Film diciptakan sebagai semesta kecil, yang menyodorkan relaksasi batin lewat hiburan. Madani International Film Festival (MIFF) 2021 menjanjikan itu.
Oleh
Putu Fajar Arcana, Wisnu Dewabrata, Mohammad Hilmi Faiq, Riana A Ibrahim
·6 menit baca
Masih ingat kisah Salvatore dan Alfredo dalam film Cinema Paradiso (1988) karya sutradara Giuseppe Tornatore? Gedung bioskop bernama Cinema Paradiso menjadi arena hiburan satu-satunya bagi rakyat Sisilia, Italia, yang baru saja lepas dari perangkap Perang Dunia II. Kehadiran film begitu dinanti-nanti sehingga rakyat rela mengantre untuk bersama-sama mereguk hiburan yang membuat mereka melupakan peperangan.
Ilustrasi keberadaan Cinema Paradiso rasanya tepat untuk menyatakan bahwa film diciptakan sebagai semesta kecil, yang menyodorkan relaksasi batin lewat hiburan. Bahkan, dalam film yang memenangi Academy Award ke-62 untuk film berbahasa asing itu, Tornatore tak membahas dan menonjolkan soal isi filmnya. Ia menyodorkan diskursus tentang betapa gedung bioskop, termasuk film di dalamnya, mampu menjadi katalisator bagi rakyat yang sedang muak, marah, dan jenuh digempur peperangan.
Dalam bingkai serupa, Madani International Film Festival (MIFF) 2021 menyodorkan tema ”Light: Sufism and Humor”. Dalam ajang ini diputar film-film yang dinilai memiliki pendekatan spiritualisme keislaman dengan cara-cara yang rileks, bahkan penuh humor. Rupanya, tema ini berangkat dari realitas keras, terutama meningkatnya politik identitas, yang harus dihadapi dunia, termasuk Indonesia, dalam dua dekade terakhir. Agama yang harusnya makin memanusiakan manusia, tetapi justru melahirkan radikalisme. Suatu nilai yang berkebalikan 180 derajat dari sejarah kelahiran agama-agama di dunia.
Meski tidak sedang dilanda kecamuk perang, sebagaimana menjadi latar film Cinema Paradiso, setidaknya peristiwa 9/11 tahun 2001 di Amerika Serikat yang menewaskan lebih dari 2.900 orang menjadi titik balik hubungan dunia Islam dengan Barat. Bahkan, kemudian muncul stigma, terutama di negara-negara Barat, bahwa terorisme identik dengan Islam.
Madani International Film Festival memang tidak menjurus langsung untuk mereduksi stigma itu. Namun, film-film seperti Banyak Ayam Banyak Rejeki, Dua Pilar Satu Atap, dan Kisah Para Pencuri adalah film-film yang secara rileks mengupas persoalan yang terjadi dalam dunia keberagamaan kita dewasa ini.
Banyak Ayam Banyak Rejeki, menurut sutradara dan produser Dag Yngvesson, memandang isu-isu tentang perempuan dan poligami dengan sudut pandang keseharian. Tokoh seperti Arjuna yang berpoligami dengan dalih menaikkan derajat perempuan, tetapi justru pada praktiknya dia menemukan uang sambil terus mencari istri baru. Dalam diskusi daring, Dag mengakui dirinya dan rekan produsernya, Koes Yuliadi, terinspirasi dan benar-benar bertemu Arjuna dalam kehidupan nyata.
Film itu pada awalnya dirancang sebagai film promosi bisnis oleh si pengusaha ayam goreng. ”Dalam perjalanan istri pertama, mengaku sama sekali tidak setuju dipoligami,” kata Dag. Film promosi itu akhirnya tidak berlanjut, tetapi Dag dan Koes justru membuat film semidokumenter dengan tujuan menyindir yang dia sebut sebagai mockumentary.
Modal masyarakat
Pengamat film yang juga salah satu penggagas Madani International Film Festival, Hikmat Darmawan, mengatakan, tema soal ”Light: Sufism and Humor” itu berkaitan dengan sisi batin dan transendensi dari ajaran Islam. ”Kan, sisi ini yang bisa melampaui formalisme dan unsur-unsur simbolik dalam agama. Oleh sebab itu, ia akan menjadi lebih lentur karena salah satu perwujudan sufisme itu tak lain adalah unsur humor,” kata Hikmat.
Menurut Hikmat, jika terjadi lebih banyak kelenturan semacam itu, ia berharap Indonesia memiliki modal untuk berelaksasi dalam praktik-praktik ibadah keagamaan. ”Sering kali ketegangan kita beragama itu diakibatkan oleh soal-soal politik dan semacamnya,” tambah Hikmat.
Upaya-upaya relaksasi itu, menurut Hikmat, bisa didapat lewat film yang tidak ”dipaksa” memberi pencerahan, tetapi memandang segala sesuatunya dengan lebih natural. Film pendek seperti Kisah Para Pencuri, yang disutradarai Erlangga Fauzan, terlihat lebih berani dalam menggunakan simbol-simbol agama sebagai bahasa kritik. Ia berkisah tentang tiga pencuri yang menyusup ke dalam kelompok pengajian para ibu. Lantaran sama-sama menggunakan jilbab dan cadar, walau berbeda dalam warna, tak banyak tahu bahwa mereka sudah disusupi oleh tiga orang yang berniat jahat.
Ketika ketiganya sedang menjalankan aksi ketiga pencuri itu, dua lelaki dan satu transjender, tahu sama tahu. Mereka berhasil menjalankan aksinya, tetapi belakangan terungkap bahwa si jilbab merah, yang transjender, justru menyamarkan diri karena ingin mendalami agama.
Sementara film Dua Pilar Satu Atap yang disutradarai Ilham Prajatama berkisah tentang tradisi buang anak yang dianggap membawa sial. Daisy dibuang orangtuanya dengan menyerahkannya kepada seorang pelacur. Lantaran suatu sebab, ketika beranjak dewasa Daisy diambil kembali oleh keluarganya.
Sayangnya, ketika diminta pulang kembali, ia telah memeluk keyakinan yang berbeda dengan keyakinan keluarga asalnya. Namun, perbedaan itu tak lantas mengurangi rasa pertalian darah yang ada di antara sesama anggota keluarga. Mereka hidup rukun dalam keyakinan berbeda di bawah satu atap.
Mereka hidup rukun dalam keyakinan berbeda di bawah satu atap.
Kultur lokal
Direktur Madani International Film Festival 2021 Sugar Nadia, Kamis (2/12/2021), mengatakan, sebagian besar film tentang Islam masih sebatas berdakwah, bahkan mengajak orang memeluk Islam. Padahal, katanya, film dengan genre apa pun sepanjang isinya berkisah tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, yang mayoritas penduduknya memeluk Muslim, film itu bisa dikategorikan menjadi film madani.
”Oleh karena itu, lewat sejumlah film yang kami kurasi dan tampilkan sekarang kami coba jelaskan ke masyarakat apa itu film madani. Kami bahkan berusaha untuk menampilkan film-film yang isinya enggak melulu berceramah,” tambah Sugar.
Nadia melihat bahwa kultur lokal Indonesia telah mengandung kearifan dan penuh dengan nilai-nilai spiritualisme. Oleh sebab itu, ia cenderung menyarankan agar tidak perlu ”tegang” di dalam mengejar nilai-nilai keislaman. ”Cukup dengan rileks saja membicarakan agama, yakni dengan budaya,” katanya.
Board of Festival Film Madani Inayah Wahid beranggapan, film bisa jadi medium yang baik untuk relaksasi beragama. ”Kami percaya humor banyak berisi kebijaksanaan dan nilai-nilai agama,” katanya. Menurut Inayah, humor memiliki kemampuan untuk menjadi jalan penerang dalam kehidupan keberagamaan kita, yang sering kali jadi gelap karena pertikaian politik.
Pada sisi berbeda, film bertajuk Preman, yang dibesut sutradara Randolph Zaini dan diputar dalam ajang Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), menggunakan subkultur suroboyoan, sebagai pembersih stigmatisasi terhadap ragam bahasa lokal. Film ini, kata Randolph, mewadahi keindonesiaan.
Lebih jauh, Randolph Zaini mencoba mengorkestrasi gagasan pentingnya memberi suara kepada kaum marjinal yang selama ini kurang mendapat tempat. Maka, di film ini dia mengetengahkan tokoh utama Sandi (Khiva Iskak) sebagai preman tuli. Lalu Tukang Cukur atau Ramon (Revaldo) yang mencitrakan kaum minoritas dengan orientasi seksual yang berbeda pada umumnya meskipun di film ini digambarkan secara simbolik.
Selain itu, Randolph juga menggunakan lagu dolanan Jawa berjudul ”Cublak-cublak Suweng” sebagai pengingat bahwa dalam kultur lokal, tersimpan banyak nilai yang masih berelasi dengan masa kini.
”Lagu daerah ternyata maknanya masih relevan dengan kondisi saat ini. Tapi, memang lagu-lagu daerah di Indonesia ini mengandung banyak pelajaran hidup yang berharga yang masih bisa digunakan pada saat ini,” ujar Randolph.
Sebagaimana diisyaratkan oleh Inayah, kultur lokal bisa menjadi katalisator dalam merelaksasi cara kita beragama. Dan film, katanya, memberikan ruang yang lebar untuk terus dikembangkan menjadi bahasa publik agar kita tidak selalu saling mencurigai sebagai sesama umat beragama di Indonesia.