Gaya Mercy dalam Tiga Hari
Inilah sekelumit kemewahan mengendarai lima mobil Mercedes-Benz, yakni A 35 4Matic Sedan, GLA 35 4Matic, E 200 Avantgarde Line, E 300 SportStyle Avantgarde Line, dan S 450 4Matic Luxury.
Citra merek Mercedes-Benz, atau biasa disebut Mercy, lekat dengan kemewahan. Selama tiga hari pada awal Desember, sepuluh awak media diajak merasakan kemewahan lima jenis mobil mereka mengitari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Inilah citra luks yang mau disampaikan pabrikan Jerman ini.
Perjalanan dimulai dari kantor PT Mercedes-Benz Distribution Indonesia di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (1/12/2021) sekitar pukul 08.30 pagi. Sebelum berangkat, hidung dicolok untuk tes usap antigen. Menu sarapan boleh memilih.
Sembari nyarap, barang bawaan peserta sudah disimpankan di bagasi mobil oleh panitia. Satu mobil diisi dua awak media dan seorang pendamping pakar produk.
Ada lima mobil yang akan dijajal peserta. Kelimanya terdiri dari dua model Mercedes-AMG dan tiga model Mercedes-Benz, yakni Mercedes-AMG A 35 4Matic Sedan, Mercedes-AMG GLA 35 4Matic, Mercedes-Benz E 200 Avantgarde Line, Mercedes-Benz E 300 SportStyle Avantgarde Line, dan Mercedes-Benz S 450 4Matic Luxury.
Urutan tersebut sesuai harganya, dari yang paling murah sampai yang termahal. ”Murahnya” Mercedes-Benz bukan sembarangan. Harga A 35 Sedan Rp 995 juta, sedangkan S 450 Rp 2,525 miliar, off-the-road. Bagi wartawan kebanyakan, mobil seharga itu hanya angan-angan. Tolong dicamkan: S 450 tergolong S-Class, tunggangan para presiden dan sultan.
S 450 itu dirakit di dalam negeri. Empat mobil lainnya juga. Jadi, ini adalah parade kecil mobil yang dirakit Mercedes-Benz Indonesia sepanjang 2021 ini. Di tahun kedua pandemi ini, mereka merilis enam varian rakitan Wanaherang, menunjukkan pasar mobil mewah masih melenggang.
Nuansa kemewahan S-Class terpancar bahkan sejak dari luar mobil. Gagang pintunya bermodel flush, rata dengan permukaan bodi. Menarik pintunya berat. Tapi menutupnya dari dalam hanya mengayun ringan saja, cukup dekatkan dengan liang, pintunya merapat dan mengunci sendiri. Kompas mendapat kehormatan menjajal sedan ultraluks ini pertama kalinya.
Duduk di bangku belakang S-Class ini nyaman betul. Joknya yang berbahan nappa leather lembut dan empuk bukan kepalang, apalagi ada bantal kecil di sandaran kepalanya. Kursi ini bisa diset dalam formasi tidur; sandaran betis terangkat, sandaran punggung merebah, tetapi masih terlalu pagi untuk tidur lagi.
Ada dua layar sentuh untuk penghuni belakang. Dari layar itu, penghuninya bisa memantau kinerja mobil sampai mengatur kenyamanan. Apa pun bisa dilakukan dari baris belakang ini.
Ketika memasuki Jalan Tol Jakarta-Cikampek, matahari mulai terik, dan punggung mulai minta digelitik. Tirai jendela belakang perlu ditutup. Itu bisa dilakukan lewat layar. Begitu juga pilihan pijat; mau lembut, sedang, juga hangat. Enak benar.
Kekedapan kabin berasa mengisolasi. Suara angin di kolong terdengar tipis saja, sedangkan raungan mesin 6 silinder 2.999 cc nyaris nihil. Maklum, kaca mobil ini lapis dua. Suspensi udaranya membuat sambungan jalan tol layang MBZ tak ada artinya. Empuk.
Menyetir S 450 juga enaknya keterlaluan. Torsi puncak sebesar 500 Nm menjamin pasokan tenaga tersedia kapan pun dibutuhkan. Ini terasa betul ketika melibas jalur Tol Cipali yang lurus-lurus saja. Fungsi adaptive cruise control bikin rileks, sementara putaran setir begitu presisi.
Kencang dan keras
Tepat tengah hari, rombongan melepas lapar di Cirebon. Di sini pula kami berganti mobil. Rasanya enggan keluar dari S-Class. Namun, jatah mobil berikutnya menggiurkan: A 35 Sedan. Ini golongan AMG, kelas performa tinggi.
Dimensinya jauh lebih kecil dari S Class, membuatnya makin gesit. Bantingan A 35 terasa keras, beda jauh dengan S 450. Tapi, justru kekakuan suspensi itu jugalah yang bikin lincah. Pegangan tangan pada setir seirama dengan cengkeraman ban pada aspal.
Suara mesin yang ”dihilangkan” di S-Class malah dilebih-lebihkan di A 35 ini. Tak apa, adrenalin pengemudi justru menggila mendengar letupan-letupan mesin yang digaungkan pula lewat speaker di kabin. ”Pilih kuda yang paling liar, pacu laju!” ujar penyair Chairil Anwar dalam puisi ”Kepada Kawan”, cocok menggambarkan karakter A 35 ini.
Suara dari mesin bertorsi 400 Nm dan dimensinya yang ringkas rasanya membuat percaya diri jika harus menyalip bus atau truk. Ia gesit, juga berisik betul. Jadi, posisi terbaik di A 35 adalah di kursi pengemudi.
A 35 mengantar kami pada destinasi terakhir pada hari pertama, yaitu Hotel Plataran Borobudur di Magelang. Kami keluar di pintu tol Bawen. Tanjakan dan tikungan curam menuju Borobudur ringan saja dilibas AMG kecil ini.
Di hotel, satu orang dapat satu kamar dengan ranjang king size. Di kamar telah disediakan secarik sambutan, lengkap dengan sepiring buah-buahan. Sepertinya, inilah privilese yang didapat pemilik Mercedes-Benz anyar. Perjalanan sejauh 543 kilometer ditutup dengan salak yang manis dan mandi air hangat di kamar mandi yang lega.
Menuju selatan
Hari kedua dimulai ketika vitamin D matahari melimpah. Perut yang kenyang siap mencoba mobil berikutnya, yaitu GLA 35, masih di kelas AMG, versi SUV dari A 35 sedan. Spesifikasi mesinnya sama persis. Hanya ruang kabinnya, terutama di baris belakang, lebih lega.
Tujuan kami adalah Museum Ullen Sentalu di daerah Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Selepas Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, rutenya lebih banyak menanjak dan sempit. Memasuki Jalan Boyong, aspalnya bolong-bolong. Gunung Merapi mengintip tipis.
Untungnya kami ada di GLA 35 dengan bantingan lebih jinak dibandingkan dengan A 35 Sedan, salah satunya karena profil ban yang lebih tebal. Padahal, sistem suspensinya sama saja.
Setelah makan siang ala Eropa di Beukenhof Restaurant, perjalanan lebih jauh menanti, yaitu pantai selatan Gunung Kidul. Perut kenyang rawan mengantuk. Tapi, di mobil sudah disediakan keripik kentang, yang setiap hari dipasok. Kami mendengar musik rock masa silam lewat pelantang Burmester. Rasa kantuk teratasi.
Rute menuju selatan ini mendaki dan berliku, terutama setelah Bukit Pathuk. Tak masalah, GLA 35 ini bertenaga besar, juga lincah. Selepas Kota Wonosari, jalanan menyempit. Mendekati titik tujuan, yaitu South Shore, aspal berlubang kembali kami temui.
Perjalanan selama tiga jam lebih itu tuntas juga. Kami tiba di area Pantai Indrayanti, tempat kami memarkir kendaraan. Kami tinggal turun dari mobil, membawa barang seperlunya, biar panitia yang merapikan.
Menuju kafe South Shore menapaki tangga. Inilah kafe yang viral disebut bernuansa pantai di Bali. Sore itu, kafe dipesan khusus untuk kami, para penunggang Mercedes-Benz pinjaman.
Dari atas tebing, kami bisa melihat Samudra Hindia membentang. Sambil mengudap kentang goreng dan menyeruput mocktail, kami juga bisa melihat wisatawan umum bermain di bibir Pantai Indrayanti.
Rehat di sini tak terlalu lama. Gerimis turun seirama dengan matahari. Kali ini giliran pakar produk pendamping kami yang menyetir, yang bernama Zaid. Dia kebagian jalur rumit, sekitar 83 km menuju Srawung Omah Kopi di daerah Solo Baru.
Rute yang dipilih melewati Karangmojo, Semin, dan Sukoharjo yang melintasi persawahan. Keterampilan menyetir Zaid di atas rata-rata. Dengan kegesitan kinerja kaki dan tangannya, karakter GLA 35 yang lincah jadi maksimal.
Kami tiba di Srawung Omah Kopi sekitar pukul 19.30. Kafe ini menyajikan makanan jelata, seperti mi godhog dan nasi mawut. Tapi, makanan sampingannya melimpah ruah. Ada pisang bakar, tempe mendoan, tahu goreng, sampai dim sum memenuhi meja; tak sanggup menandaskan itu semua.
Dari sana, dengan kekenyangan, kami beranjak menuju Hotel Alila di Kota Solo. Setibanya di hotel, bagasi mobil kami sudah kosong. Rupanya, ketika makan, panitia membawa tas kami ke hotel dan langsung menaruh di kamar masing-masing. Lagi-lagi, ini privilese luar biasa.
Mobil dewasa
Hari ketiga adalah perjalanan pulang menuju Jakarta. Kami beranjak dari hotel sekitar pukul 09.30 setelah sesi foto dengan lima mobil yang formasinya sudah diatur sedemikian rupa. Hari itu, Jumat (3/12/2021), kami kebagian dua varian E-Class. Perjalanan dimulai dengan E 200 yang perwajahannya baru diperbarui.
Tujuan pertama adalah Kota Semarang, tepatnya Resto Javara Culture di kawasan Kota Lama. Kontur jalan tol dari Solo menuju Semarang menyenangkan; berkelak-kelok, dan naik-turun.
Meski di bawah S-Class, kenyamanan di kontur jalan semacam itu masih nyaman, dan jauh lebih baik dari A 35 Sedan. Sayangnya, jok lembut itu berdudukan paha terlalu pendek sehingga kaki agak menggantung.
Suspensi mobil seharga Rp 1,01 miliar off-the-road ini empuk sekali. Pemilik A-Class yang sudah makin mapan dan dewasa pantas ”naik kelas” ke E-Class macam ini. Dimensinya tak terlalu besar sehingga bisa berkelit di lalu lintas padat seperti kawasan Jalan Pemuda, Kota Semarang.
Pemberhentian berikutnya adalah area rehat Banjaratma di daerah Brebes. Rute tol ini cenderung lempeng dan rata. Saatnya menguji kinerja mesin 4 silinder 1.991 cc. Mesin bertenaga maksimal 197 hp dengan torsi puncak 320 Nm cukup besar di atas kertas. Kami menghela mobil kelas sedan medium itu.
Laju di kecepatan 100 km per jam terasa amat nyaman. Tapi, untuk mencapai kecepatan tertentu, perlu upaya keras. Mobil ini nyaman di kecepatan sedang-sedang saja. Ini menjadikan E 200 pantas juga dipakai berpergian jarak jauh. Agresivitas biarlah menjadi milik A 35 atau GLA 35.
Peristirahatan di bekas pabrik gula itu jadi lokasi pergantian mobil. Mestinya kami kebagian E 300 yang tenaga puncaknya 61 hp lebih besar dibandingkan dengan E 200. Sayangnya, unit E 300 itu menabrak pembatas jalan di dalam area rehat itu. Kerusakan di bagian moncong kiri dan ban yang sobek mengubah skenario. Penumpangnya tak terantuk apa-apa ketika bertumbukan, diselamatkan sabuk pengaman yang otomatis menegang.
Sisa perjalanan menuju Jakarta, Kompas menjadi penumpang lagi di S 450, disetiri pakar produk pula. Jarak 273 kilometer dihabiskan dengan menikmati pemanas kursi baris depan S 450; lumayan mengurangi penat.
Perjalanan selama tiga hari sepanjang sekitar 1.300 km itu dipungkasi di kantor Mercedes-Benz sekitar pukul 22.30. Pengalaman seolah-olah menjadi pemilik Mercedes-Benz keluaran terbaru harus berakhir. Privilese yang melenakan itu terenggut begitu kaki turun dari S 450. Barang bawaan yang makin banyak harus ditenteng sendiri. Ini realitas.