatif itu. ”Ah, itu ada hubungan dengan visual seni rupa dan kolonialisme juga,” ujarnya lewat video yang diputar di Museum Nasional, Jakarta, itu.
Pada zaman dulu dengan pengobatan Belanda, semua yang dianggap ”berbeda” atau ”tidak normatif” harus disingkirkan. Asumsinya, semua dianggap sehat. ”Nah, konsep bahwa seseorang pasti sehat sebelum terbukti sakit adalah bagian dari ableisme atau terjemahan saya sendiri, normativisasi jiwa raga,” ucapnya.
Ia turut mengaitkan premisnya dengan sebagian masyarakat yang masih abai terhadap Covid-19. Demarkasi yang kabur antara sehat dan sakit memicu mereka menolak vaksinasi. Paparan Okka semakin kontekstual tatkala Omicron membuat dunia kewalahan, bahkan varian itu sudak masuk di Indonesia.
Okka melabur videonya dengan dominan hijau. Warna yang merepresentasikan alam itu dikorelasikan dengan manusia, berikut kewajiban melestarikannya. Ia tak menampilkan wajahnya. ”Saya mau sosok yang muncul diimajikan dengan penonton sendiri,” katanya di Jakarta, Sabtu (18/12/2021).
Menyeruput Wedang
Arie Syarifuddin lewat ”Gerakan Seni Rupa Bisnis” ikut mengemukakan karya yang melibatkan spektatornya. Pendiri Rempah Embassy yang dipanggil Gori itu mengemas abon, sajadah, cangkir keramik, dan tisane dalam sangkar berwarna merah. Ia berkolaborasi dengan Kamengski, Kandura, dan Suwe Ora Jamu.
Gori mendirikan kios kecil untuk membagikan lebih dari 50 gelas wedang saat pembukaan Jakarta Biennale 2021, akhir November lalu. ”Wedangnya ada dua, panobatan dan pakarangan. Harapannya, pengunjung tetap sehat dengan menyeruput wedang,” kata seniman asal Majalengka, Jawa Barat, itu sambil tersenyum.
Rempah-rempah untuk membuat wedang diyakini mampu meningkatkan imunitas. Produk itu ditempatkan di atas pilar berselubung kain merah beraksara Tionghoa di Museum Nasional. Gori hendak merelasikan kriyanya yang tak disusun sembarangan. Ia mendahului daya ciptanya dengan riset.
”Risetnya Ziarah Rempah yang dilakukan di Cirebon (Jabar) selama enam bulan sampai November 2021. Tujuannya, mencari rempah-rempah yang berpengaruh di Majalengka,” katanya. Cirebon pada masa silam dikenal dengan Muara Jati yang kerap dihampiri pedagang Arab, India, dan China.
”Ada pohon bidara dan sawo kecik. Pengobatan tradisional yang diwariskan turun-temurun menunjukkan bidara dan sawo kecik ternyata bermanfaat untuk kesehatan,” ucapnya. Gori juga menggunakan daun sawo kecik dan rempah-rempah untuk campuran abon oncom yang dibuatnya.
Vitalitas perempuan
Sementara Futuwonder yang terdiri dari Citra Sasmita, Putu Sridiniari, dan Ruth Onduko mengetengahkan ”Conversation with the Future”. Mereka mempersembahkan video tiga seniman perempuan kawakan Bali. I Gusti Ayu Natih Armini, Gusti Agung Galuh, dan Mangku Muriati menunjukkan vitalitasnya berkarya saat pandemi.
Karya tersebut dipajang dengan tiga televisi yang ditopang tripod. Setiap layar menampilkan seniman dengan postur hingga sebahu. Di ruang itu disediakan bangku sehingga pengunjung bisa menyaksikan dialog mereka meski secara terpisah, tetapi lebih personal.
Citra, Putu, dan Ruth mengangkat kesetaraan jender lewat trio seniman tangguh yang tak hanya berkutat dengan lukisan, tetapi juga keluarganya. Ditilik dari paparan mereka, Futuwonder dengan jelas merangkum visi dan misi kolektifnya untuk menelusuri, membaca, dan menuliskan kembali kesenian perempuan.
Kiprah mereka kerap luput dicatat dan didokumentasikan dengan baik. Futuwonder menganggap penting membangun linimasa seniman perempuan Bali dari generasi terdahulu untuk menjembatani pemikiran dan ideologi ketika berkarya agar bisa dipelajari penerusnya.
Galuh, misalnya, masih memasak setiap pagi, tetapi tetap bisa berpameran ke mancanegara. Sementara Armini menyempatkan diri melukis di sela mengurus keluarga. Berbeda dengan Muriati, pelukis gaya kamasan itu bicara tentang Perang Kusamba yang dipimpin panglima perempuan Dewa Agung Istri Kanya.
”Merefleksikan proses berkesenian ketiganya jadi acuan kami membaca tantangan perempuan seniman pada masa mendatang,” kata Citra. Persoalan-persoalan yang dihadapi, antara lain, adalah kurangnya institusi yang suportif mendukung gagaasan berkesenian, kesadaran akan penulisan, dan ruang apresiasi minim.
Putu mengungkapkan, perempuan yang kerap kesulitan dibaca untuk masuk medan global karena keterbatasan akses dan desentralisasi kesenian. ”Narasi yang diwariskan seniman perempuan tradisi menyimpan kekayaan dan konsep yang selama ini tak dimiliki metode dan perspektif seni modern,” ujar Ruth.
Di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, ”Basiron” karya Vincent Rumahloine juga terpampang lewat tiga layar yang menarasikan adat istiadat Kepulauan Banda, Maluku. Editor video di Bandung, Jabar, itu bekerja sama dengan Rahmad Larae, Virdinda La Ode Achmad, dan M Junaidi Dide di Banda.
Vincent semula akan bertolak ke Banda, tetapi pandemi memaksa penyunting naskah ”Basiron” itu membatalkan rencananya. Ia dan rekan-rekannya tak putus asa. ”Kami pakai telekonferensi. Penggarapan mulai awal sampai pertengahan 2021,” ujarnya soal video berdurasi 13 menit itu.
Dosen Jurusan Film School of Design Binus University, Ekky Imanjaya, menyambut positif seniman audio visual yang semangat berkarya. ”Termasuk, mereka yang berpameran dalam Jakarta Biennale 2021. Ternyata, kreativitas tidak mampat dan menemukan wadah berekspresi ketika pandemi melandai,” ucapnya.