Menata Hari Esok dari Pandemi
Jakarta Biennale 2021 mengambil tema, ”Esok”. Perhelatan ini berlangsung 21 November 2021 hingga 21 Januari 2022. Ada sekitar 40 seniman dari 20 negara turut serta.
Mungkin saja ini sebuah kebetulan belaka. Salah satu lokasi perhelatan seni rupa Jakarta Biennale 2021 ada di Museum Kebangkitan Nasional, yang dulunya STOVIA atau sekolah dokter bumiputera. Keberlangsungan kedua-duanya sama-sama bertolak dari masa-masa pandemi.
Di situ sekarang ada karya-karya seni instalasi yang ingin menyegarkan kembali ingatan kita sekaligus untuk menatap hari esok. Ada karya yang cukup menyengat, seperti instalasi sebatang pohon kayu kokoh menerabas sebuah bidang meja lawas.
Meja seperti itu biasanya terdapat di sekolah-sekolah lama peninggalan masa Hindia Belanda. Sebuah batang kayu menjulang hingga menyentuh langit-langit dikesankan menembusnya pula.
Bagian akar-akar tunjangnya terlihat terpotong di pangkal kayu. Dedaunan dari pelat perak berserak rontok di lantai sekitar pohon itu.
Bagaimana mungkin sebatang pohon bisa tumbuh menerobos liang meja sekolah dan membesar di situ? Seniman penciptanya, seorang pematung yang menetap di Yogyakarta, Anusapati (64), sebetulnya ingin membiarkan penikmatnya mengembara dengan imajinasi masing-masing.
”Ini sebenarnya mengambil tema dunia pendidikan di masa lalu, kini, dan esok,” ujar Anusapati, pria kelahiran Solo yang akrab disapa Ninus, Rabu (15/12/2021), di Yogyakarta.
Esok
Jakarta Biennale 2021 mengambil tema, Esok. Perhelatan ini berlangsung 21 November 2021 hingga 21 Januari 2022. Ada sekitar 40 seniman peserta dari 20 negara turut serta. Karya mereka selain dipajang di Museum Kebangkitan Nasional, juga di Museum Nasional, di luar ruang seperti di Jalan Cikini Raya, Taman Menteng, serta trotoar di depan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Anusapati seorang pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia mengisahkan School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) diawali dari Sekolah Dokter Djawa pada 1851 dan berkembang menjadi STOVIA pada 1902. Sekolah ini bertujuan mendidik warga bumiputera menjadi tenaga medis untuk ikut mengatasi berbagai macam wabah penyakit menular pada waktu itu.
Ada penyakit kolera, cacar air, atau pes, yang juga dikenal sampar. Jenis-jenis penyakit itu sempat menimbulkan pandemi atau wabah yang meluas di Jawa.
”STOVIA mendidik tenaga kesehatan pribumi untuk mengatasi pandemi. Dari dunia pendidikan ini menerbitkan semangat kebangsaan,” ujar Anusapati.
Dari STOVIA lahirlah gerakan Budi Utomo pada 20 Mei 1908, kemudian tanggal itu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Anusapati menyiratkan, pendidikan sebagai tiang utama perjuangan kebangsaan.
Anusapati beranjak ke dunia pendidikan masa kini. Di sepanjang dua tahun terakhir selama pandemi Covid 19 membuat bangku-bangku sekolah kosong. Para peserta didik belajar secara virtual dari rumah. Bangku-bangku kosong menjadi inspirasi bagi Anusapati.
Bangku kosong pun akhirnya memberi pesan. Pesannya, setelah pandemi ini, mau tidak mau paradigma pendidikan harus berubah.
”Dunia pendidikan dihadapkan berbagai tantangan. Dulu, guru dianggap paling mengerti. Sekarang murid bisa lebih mengerti ketimbang guru. Sumber pengetahuan murid bisa berasal dari mana saja, termasuk dari dunia digital,” ujar Anusapati, yang memberi judul karya seni instalasinya, ”Eduscape”.
Di masa mendatang, Anusapati berpendapat, bangku sekolah bukan satu-satunya ukuran dan jalan keberhasilan seseorang. Kemudian bagi lembaga pendidikan yang ingin bertahan, semestinya menampilkan wajah baru yang memfasilitasi minat murid yang tidak lagi seragam.
Dari STOVIA, Anusapati meniupkan gelora perubahan paradigma dunia pendidikan kita. Dari STOVIA, Anusapati mengingatkan sejarah yang hampir sama, yakni sama-sama bertolak dari masa-masa mengatasi dan melewati sebuah pandemi menuju masa depan lebih baik.
”Alasan pemilihan lokasi Museum Kebangkitan Nasional yang dulunya untuk memerangi wabah penyakit menular, bukan sesuatu yang direncanakan sejak awal. Anggaplah ini suatu kebetulan yang menyenangkan,” begitu tanggapan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, yang sebelumnya meresmikan Jakarta Biennale 2021 di Museum Kebangkitan Nasional, Minggu (21/11/2021).
Jakarta Biennale berawal dari Pameran Besar Seni Lukis Indonesia pada tahun 1974. Menurut Direktur Program Jakarta Biennal 2021 Farah Wardani, pada saat itu Museum Kebangkitan Nasional menjadi salah satu lokasi yang dipilih, selain Museum Nasional dan Taman Ismail Marzuki.
Histeria massa
Ada sebuah karya seni instalasi lain di STOVIA yang menengok masa lalu dari sebuah potret empat perempuan berkebaya sebagai dukun atau orang pintar. Respons terhadap potret itu kemudian ditautkan ke dalam fenomena histeria massa atau kesurupan massal.
Karya itu diberi judul ”Amok: Koma”. Ini karya seniman berbasis di Inggris dan Singapura, Erika Tan. Ekspresi karya ini menjadi sebuah performans seni tari dan instalasi ranjang para murid STOVIA dengan koper-koper kuno.
”Amok: Koma” melibatkan kolaborator para penari asal Indonesia, meliputi Cythia Arnella, Althea Sri Bestari, Nudiandra Sarasvati, dan Florentina Windy. Yola Yulfianti menjadi koreografernya.
Dari arsip foto keempat dukun yang ditemukan Erika Tan itu masing-masing membawa ceret, baskom, air, dan handuk. Di foto itu terlihat pula sebuah bangku. Dari potret itu Erika mempertanyakan hal magis dari para dukun.
Yola Yulfianti kemudian merespons dengan membuat karya koreografi berbasis peristiwa magis, seperti kesurupan. Gerak tubuh seperti tremor untuk menghasilkan getaran yang tidak bisa dikontrol. Ia merespons dengan gerak tari melibatkan benda-benda yang ada di foto tadi.
”Karya koreografinya membentuk tarian mengepel lantai. Meski lantai sudah bersih, para penari mengepel terus menerus dan ini yang sulit dikontrol,” ujar Yola.
Ia menangkap ada pesan lebih luas dan bermakna politik dari sebuah karya Amok: Koma tersebut. Erika Tan tidak pernah menjabarkan implikasi politis dari karya itu. Yola menangkap karya ini relevan untuk melihat sebuah amok massa terkait dengzn politik yang sulit dikontrol. ”Dari karya ini, pada akhirnya, saya melihat di dalam politik ada kekuasaan di atas kekuasaan. Ini sulit dikontrol,” ujar Yola.
Menengok rumitnya persoalan kekuasaan politik juga dihadirkan seniman peserta Maharani Mancanegara lewat karya Susur Leluri. Di STOVIA, ia mengemas sebuah permainan kartu yang berisi dongeng fabel tentang binatang Si Kancil. Kisah si Kancil sendiri sebagai apropriasi peristiwa politik Gerakan 30 September (G30S) 1965.
”Saya mengambil kisah dari lagu ’Si Kancil’ ciptaan Ibu Sud, yang terdengar ceria itu. Akan tetapi, dengan lagu ceria itu kemudian untuk menyalahkan si Kancil sebagai anak nakal yang suka mencuri mentimun, dan jangan diberi ampun,” ujar Maharani di Bandung.
Maharani merupakan generasi ketiga dari kakek yang pernah dihukum tanpa proses pengadilan atas dugaan keterlibatan G30S. Kakeknya ditangkap di Surabaya pada 1966, kemudian menjalani hukuman di penjara hingga 1970. Di tahun 1970 itu kakeknya dipindahkan sebagai tahanan di Pulau Buru hingga 1977.
Maharani mencitrakan dirinya sebagai si Kancil yang menerima stigma terkait kakeknya. Bersama para keluarga penyintas korban G30S lainnya, Maharani terus berjuang menyuarakan pemulihan nama, pembersihan nama.
”Dengan terus menyuarakan persoalan ini, semoga negara mau mengakui, pernah menempuh kesalahan terhadap warganya terkait peristiwa G30S,” ujar Maharani.
Barisan terdepan
Dolorosa Sinaga, Direktur Artistik Jakarta Biennale 2021, menyematkan catatan cukup keras terkait dengan politik pada masa Orde Baru setelah 1965. Ia mengecam banyak kejahatan terjadi atas kemanusian. Kemudian secara lantang ia mengakhiri dengan pernyataan tentang esok adalah berbicara mengenai perubahan dan untuk mewujudkan perubahan itu, seni harus berada di barisan terdepan.
”Semua perguruan tinggi seni harus mereposisi diri dan memulihkan kedaulatan dan martabat seni yang selama ini dikerdilkan,” tulis Dolorosa.
Dolorosa menyoroti rezim Orde Baru yang melucuti seni dari komitmen etis dalam merespons kenyataan sosial dan politik. Anak didik perguruan tinggi seni akhirnya sekadar menjadi pengabdi keindahan.
Ketika seni harus berada di barisan terdepan, imajinasi yang memimpin dan didialogkan di ruang-ruang publik. Seperti karya peserta lain, seorang arsitek Yori Antar, yang membuat seni instalasi berjudul, ”Jakarta Zona Merah”. Karya ini dipajang di trotoar depan Taman Ismail Marzuki.
Lewat karya itu, Yori memantik dialog untuk Jakarta menatap esok setelah melewati pandemi.
Para seniman ini tengah meniti jalan untuk hari esok yang lebih baik.