Telah Lahir Generasi Sineas Baru dari Yogyakarta
JAFF merupakan festival film paling kuat di Indonesia dalam konteks pembangunan ekosistem film. Dalam pengertian semangat ”workshop” film, pembuatan film, hingga diskusi tentang film sangat dinamis di Yogyakarta.
Pergelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival menjadi simpul strategis berkembangnya ekosistem film Tanah Air. Para sineas muda berdiskusi, lalu bertemu produser dan pihak lain yang sama-sama berkomitmen memajukan film. Film-film kemudian lahir dari sebuah pertemuan....
Musik akustik mengalun pelan di rooftop Naicla Sky Lounge, Gaia Cosmo Hotel, Kota Yogyakarta, Selasa (30/11/2021). Satu persatu tamu datang memenuhi kursi dan sebagian lagi duduk di tembok pagar sembari menikmati minuman dan lanskap kota yang bertebaran cahaya. Di sela-sela itu, mereka berbincang tentang film juga proses kreasi yang sedang mereka jalani.
Mereka adalah penulis skenario, sutradara, dan perwakilan komunitas film yang diundang Visinema untuk berbagi dan mencari kemungkinan baru dalam berjejaring. Pertemuan bertajuk ”gathering” itu sangat kultural dan penuh canda tawa diselingi musik ringan atau foto-foto. Pertemuan seperti ini menjadi simpul penting, terutama bagi sineas muda untuk bertemu dengan sesama sineas dan produser. Bisa jadi dari pertemuan seperti ini mereka menemukan jalan atas kebuntuan pendanaan atau saluran distribusi film.
Head of Content Strategy Visinema Cristian Imanuell sengaja menggelar acara ini untuk menjaring sineas-sineas baru. ”Kami percaya bahwa harus membuka talent baru untuk membuat film yang lebih beragam, baik dari sisi tema maupun genre. Sutradara satu dan lainnya pasti memberikan hal yang beda. Keragaman itu yang kami tawarkan,” ujarnya.
Gathering ini merupakan salah satu sel penting dalam gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Tetapi karena pandemi, kali ini pertemuan ini dikurangi secara drastis. Visinema termasuk yang berkesempatan menggelarnya dan bertemu dengan banyak sineas dari Yogyakarta dan sekitarnya.
Secara khusus lewat acara pertemuan kultural seperti malam itu, dan secara umum dari peristiwa JAFF, kata Cristian, Visinema menemukan banyak sineas berbakat dan teruji. Festival menjadi ajang pematangan diri mereka dan kemudian dapat disambut dunia industri. Beberapa sutradara bisa dia gaet untuk bekerja sama.
Visinema lewat Visinema Pictures telah mengajak Yosep Anggi Noen untuk menyutradarai film 24 Jam Bersama Gaspar, film cerita detektif yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Sabda Armandio. Lalu ada juga Ismail Basbeth yang menyutradarai film Keluarga Cemara 2. Kedua sutradara ini tumbuh dari festival film, terutama JAFF, kemudian namanya kerap disebut-sebut sebagai generasi baru perfilman Indonesia. ”Enggak nyangka akhirnya mereka mau bekerja sama dengan kita,” ujar Cristian menggambarkan tentang kemungkinan baru yang mewujud lewat pertemuan-pertemuan informal dalam gelaran JAFF ini.
Di antara para tamu yang datang, tampak Ninndi Raras bercengkerama akrab dengan temu lain. Ninndi adalah sutradara yang tertarik dengan Visinema. Film pendeknya yang dikenal luas antara lain Rahasia (2011) dan Kitorang Basudara (2016). Dia tengah berencana membuat film panjang pertama. Dia sudah berelasi dengan Visinema setidaknya sejak setahun lalu.
Baca juga: Relaksasi Beragama Lewat Film
Dari momen seperti ini dia dapat menegaskan keseriusannya untuk bisa bekerja sama. Dia tahu, Visinema mencari sutradara yang sudah punya signature (kekhasan). Ini menguntungkan para sineas juga. ”Saya membuat film dengan tema-tema personal, domestik, atau yang subtil,” kata Ninndi menyingkat genre film yang pernah dan akan dia garap.
Diskusi
JAFF kali ini memasuki tahun ke-16 dan makin mengukuhkan diri sebagai gelaran yang berpengaruh dalam ekosistem film. Dalam sehari bisa sampai 1.700 submisi orang untuk menonton atau ikut kelas daring. JAFF memungkinkan adanya diskusi antara penonton, pembuat film, sampai pelaku industrinya. Dari sini, ekosistem terbangun.
Direktur JAFF Ifa Isfansyah mengidentifikasi festival ini sangat anak muda: kasual dan egaliter. Juga menjadi ruang temu para pihak yang mempunyai kepentingan dengan film, mulai penulis skenario, sutradara, produser, akademisi, sampai kritikus film. ”Ada energi untuk mempertemukan industri film dengan anak muda seperti mahasiswa atau orang lain yang sedang ingin bikin film panjang atau pendek,” ujarnya.
Ini dirasakan betul oleh sutradara pendatang baru Randoph Zaini. Dari pengalaman dan obrolan yang dia dengar di komunitas film, JAFF menjadi ajang prioritas baginya untuk menayangkan film perdananya, Preman. Alasan utamanya, penonton JAFF memiliki totalitas yang sulit disamai oleh penonton pada festival lain di dalam negeri. Itu menjadi pintu promosi sekaligus marketing yang bagus karena dari para penton itulah strategi gethok tular (word of mouth) dalam marketing berjalan maksimal.
Memang, seusai film diputar, penonton JAFF tidak semua langsung bubar. Mereka menggelar diskusi, membincang proses kreativitas, hingga skema pendanaan. Dengan kata lain, film yang ditonton menginspirasi yang lain untuk berkreasi. Setidaknya menumbuhkan harapan bahwa langkah mereka dalam membuat film tidak buntu.
Zaini merasakan betul dampak itu. Setidaknya setelah dia tahu bahwa sutradara sekaliber Joko Anwar ikut menonton lalu memberi apresiasi lewat akun Instagramnya. Melihat ketokohan dan daya pengaruh Joko, paling tidak jika dilihat dari pengikutnya di Instagram yang mencapai 288.000-an, Zaini yakin filmnya lebih cepat dikenal orang yang kemudian penasaran ingin menonton. Inilah yang dia maksud dengan word of mouth tadi.
Sebagai pendatang baru, Zaini sadar betul masih banyak hal yang harus dia lakukan untuk lebih dipercaya di dalam ekosistem perfilman Indonesia. Lewat Film Preman yang tayang di JAFF, dia berharap itu menjadi tiket untuk bisa melangkah lebih maju. ”Saya masih tahap pengenalan,” katanya merendah tentang berbagai kesempatan yang ditawarkan JAFF.
Di JAFF, para sineas bukan hanya dapat menawarkan gagasan, mereka bahkan bisa mencari produser atau sumber pendanaan bagi film yang tengah digarap. Apalagi saat ini, ibarat bulan, JAFF sedang dalam fase purnama. ”Sekarang lagi senang-senangnya karena hampir semua pembuat film profesional yang aktif, datang ke Yogyakarta. Seperti ada kesadaran bahwa sebagai pembuat film atau penonton perlu ke sana (JAFF). Sedang berada di fase ideal,” kata Ifa.
Di Empire XXI Yogyakarta, pusat penyelenggaraan JAFF, banyak sineas ikut menonton. Riri Riza, Mira Lesmana, Hanung Bramantyo, Joko Anwar, Gina S Noer, dan Ernest Prakasa adalah beberapa figur yang terlihat di sana dan tidak hanya sehari. Mereka menonton sekaligus memberi apresiasi.
Regenerasi
JAFF mulai digelar tahun 2006. Saat itu penontonnya bisa dihitung dengan jari tangan untuk setiap film yang diputar. Namun, JAFF harus jalan terus. Konsistensi dan perbaikan tahun demi tahun itu menumbuhkan kepercayaan publik. Hingga hari ini, jumlah submisi atau orang yang beli tiket mencapai 12.000 dalam rangkaian JAFF. Dari sisi pendanaan pun menggembirakan. ”Secara pendanaan, ada support system industri ada dari penonton dan ada dari pemerintah,” kata Direktur JAFF Ifa.
Pemerintah menyumbang dana 20-30 persen dari total yang dibutuhkan, penonton membantu lewat pembelian tiket yang hampir selalu terjual habis dan ini menyumbang sedikitnya 20 persen pendanaan. Beberapa produser film juga ikut membantu. Ada juga ruang pemasangan poster film baru dan penayangan cuplikan film baru yang itu berbayar.
Ifa berani mengatakan JAFF menjadi festival film paling kuat di Indonesia dalam konteks pembangunan ekosistem film. Dalam pengertian semangat workshop film, pembuatan film, hingga diskusi tentang film sangat dinamis di Yogyakarta. Meskipun secara industri masih kalah dengan Jakarta.
Itu antara lain buah dari JAFF sejak awal menyediakan program komunitas dengan memberikan beragam fasilitas seperti tiket, penginapan, hingga ruang diskusi dan presentasi gagasan film. Setiap tahun ada 7-10 komunitas. Program inilah yang antara lain memunculkan sineas-sineas baru di samping program lain, seperti Public Lecture, Special Screening Program, dan Layar Komunitas.
JAFF akhirnya melahirkan generasi sineas baru, seperti Yosep Anggi Noen, Ismail Basbeth, dan Wregas Bhanuteja setelah Ifa Isfansyah dan Kamila Andini. Mereka berani menawarkan pendekatan dan tema baru dalam membuat film. Wregas Bhanuteja yang belum lama ini memperoleh predikat sebagai Sutradara Terbaik lewat ajang Festival Film Indonesia dengan film Penyalin Cahaya, misalnya, mengambil tema tentang keberpihakan pada korban kekerasan seksual. Cara itu dia pilih mengingat banyak korban kekerasan seksual yang tak berdaya, baik di mata hukum maupun di mata masyarakat. Medium film pun dianggapnya dapat dengan efektif menyampaikan pesan kepada publik. ”Penonton saat ini adalah penonton yang kritis sehingga juga perlu mendapat insight yang kaya dari medium yang biasanya jadi hiburan, salah satunya film,” kata Wregas.
Tahun ini, tak kurang dari 200 komunitas film berkumpul di Yogyakarta. Beberapa di antaranya yang berkumpul di Naicla Sky Lounge malam itu. Mereka bernyanyi bersama. ”Terlalu manis, untuk dilupakan…” tampaknya memang jangan sampai dilupakan karena pertemuan seperti ini bisa menjadi bekal mempercerah masa depan film Indonesia.